BAGIAN 6

829 28 0
                                    

"Mustahil...!" geram Ki Danupaya seraya menggebrak meja di sampingnya.
Wajah laki-laki setengah baya itu nampak merah padam bagai udang rebus. Sepasang bola matanya menatap tajam Ki Murad yang duduk di depannya. Tidak ada orang lain di ruangan tengah yang cukup besar ini, selain mereka berdua. Sesaat suasana di ruangan itu sunyi sepi. Ki Danupaya bangkit berdiri dan berjalan pelahan-lahan menuju ke jendela. Sebentar dia menatap keadaan di luar, lalu memutar tubuhnya menatap pada Ki Murad yang masih tetap duduk di kursinya.
"Tidak mungkin anakku sendiri yang melakukan ini semua!" dengus Ki Danupaya tidak percaya.
"Kau boleh saja tidak percaya, Adi Danupaya. Tapi kulihat dan kudengar sendiri percakapan mereka di Puncak Bukit Mangun sebelah Selatan," kata Ki Murad meyakinkan Ki Danupaya diam membisu, namun pandangannya tetap tajam menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua yang tetap duduk di kursinya.
"Semula memang aku akan langsung kembali, tapi niatku berubah karena merasa khawatir kalau-kalau Pendekar Rajawali Sakti terjebak. Tapi yang kusaksikan malah membuatku hampir pingsan. Jelas sekali kalau orang itu adalah Nurmi. Putrimu!" ujar Ki Murad mantap.
"Bagaimana mungkin suaminya sendiri dibunuh?! Sedangkan dia di...," ucapan Ki Danupaya terputus.
"Bukan diculik seperti yang kita duga selama ini, Adi Danupaya. Tapi sengaja menghilang untuk mengelabui kita semua," selak Ki Murad cepat.
Kembali Ki Danupaya terdiam. Masih belum dipercaya sepenuhnya laporan Ki Murad kalau orang yang selama ini membuat rusuh adalah putrinya sendiri. Memang sukar untuk dipercaya. Nurmi membunuh suaminya sendiri, tepat pada saat malam pertama pernikahan mereka. Dan kini membuat rusuh dengan membunuh istri Ki Murad, membantai anak buah ayahnya sendiri, dan bahkan membumihanguskan kediaman mertuanya. Ki Danupaya menggeleng- gelengkan kepalanya beberapa kali. Sukar baginya untuk menerima dan mempercayai semua ini.
"Kakang Murad. Setahuku Nurmi tidak memiliki ilmu olah kanuragan. Apalagi sampai bisa mempecundangimu. Tidak mungkin, Kakang. Mustahil...!" ujar Ki Danupaya masih tidak bisa mempercayai.
"Beberapa kali aku bentrok dengannya, Adi Danupaya. Dan yang terakhir sempat ku kenali salah satu ajiannya. Aji 'Mata Kilat' milik Dewi Iblis, bibimu sendiri!" kata Ki Murad masih mencoba meyakinkan Ki Danupaya.
"Kau jangan membawa-bawa bibiku, Kakang. Sudah lama Bibi Dewi tidak pernah kelihatan lagi setelah ditaklukkan Pendekar Rajawali Sakti," nada suara Ki Danupaya terdengar tidak senang.
"Itulah masalahnya sekarang, Adi Danupaya."
"Apa maksudmu, Kakang?"
"Dewi Iblis takluk oleh Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Nurmi mempunyai aji 'Mata Kilat' yang sangat dahsyat. Padahal yang ku tahu, Dewi Iblis tidak memiliki murid seorang pun. Apalagi wanita itu telah berjanji untuk tidak terjun kembali dalam dunia persilatan, setelah dikalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Aku merasa mereka bersekongkol...," Ki Murad menduga-duga.
"Bersekongkol...? Apa maksudmu, Kakang?" Ki Danupaya semakin tidak mengerti.
"Lihatlah kenyataan yang ada, Adi Danupaya. Kau membunuh istrimu di depan Nurmi. Meskipun saat itu masih berumur tujuh tahun, tapi ingatannya tentang kejadian itu tidak pernah lepas. Kemudian kau menikahi seorang wanita yang tidak pernah akur dengan Nurmi. Anak itu tertekan. Terlebih lagi setelah kau mengeluarkan wasiat untuk menyerahkan semua ini sepenuhnya pada istrimu. Aku yakin kalau Nurmi berusaha mencegah, karena semua yang kau milik adalah milik kakeknya yang seharusnya diturunkan padanya," ujar Ki Murad panjang lebar menyingkap latar belakang kehidupan sahabatnya ini.
"Kakang, apa yang kulakukan ini semua demi kau juga. Semua itu terjadi dan kau mengetahui, bahkan ikut mendukungnya. Istriku itu sepupu mu. Sengaja kuwariskan seluruh harta ku padanya agar bisa digunakan untuk membiayai maksudmu, menggulingkan Gusti Adipati. Itu semua sudah rencana kita, Kakang, Aku rela mengorbankan semuanya demi memperoleh kadipaten," Ki Danupaya tidak suka disalahkan begitu saja.
"Dan kau tidak sadar kalau hanya sebagai menantu yang tidak berhak sepenuhnya atas seluruh harta ini. Hhh...! Kalau saja kau turuti nasihatku, tidak akan jadi begini," ada nada keluhan pada suara terakhir Ki Murad.
"Kau gila, Kakang. Mana mungkin aku membunuh Nurmi? Anak itu satu-satunya senjata bagiku untuk tetap menguasai Desa Kali Wungu, dan desa-desa lainnya. Bahkan seluruh desa di kadipaten ini. Tanpa Nurmi, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kau sudah mengetahui hal itu, bukan...?!" agak keras nada suara Ki Danupaya.
Ki Murad menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Memang pelik persoalan yang dihadapi sekarang ini. Mereka berdua bagaikan berada di ujung tanduk saja. Sedikit saja tergelincir, tamatlah sudah semua yang telah dibangun dengan segala daya dan upaya.
Kedua laki-laki itu menoleh hampir bersamaan ketika mendengar suara langkah kaki halus. Tampak seorang wanita berwajah cukup cantik dan berbaju ketat indah, muncul dari sebuah kamar. Wanita itu melangkah menghampiri kursi di dekat Ki Murad dan duduk anggun di sana. Ki Murad menundukkan kepalanya sedikit, memberi hormat pada istri Ki Danupaya ini.
"Sudah kudengar semua pembicaraan kalian berdua," kata wanita itu pelan, hampir tidak terdengar suaranya.
"Nyai Canting...," desis Ki Danupaya agak terkejut juga.
Laki-laki setengah baya itu melangkah menghampiri dan duduk di samping istrinya. Sesaat suasana di ruangan itu sunyi senyap. Tak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Ki Murad dan Ki Danupaya memandangi wanita yang bernama Nyai Canting ini. Wanita yang usianya jauh lebih muda dari suaminya.
"Kakang! Tidak kusangka kalau kau menikahi ku hanya karena maksud tertentu. Aku benar-benar kecewa, Kakang...," lirih suara Nyai Canting.
"Nyai...," tercekat suara Ki Danupaya di tenggorokan.
"Jangan memberi alasan apa pun, Kakang. Aku sudah tahu dan sudah mendengar semuanya. Aku tidak ingin terlibat, dan tidak suka disalahkan. Aku tidak pernah membujukmu, dan tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Apalagi untuk membenci Nurmi dan adiknya. Katakan itu pada semuanya, Kakang," kata Nyai Canting, agak tersendat suaranya.
Setelah berkata demikian, Nyai Canting bangkit berdiri dan melangkah pelahan-lahan meninggalkan tempat itu. Ki Danupaya bergegas bangkit dan mengejarnya. Sementara Ki Murad hanya duduk saja dengan wajah kusut.

30. Pendekar Rajawali Sakti : Warisan BerdarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang