BAGIAN 1

1.5K 42 0
                                    

Suara gamelan mengalun merdu ditabuh para nayaga yang duduk berjajar di sebuah panggung besar. Malam yang biasanya gelap gulita, tampak terang benderang oleh cahaya api obor yang terpancang di setiap sudut halaman besar sebuah rumah yang di padati orang. Segala macam tingkah dan celoteh di sertai derai tawa terdengar semarak mengimbangi alunan gamelan.
Suasana malam ini terasa begitu hangat, meskipun angin saat itu berhembus kencang menaburkan udara dingin menusuk kulit. Keceriaan terlihat di wajah semua orang yang memenuhi halaman dan bagian dalam rumah besar itu. Bukan hanya orang dewasa saja, bahkan anak-anak pun ikut menikmati kegembiraan itu.
"Beruntung sekali anak Ki Murad ya, Kang...?" terdengar gumaman seseorang yang berdiri agak terlindung di sudut halaman dekat pohon beringin.
"Hm...," orang bertubuh gemuk dan berperut buncit, hanya menggumam saja. Pandangan matanya tidak lepas ke arah sepasang mempelai yang duduk di pelaminan berwajah cerah penuh senyum.
"Seharusnya kaulah yang duduk di situ, Kang Wregu, Bukan si Wiraguna...!" agak tertahan nada suara anak muda itu.
Lelaki yang diajak bicara hanya diam saja. Sepasang bola matanya tidak berkedip memandangi mempelai yang duduk didampingi kedua orang tua masing-masing. Begitu banyak tamu yang hadir, karena mempelai wanita adalah anak orang terpandang di Desa Kali Wungu ini. Namanya, Ki Danupaya. Orang tua laki-laki mempelai wanita itu tidak hanya sebagai saudagar kaya tapi juga sangat berkuasa. Ki Danupaya benar-benar melebihi kepala desa sendiri. Bahkan kalau kepala desanya tidak disukai maka dengan mudah dia bisa menggantikannya.
"Ayo kita pulang, Situyu," ajak Wregu seraya membalikkan rubuh dan melangkah di samping Wregu.
Kedua laki-laki berusia muda itu berjalan bersisian tanpa banyak bicara lagi. Sementara malam semakin larut. Tapi orang-orang yang menghadiri pesta pernikahan itu, terus saja berdatangan. Bahkan semakin jauh malam, semakin meriah saja suasananya.
Bukan hanya penduduk desa ini saja yang berdatangan, tapi juga dari penduduk desa-desa lain. Kalau saja bukan orang yang terpandang dan mempunyai kekuasaan, mungkin pesta itu tidak akan semeriah ini. Suara gamelan terus mengalun membuat suasana semakin hangat dan meriah. Para penari terus berlenggak-lenggok mengikuti irama gamelan yang ditabuh para nayaga di atas panggung.
Sementara di sudut lain terlihat dua orang wanita muda dengan wajah cukup cantik duduk di sebuah bangku di bawah pohon kemuning. Pandangan mereka juga tidak berkedip ke arah sepasang mempelai yang tidak henti-hentinya memberikan senyum pada setiap tamu yang hadir.
"Mereka kelihatan bahagia sekali, Rukmini," ujar salah seorang yang mengenakan baju merah muda cukup ketat.
"Hanya sebentar," desah wanita berbaju biru yang dipanggil Rukmini.
"Tidak lama juga akan menderita. Lihat saja nanti, Selasih."
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Rukmini. Kalau aku jadi kau, sudah kubunuh si Wiraguna sebelum naik ke pelaminan!" agak mendesis suara wanita yang bernama Selasih.
"Seumur hidup, tidak akan hilang rasa sakit di hatiku ini, Selasih."
"Bukan hanya kau. Tapi banyak gadis lain yang berperasaan begitu. Aku tahu betul, siapa itu Wiraguna. Apalagi ayahnya...," sambung Selasih.
Rukmini menoleh, menatap sahabatnya. Ada sebentuk senyuman tipis menghiasi bibirnya yang tipis dan merah menggoda. Sejak kecil mereka sudah bersahabat, dan tak ada satu pun yang menjadi rahasia di antara dua orang itu. Bahkan sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi sekalipun, selalu terbuka.
"Kuharap, ini malam terakhir mereka bisa tertawa dan tersenyum bahagia," desah Rukmini.
"Harus!" sambut Selasih mantap agak mendesis.
Kedua wanita muda itu saling berpandangan. Entah kenapa, mereka sama-sama melemparkan senyuman tipis dan hambar, kemudian bangkit berdiri. Kini mereka telah melangkah meninggalkan keramaian itu, tanpa ada yang bicara lagi. Mereka tidak lagi memperdulikan semua yang terjadi, semua keramaian, keceriaan, dan senda gurau serta tawa lepas yang memecah keheningan malam ini.
Malam yang membuat semua orang ceria, tertawa bahagia. Tapi ada beberapa orang yang tampak tidak menikmati semua itu. Terutama mereka yang merasa punya hubungan, atau merasa dirugikan atas semua pesta hajat yang besar dan meriah ini. Entah apa yang terjadi, hanya mereka sendiri yang tahu.

***

Malam masih terlalu dingin. Namun kehangatan masih bisa juga menyelimuti sekitar rumah besar milik Ki Danupaya. Meskipun sepasang mempelai sudah tidak berada lagi di pelaminan, namun masih saja banyak tamu yang belum beranjak dari tempatnya. Bahkan Ki Danupaya sendiri belum juga beranjak, dan tengah dikelilingi sahabat-sahabatnya.
Dinginnya udara malam juga tidak terasa di dalam sebuah kamar yang cukup besar dengan penataan apik sehingga terlihat indah. Dua tubuh tergolek bersimbah keringat di atas pembaringan yang beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Desah napas memburu dan rintihan lirih masih terdengar mengganggu gendang telinga. Mereka tidak lagi mempedulikan suara-suara bising di luar sana. Juga tidak mempedulikan angin dingin yang menyusup masuk dari celah-celah jendela.
"Ah...!" tiba-tiba saja salah seorang memekik tertahan.
Dan tubuh yang berada di atas, mengejang sesaat. Kemudian mendesah panjang sambil menjatuhkan dirinya yang bersimbah keringat ke samping. Sesaat lamanya suasana di dalam kamar itu hening sepi. Tarikan-tarikan napas mulai terdengar teratur.
Brak!
Tiba-tiba saja jendela kamar itu terhempas kencang, membuat sepasang insan yang tengah tergolek berpelukan itu terlonjak kaget. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi, tahu-tahu sebuah bayangan hitam berkelebat masuk. Arahnya langsung ke pembaringan, diikuti kelebatannya satu cahaya keperakan. Dan belum ada yang bisa menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu....

30. Pendekar Rajawali Sakti : Warisan BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang