Semua orang di Desa Kali Wungu selalu membicarakan kejadian malam itu di rumah Ki Danupaya. Peristiwa yang sangat mengejutkan dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bukan hanya orang-orang tua, bahkan anak-anak muda pun ikut membicarakan peristiwa yang merenggut nyawa Wiraguna. Sebenarnya putra tunggal Ki Murad ini memang beruntung dapat mempersunting putri Ki Danupaya, seorang saudagar kaya di Desa Kali Wungu ini. Tapi, nasib ternyata lebih menentukan.
Sudah tiga hari peristiwa itu berlalu, tapi masih terlalu hangat untuk dilupakan begitu saja. Masalahnya, Nurmi belum juga diketemukan dan tidak diketahui nasibnya sampai sekarang. Tidak ada seorang pun yang tahu, siapa pembunuh Wiraguna dan penculik Nurmi. Waktu itu semua orang tengah sibuk berpesta.
Bukan hanya di rumah, di kedai, atau di ladang. Bahkan di sungai pun gadis-gadis membicarakan tentang peristiwa pembunuhan dan penculikan itu. Mereka selalu bertanya-tanya tentang hilangnya Nurmi. Tapi ada juga yang merasa gembira atas kematian Wiraguna. Dan tidak sedikit yang menyesalkan kejadian itu. Terlalu banyak tanggapan yang terlontarkan, dan semuanya hanya menduga-duga saja.
"Tolooong...!" tiba-tiba saja siang yang tenang itu pecah oleh suara teriakan seorang wanita.
Dan tampak seorang perempuan setengah baya berlari-lari dengan baju sobek dan kain kedodoran. Perempuan itu terus berteriak-teriak sambil berlari kencang. Teriakan yang keras itu mengagetkan semua orang. Baik yang berada di sungai, di rumah, ataupun di ladang.
"Tolooong...!" teriak perempuan itu sekeras-kerasnya.
Sebatang akar yang menyembul ke permukaan tanah mengganjal kaki wanita itu, hingga jatuh bergulingan di tanah berumput. Wanita setengah baya itu berusaha cepat bangkit, tapi tiba-tiba saja sebuah bayangan sudah berkelebat cepat.
"Akh!" wanita itu terpekik tertahan. Kedua bola matanya membeliak lebar, dan mulutnya ternganga. Belum sempat bisa melakukan sesuatu, mendadak saja terlihat kilatan cahaya keperakan yang langsung menyambar leher wanita itu.
"Aaa...!"
Satu jeritan melengking terdengar, disusul ambruknya wanita itu ke tanah. Darah mengucur deras dari lehernya yang terbabat hampir buntung. Sebentar tubuhnya menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Terlihat seseorang berdiri tegak memandangi wanita setengah baya yang sudah jadi mayat itu, kemudian berkelebat cepat bagai kilat. Seketika bayangannya lenyap bagai ditelan bumi.
Pada saat yang sama, orang-orang berdatangan ke tempat itu. Dan mereka langsung terperangah begitu melihat seorang wanita setengah baya menggeletak dengan leher koyak berlumur darah segar yang masih mengalir deras. Dari kerumunan orang, menyentak seorang laki-laki setengah baya.
"Nyai...!" sentak laki-laki setengah baya yang ternyata adalah Ki Danupaya.
Laki-laki setengah baya yang selalu memakai baju indah dari bahan sutra halus itu, bergegas berlutut dan memeriksa tubuh wanita yang dikenal bernama Nyai Mirta. Dan semua penduduk Desa Kali Wungu sering memanggilnya Nyai Murad. Wanita itu memang istri Ki Murad.
Saat Ki Danupaya bangkit berdiri, menyeruak seorang laki-laki tua dari kerumunan orang-orang. Sesaat dia terpaku, lalu menubruk wanita itu. Ki Danupaya hanya tertunduk, tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Semua orang yang berkerumun pun terdiam. Tak ada satu suara pun yang terdengar. Semua kepala tertunduk. Laki-laki tua berjubah putih itu bangkit berdiri sambil memondong wanita itu. Sebentar bola matanya yang berkaca-kaca menatap Ki Danupaya, lalu kakinya terayun pelahan-lahan. Orang-orang yang berkerumun bergegas menyingkir, memberi jalan.
Sukar untuk dilukiskan, bagaimana perasaan Ki Murad saat ini mendapati istrinya tewas dengan leher koyak. Baru beberapa hari kehilangan putranya yang baru saja melangsungkan pernikahan, kini juga harus kehilangan istrinya. Sementara Ki Danupaya memperhatikan dengan bibir bergetar dan tubuh menggelegar menahan geram. Dilayangkan pandangannya ke sekeliling, lalu bergegas melangkah menyusul sahabatnya itu.
Langkah kaki Ki Danupaya berhenti seketika saat matanya, menangkap sosok pemuda berbaju rompi putih yang berdiri di bawah sebatang pohon besar. Pemuda yang pernah ditemuinya di padang rumput dekat Bukit Mangun. Hanya sebentar Ki Danupaya menatap, kemudian kembali melangkah cepat menyusul Ki Murad. Orang yang berkerumun, kembali bubar menuju arahnya masing-masing. Beberapa celotehan terdengar.
Sebentar saja, tempat itu menjadi sunyi kembali. Hanya seorang pemuda berbaju rompi putih yang masih duduk di bawah pohon. Pemuda itu baru bangkit berdiri setelah semua orang tidak terlihat lagi. Dia melangkah menghampiri tempat Nyai Murad tadi tergeletak tewas. Pandangan matanya tertuju langsung pada seuntai kalung bergambar tengkorak dan bulan sabit. Kalung itu hampir tertutup tanah, sehingga sukar dilihat dalam sepintas saja.
"Hm...," pemuda itu bergumam pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
30. Pendekar Rajawali Sakti : Warisan Berdarah
AksiSerial ke 30. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.