BAGIAN 8

975 34 0
                                    

"Kau temui ayahmu di dalam. Dia ada di ruangan depan," kata Rangga memberitahu.
Hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti itu memukul roboh salah seorang yang mencoba membokongnya dari belakang. Nurmi yang mendengar ucapan Rangga, bergegas melentingkan tubuhnya melewati beberapa kepala. Masih sempat diayunkan tongkatnya, membuat dua orang menjerit keras sambil memegangi kepalanya yang terhantam senjata wanita itu.
Sementara Rangga terus mengamuk sambil bergerak mendekati beranda depan. Sedangkan Nurmi sudah tiba lebih dahulu. Wanita berbaju merah itu berdiri tegak di tengah-tengah beranda depan yang disangga dua buah pilar besar. Tatapan matanya tajam dan lurus ke depan.
Dari dalam rumah itu muncul seorang laki-laki setengah baya mengenakan baju putih dengan ikat kepala juga putih bersih. Di tangan kirinya tergenggam sebilah pedang yang masih terbungkus sarungnya. Tidak berapa lama berselang, keluar lagi seorang laki-laki tua berjubah putih menyandang pedang di pinggang. Di belakangnya mendampingi enam orang bertubuh tinggi besar dengan dada telanjang.
"Bagus! Berkumpullah di sini, agar aku tidak perlu susah payah meminta tanggung jawab kalian semua!" terdengar dingin nada suara Nurmi.
"Bisa kau buka tudung mu, Nurmi?" agak bergetar suara Ki Danupaya. Laki-laki itu langsung mengenali suara anaknya.
"Hhh...! Ternyata kau tidak melupakan suaraku, Ki Danupaya!" dengus Nurmi seraya membuka tudungnya.
"Tentu saja, Anakku," sahut Ki Danupaya berusaha lembut.
"Phuih! Tidak pantas kau menyebutku anak, keparat!" geram Nurmi.
"Nurmi...."
"Aku bukan anakmu! Aku tidak punya ayah sepertimu!" sentak Nurmi memotong cepat.
"Nurmi, sadarlah.... Kau dalam kesulitan besar, Anakku. Kendalikan dirimu," bujuk Ki Danupaya.
"Kesulitanku merupakan awal kehancuran kalian!" lantang suara Nurmi.
"Percuma kau membujuknya, Adi Danupaya. Bocah ini sudah dirasuki iblis!" celetuk Ki Murad.
"Sebaiknya bercerminlah dulu, Ki Murad. Dirimu sendiri tidak lebih busuk dari iblis neraka!" desis Nurmi sengit.
"Bocah lancang! Mulutmu harus diajar tata krama!" geram Ki Murad.
"Juga otakmu, tua bangka!" balas Nurmi sengit.
Trek!
"Tahan, Kakang!" sentak Ki Danupaya begitu dilihatnya Ki Murad mencabut pedang.
Tapi Ki Murad sudah tidak bisa lagi menahan diri. Terlebih lagi saat mengingat nyawa anak dan istrinya, serta sepuluh orang murid kesayangannya yang tewas. Dengan teriakan keras, Ki Murad melesat sambal mengibaskan pedangnya ke leher Nurmi.
"Uts! Hait...!"
Bergegas Nurmi melompat sambil mengegoskan tubuhnya ke samping. Tapi belum juga bisa berdiri sempurna, kembali datang serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Wanita berbaju merah itu terpaksa mengibaskan tongkatnya. Dan....
Trang!
"Akh...!" Ki Murad terpekik tertahan begitu pedangnya membentur tongkat putih milik Nurmi.
Tapi wanita berbaju merah itu juga terpental mundur sejauh lima langkah. Sebentar mereka saling menatap, lalu berlompatan seraya memberikan serangan menggunakan jurus-jurus maut. Sementara itu di halaman depan, Rangga sudah membereskan lawan-lawannya. Dia berjalan tenang mendekati arena pertarungan antara Nurmi melawan Ki Murad.
Nurmi yang bertarung dengan hati terselimut dendam dan amarah, jadi tidak bisa mengendalikan dirinya. Akibatnya dia lupa memperhitungkan pertahanannya. Wanita itu terus menyerang dan ini diketahui Ki Murad yang sudah kenyang makan asam garamnya dunia persilatan. Laki-laki tua berjubah putih itu mengambil kesempatan pada saat Nurmi menyerang tanpa mengindahkan pertahanan dirinya sendiri, sehingga....
"Jebol!" seru Ki Murad tiba-tiba.
Seketika itu juga tangan kiri Ki Murad menghentak ke depan setelah pedangnya berhasil menghalau tusukan tongkat putih wanita yang berselimut dendam dan amarah itu. Hantaman tangan kiri Ki Murad tidak bisa terhindarkan lagi dan....
"Akh...!" Nurmi terpekik keras.
Tubuh ramping terbalut baju merah ketat itu terjungkal keras ke belakang, dan bergulingan beberapa kali di tanah. Bagaikan kilat, Ki Murad melompat sambil berteriak keras melengking, menghunus ujung pedang ke depan. Seat itu posisi Nurmi memang tidak menguntungkan sekali, dan tidak mungkin bisa berkelit Tapi....
Trang!
"Eh...!" Ki Murad terperanjat kaget.
Buru-buru laki-laki tua itu mundur. Dan tiba- tiba saja di depan Nurmi sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju rompi putih yang bagian dadanya dibiarkan terbuka lebar.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Ki Murad. Agak bergetar suaranya, begitu mengenali orang yang baru saja menyelamatkan nyawa Nurmi.
Sementara itu Nurmi sudah bisa bangkit berdiri, meskipun masih sedikit limbung. Sebentar diatur napasnya, mengalirkan hawa mumi untuk mengusir rasa sesak yang mengganjal dadanya. Dari sudut bibirnya mengalir darah kental. Untung saja pukulan Ki Murad tadi tidak bertenaga dalam penuh, sehingga Nurmi masih bisa bertahan. Tapi tak urung masih terasa sakit pada rongga dadanya.
"Rangga..., kenapa kau bela bocah keparat itu?" agak keras nada suara Ki Murad.
"Aku akan berada di pihak yang benar, Ki Murad," sahut Rangga kalem, namun nada suaranya terdengar datar.
"Sudah jelas bocah iblis itu yang bersalah! Mengapa kau malah membelanya?!"
"Beberapa hari yang lalu, mungkin aku berpendapat begitu. Tapi sekarang justru tidak akan kubiarkan kau menyentuhnya sedikit pun, Ki Murad. Sayang sekali, sandiwara mu yang hebat itu tidak bisa mengelabui ku terus-menerus," masih terdengar tenang suara Rangga.
"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti...! Bocah setan itu adalah keturunan manusia iblis, dan selamanya akan menjadi iblis berbentuk manusia. Jika berpihak padanya, sama saja kau melumuri nama besarmu dengan darah iblis!" lantang suara Ki Murad.
"Hmm..." Rangga hanya berguman saja dengan mata agak menyipit.
"Jangan dengarkan omongannya Rangga, dia itu manusia licik! Mulutnya sangat berbisa...!" sentak Nurmi ketus.
"Ha... ha... ha...! Kau akan cari pengaruh rupanya, bocah setan!" keras sekali suara Ki Murad.
Rangga jadi terdiam, dia kebingungan juga, karena satu sama lain saling membenarkan dirinya sendiri. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti itu diliputi kebimbangan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Dan mendadak saja pintu gerbang benteng rumah ini hancur. Tampaklah dua ekor kuda putih menerobos masuk pintu gerbang diikuti sekitar enam orang berkuda. Semua orang yang berada di tempat ini langsung menoleh.

30. Pendekar Rajawali Sakti : Warisan BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang