Malam baru saja menyelimuti bumi, namun suasana di Desa Kali Wungu telah demikian sunyi. Suasana yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Keadaan yang mencekam itu dikarenakan dalam beberapa hari ini terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Ki Danupaya. Terlebih lagi setelah peristiwa pahit yang menimpa Ki Murad. Laki-laki tua itu hampir tewas kalau saja tidak ditolong Pendekar Rajawali Sakti.
Malam gelap terselimut kabut ini begitu sunyi. Tidak terlihat seorang pun di luar rumah. Namun di jalan yang tidak terlalu besar dan berdebu, terlihat seseorang berpakaian merah menyala tengah berjalan sambil membawa tongkat putih yang terayun-ayun di sampingnya. Jika dilihat dari kulit tangan dan bentuk tubuhnya, jelas orang itu pastilah wanita. Hanya saja wajahnya tidak terlihat karena hampir tertutup tudung tikar yang cukup besar. Orang itu berjalan ringan, dan pandangannya lurus ke depan.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
Wanita berbaju merah yang bertudung tikar di kepalanya itu langsung berhenti melangkah. Dia hanya menoleh sedikit saat telinganya mendengar langkah kaki dari arah belakangnya.
"Hm.... Dua tikus Danupaya...," gumam wanita itu pelahan.
Dan memang benar. Dua orang anak buah Ki Danupaya tengah menghampiri dan langsung menghadang di depan wanita bertudung tikar pandan itu. Masing-masing menggenggam gagang golok yang masih terselip di pinggang.
"Siapa kau? Malam-malam begini masih keluyuran!" bentak salah seorang yang berkumis lebat.
"Hm...," wanita itu hanya menggumam saja. Dan, tiba-tiba saja wanita itu bergerak cepat seraya mengibaskan tongkatnya bagaikan kilat. Dua orang anak buah Ki Danupaya terperanjat kaget, karena tiba-tiba orang di depannya menyerang tanpa berkata-kata lagi. Dan belum sempat melakukan sesuatu, ujung tongkat wanita itu sudah menyambar leher mereka.
Dua jeritan panjang melengking terdengar hampir bersamaan. Sesaat kemudian, dua sosok tubuh menggelepar di tanah dengan leher hampir putus dan mengucurkan darah segar. Wanita bertudung bambu itu memandangi sebentar, lalu kembali melangkah tenang setelah dua orang yang menghadangnya tidak bergerak-gerak lagi.
Jeritan menyayat dari dua orang anak buah Ki Danupaya, rupanya mengejutkan semua penduduk Desa Kali Wungu ini. Tapi tidak ada seorang pun yang berani ke luar. Mereka hanya mengintip saja dengan mata membeliak lebar begitu mendapati dua sosok mayat menggeletak. Apalagi saat mendapati pula seorang wanita berbaju merah dan bertudung besar tengah berjalan ringan menuju kediaman Ki Danupaya.
Rumah besar milik saudagar kaya itu memang sudah tidak seberapa jauh lagi. Dan tentu saja, jeritan panjang melengking tadi terdengar jelas sampai ke sana. Tampak pintu gerbang yang semula tertutup rapat, seketika terbuka. Maka berhamburanlah sekitar sepuluh orang dan dalam pintu pagar bagai benteng itu.
Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan tempat itu, mendadak wanita berbaju merah menyala itu sudah melentingkan tubuhnya cepat. Dan seketika saja terdengar jeritan-jeritan melengking saat bayangan merah disertai kilatan cahaya putih berkelebatan bagai kilat ke arah sepuluh orang yang baru keluar dari gerbang kediaman Ki Danupaya.
Sukar dipercaya. Dalam waktu singkat saja, sepuluh orang itu sudah tergeletak tak bernyawa dengan leher koyak hampir buntung. Dan wanita berbaju merah itu kembali melangkah tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya. Langkahnya ringan mendekati pintu gerbang kediaman Ki Danupaya.
"Hm...," wanita itu bergumam pelan.
Tiba-tiba saja tubuhnya melesat ke udara, lalu mendadak lenyap tanpa bekas. Sungguh tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Bisa bergerak cepat melebihi kilat Bayangannya saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Tak ada seorang pun yang tahu, ke mana arah perginya. Bahkan orang-orang di atas pagar yang sudah siap membidik anak panah, jadi bengong keheranan. Mereka mencari-cari tanpa meninggalkan tempatnya. Namun orang berbaju merah itu seperti lenyap ditelan bumi.***
Ki Danupaya terperanjat begitu menerima lapo- ran sepuluh orang anak buahnya tewas. Lebih terkejut lagi saat mendengar orang yang membunuhnya lenyap di depan pintu gerbang rumahnya. Laki-laki setengah baya itu bergegas menuju ke kamar istrinya yang selalu mengurung diri di dalam kamar, sejak putri mereka diculik saat pesta pernikahannya. Hingga kini belum ada kabar berita tentang hilangnya Nurmi yang tanpa jejak sama sekali. Ki Danupaya menggedor keras pintu kamar istrinya. Memang keselamatan istrinya selalu dikhawatirkan sejak terbunuhnya istri Ki Murad di tepi hutan.
"Nyai...! Buka pintunya, Nyai...!" seru Ki Danupaya keras sambil menggedor pintu kamar itu.
Tidak ada sahutan sama sekali. Ki Danupaya semakin cemas. Di gedornya pintu itu semakin keras, sambil terus memanggil istrinya agar membuka pintu. Agak lama juga, dan akhirnya pintu kamar itu terbuka pelahan. Tampak seorang wanita yang belum begitu tua usianya berdiri di ambang pintu. Wanita yang berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu menggeser ke samping. Ki Danupaya menerobos masuk, langsung menghampiri jendela yang terbuka sedikit. Di longoknya keadaan di luar, lalu ditutup jendela itu rapat-rapat.
Ki Danupaya menghampiri wanita yang hanya mengenakan kemben saja.
"Ada apa, Kakang?" lembut suara Nyai Danupaya bertanya.
"Si Keparat itu ada di sini. Aku cemas terhadap mu, Nyai," sahut Ki Danupaya.
"Tidak ada siapa-siapa di sini," kata Nyai Danupaya. "Lagi pula, apa yang diinginkan di sini?"
"Aku tidak tahu. Yang jelas dia telah membunuh sepuluh orang anak buahku," kata Ki Danupaya.
Nyai Danupaya mendesah panjang. Dihampirinya pembaringan, dan direbahkan dirinya di sana. Ki Danupaya menghampiri dan duduk di tepi pembaringan. Dipandanginya wajah istrinya yang nampak lesu dengan sinar mata redup tanpa gairah. Meskipun Nurmi bukan anak kandungnya, tapi Nyai Danupaya sangat menyayangi. Dia adalah istri muda Ki Danupaya. Sedangkan ibu Nurmi sendiri telah meninggal saat anak itu berusia tujuh tahun. Dan Nyai Danupaya sendiri masih memiliki seorang anak gadis yang baru berusia delapan belas tahun, yang saat ini bersama kakeknya di Pertapaan Jati Wangi.
Ki Danupaya menoleh saat mendengar suara ketukan di pintu. Dan pintu kamar itu memang tidak tertutup. Seorang laki-laki muda berdiri di ambang pintu, lalu menjura memberi hormat. Ki Danupaya hanya menganggukkan kepalanya sedikit.
"Semua penjaga sudah disebar, Gusti. Tapi orang itu tidak ada. Mungkin sudah pergi," lapor pemuda itu.
"Kalau begitu, lipat gandakan penjagaan. Terutama di sekitar rumah ini!" perintah Ki Danupaya.
"Baik, Gusti," sahut pemuda itu seraya membungkuk memberi hormat.
Ki Danupaya mengibaskan tangannya sedikit, maka pemuda itu bergegas pergi. Segera ditutupnya pintu kamar ini. Ada sedikit desahan terdengar dari hidung laki-laki setengah baya itu. Sementara Nyai Danupaya masih terbaring dengan mata menerawang jauh ke langit-langit kamar.
"Sudahlah, Nyai. Aku pun tidak tinggal diam begitu saja. Kita berdoa saja, mudah-mudahan anak kita selamat," kata Ki Danupaya mencoba menghibur.
"Bisa kau biarkan aku sendiri saja, Kakang?" pinta Nyai Danupaya.
Ki Danupaya merayapi wajah istrinya sesaat, kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Sedangkan Nyai Danupaya masih terbaring. Matanya kembali menerawang jauh, menatap langit-langit kamar. Sedikit pun kepalanya tidak berpaling meskipun mendengar suara pintu kamar tertutup kembali. Suasana di dalam kamar kembali sunyi, tanpa terdengar satu suara pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
30. Pendekar Rajawali Sakti : Warisan Berdarah
ActionSerial ke 30. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.