Krist terbangun dari tidurnya saat seseorang membuka pintu kamar pagi ini, namun yang dilihatnya bukan orang yang ia tunggu selama 6 hari ini. Sudah enam hari sejak ia di kurung didalam kamar, ia hanya mendapatkan makan pagi dan malam. Ia tidak berniat kabur dari kamar atau rumah ini, ia tau hal yang sangat buruk akan terjadi jika ia mencoba kabur.
"Tuan belum kembali..." Ujar Yui yang baru saja masuk dengan senyumannya.
"Hmmm..." Krist turun dari ranjang, berjalan menuju segelas air putih di atas nampan yang dibawa Yui.
"Tuan Krist ingin susu cream coklat? Atau vanila?" Tanya Yui dengan selapis di atas tangan.
"Akan aku tuangkan sendiri..." Jawabnya singkat sebelum meneguk habis segelas minuman di tangannya.
Yui mengangguk mengerti, ia kembali meletakkan roti di atas piring lagi.
"Saya pamit..." Ujar Yui sebelum pergi.
Krist menjawab dengan anggukan sebelum berjalan menuju lemari pakaian Singto. Tangan kanannya menyusuri deretan koleksi pakaian Singto, sebelum berhenti di sebuah pakaian berwarna putih di ujung lemari. Pakaian putih itu memiliki noda darah pada bagian dadanya, mengingatkan Krist pada kejadian 5 tahun lalu.
Brak!!! Singto muda tengah duduk diruang makan saat ayahnya menggebrak meja didepannya.
"Dia terlalu muda! Tuan Risk tidak akan suka! Cari yang lebih bagus!" Teriak ayah Singto sembari menunjuk kepada anak buahnya dan seorang anak kecil berusia kisaran 12 tahun.
Bukan hal yang baru bagi Singto melihat ayahnya berbisnis atau marah pada anak buahnya yang sulit di atur.
"Sing, cepat berangkat! Mau berangkat jam berapa kau ini! Waktu adalah uang! Dan uang adalah nafasmu! Ingat itu! Cepat pergi ke sekolahmu!" Teriak ayah Singto, yang di teriaki hanya mengangguk tak berniat membantah. Ia tau ayahnya suka marah, tapi itu demi kebaikannya. Ia berdiri dari duduknya, dan berbalik. Namun langkahnya langsung terhenti begitu melihat anak kecil cantik dengan beberapa luka di pergelangan tangan dan kakinya.
"Apa dia tidak ada yang memiliki?" Tanya Singto entah pada siapa, karena kedua matanya fokus pada anak kecil didepannya.
"Harusnya dia menjadi milik tuan Risk sialan itu! Tapi itu terlalu muda, tuan Risk tidak akan suka. Apa yang mau kau lakukan?" Tanya Ayah Singto yang berada di balik punggung Singto.
"Aku akan mengambilnya...." Ujar Singto dengan sebuah senyuman yang sulit di mengerti.
"Tidak! Kau terlalu muda untuk bermain!"
"Aku tidak akan meminta kado ulang tahun, aku akan melanjutkan kuliah di Manchester seperti keinginan ayah, tapi aku ingin dia sebagai gantinya..." Singto masih tersenyum, sebuah senyum yang membuat beberapa bodyguard disana merinding. Senyuman Singto yang seperti itu sangat mirip seperti ayahnya, menakutkan.
"Deal!" Ujar ayah Singto.
Singto tersenyum puas penuh kemenangan, berjalan mendekat pada si cantik, "Bawa dia ke kamarku, lalu kunci pintu. Aku akan mengurusnya saat aku pulang..." Bisik Singto pada bodyguard di samping si cantik, namun kedua manik matanya tidak lepas dari si cantik. Setelah memberikan senyuman, Singto langsung pergi meninggalkan ruang makan.
Beberapa jam kemudian, Singto sudah pulang dari sekolahnya, dengan semangat ia langsung berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Saat membuka pintu, si cantik yang ia tinggalkan pagi tadi tengah duduk manis di atas tempat tidurnya. Kedua matanya menatap takut ke arah Singto, kedua lututnya tertekuk didepan dada dengan kedua lengan di atasnya. Dengan lembut Singto berjalan mendekat, namun si cantik memilih mundur, menyembunyikan wajahnya.