2. Saras

421 17 3
                                    

"Dewi, Ya Allah, udah lama banget ga ketemu, aku kangen banget," wanita bertubuh mungil itu memeluk erat tubuhku. Hampir saja kumuntahkan ayam goreng di mulutku kalau tidak kutahan-tahan karena ingat ada pria tampan di depanku.

"Uhuk..uhuk...," aku terbatuk-batuk karena eratnya pelukan Saras, teman sebangkuku saat SMA itu.

"Eh, minum, minum dulu," Saras membukakan tutup botol air mineral yang ada di meja dan tanpa basa basi langsung mengambil posisi di sebelahku.

Si pria tampan tampak tidak ambil pusing. Ponselnya tampak bergetar, sebuah pesan masuk sepertinya. Ia kemudian menyeruput sisa tehnya dan bangkit berdiri.

"Permisi, " ucapnya pelan saat melewati Saras.

"Monggo, makasih, Mas," balasku kikuk.

"Eh, eh, siapa itu tadi? Pacarmu ya? Ganteng banget!" cerocos Saras membuatku tersedak air mineral. "Pelan-pelan dong minumnya," Saras mengambil tisu di meja dan menyeka bajuku yang basah karena cipratan air minum.

"Bukan," jelasku setelah bisa bernapas lega. "Orang ga kenal, aku cuma numpang duduk,"

"Wuih, beruntung banget semeja ama pria tampan, haha." Saras masih bawel seperti dulu.

"Kamu ngapain di sini, siapa yang sakit?" tanyaku.

"Aku lagi jaga, ini mau ngisi perut dulu sebentar," jawabnya sumringah.

"Jaga siapa maksudnya?"

"Iih, aku kerja di sini, residen bedah ni sekarang temenmu," jawabnya bangga.

Deg. Perasaanku mulai tidak enak. Saras adalah sahabatku waktu SMA, kami cukup dekat, walau persahabatan itu mulai renggang saat kami memasuki masa perkuliahan di dua kota yang berbeda. Aku hanya tahu dia menempuh pendidikan kedokteran, namun tidak pernah tahu perkembangannya.

Meskipun aku dan Saras bisa dikatakan dekat, namun dia tak tahu rahasiaku. Tidak ada selain keluarga dekat yang tahu soal kondisiku. Punya tubuh mutan yang tak jelas gendernya bukan sesuatu yang mudah dijelaskan ke orang-orang. Menjelaskan soal interseks ke keluarga terdekat saja terasa sangat menakutkan. Aku tidak ingin membayangkan penolakan macam apa yang akan kuterima jika identitas interseksku diketahui banyak orang. Makanya, sampai saat ini, orang lain yang tahu soal kondisiku hanya dr. Kusuma dan pihak rumah sakit ini--yang mana berarti sekarang termasuk Saras.

"Wi, Wi!" Saras membangunkanku dari lamunan sejenak. "Kok ngelamun?!"

"A, ng, iya," aku gelagapan. "Wuih, keren banget kamu, bisa ambil spesialis bedah," pujiku.

"Haha, iya enggak nyangka ya, tapi lihat ni kantong mataku, spartan bener kerjaannya," ucapnya sambil memamerkan kantong mata tipis di bawah bulu matanya yang lentik. "Eh, kamu jenguk siapa? Siapa yang sakit? Ibu?"

"Eh, enggak, cuman kontrol rutin aja, periksa haid," elakku.

"Kenapa haidnya?" tanya Saras penasaran.

Belum sempat aku memikirkan jawaban pertanyaan Saras, ponselnya berdering. "Iya, baik, Dok, saya ke sana," ujarnya dengan raut wajah sangat serius, beda sekali dengan ekspresi normalnya. Ini wajah dokternya Saras.

"Sori, Wi, aku harus ke lantai atas, kapan-kapan ngobrol lagi, ya. Nomormu masih yang lama kan? Nanti kutelpon ya!" ujarnya sambil terburu-buru menuju lift.

Fiuh, selamat. Tuhan masih menyelamatkanku saat ini. Tapi bagaimana nanti ya. Duh, pusing aku. Kalau dia residen bedah, kemungkinan besar dia akan tahu rencana operasiku. Aku adalah kasus medis yang langka, aku yakin operasiku nanti akan jadi bahan tontonan dan studi kasus bagi para residen seperti Saras. Mati aku. Apa pindah rumah sakit, ya? Hah, sulit, aku tidak mau ganti dari dr. Kusuma. Duh, Gusti apa lagi rencanaMu kali ini.

Ah, sudahlah, nanti saja dipikirkan. Istirahat dululah hari ini, pikirku. Aku segera menyelesaikan makan dan beranjak kembali ke konter pembayaran agar bisa segera melupakan sejenak keriuhan hari ini.

[Tamat] Dewi Setengah DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang