Sudah dua minggu dari kepulangan Krist dan Singto dari Italia, Krist sudah kembali ke sekolah dan Singto kembali dengan pekerjaannya. Hubungan keduanya pun kembali normal, Krist kembali meminta maaf atas kebodohannya, dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ia juga mengatakan kepada kedua sahabatnya untuk mengingatkan dirinya sendiri jika ia sampai mengulangi hal yang sama. Krist juga menjelaskan pada Singto apa yang membuatnya kesal hingga melakukan kesalahan itu.
Sore ini, Krist baru saja sampai di rumah sepulang sekolah. Seperti biasa, ia di jemput oleh sopir suruhan Singto. Ia baru menyadari jika rumah terlihat lebih ramai dari biasanya saat turun dari mobil. Beberapa orang terlihat berjaga, dan ada dua atau tiga orang yang Krist tau siapa mereka. Dengan langkah hati-hati Krist berjalan memasuki rumah, hingga sebuah suara yang sudah sangat ia kenal terdengar.
"...tidak masalah jika kau tetap bersamanya, tapi kita hidup di dunia bisnis, Sing...." Suara berat itu, suara lelaki yang sangat Krist tidak ingin dengar.
"Aku tidak akan menikah dan tidak ingin menikah! Aku masih mampu menjalankan bisnis ini tanpa bantuan mereka!" Suara Singto mulai meninggi.
"Ah! Kau sudah pulang rupanya! Kemarilah!" Teriak ayah Singto pada Krist saat tau ia memasuki ruang keluarga dengan ragu-ragu.
"Pho!" Singto mencegah Krist untuk lebih dekat ke Pho nya lagi
"Apa? Pho hanya ingin bicara! Kemari!" Panggil Pho sekali lagi membuat Krist melangkah menghindari Singto.
Namun, dengan cepat Singto menahannya, "Masuk ke kamarmu! Sekarang!" Bentak Singto, membuat Krist berhenti melangkah.
"Bagaimana jika Singto menikah?" Kali ini tanpa babibu, ayah Singto langsung melancarkan pertanyaan pada Krist.
"Pho!" Bentak Singto.
"Tidak apa jika dia memang menginginkannya, tetapi jika dia tidak menginginkannya maka tidak perlu." Krist tersenyum di akhir kalimatnya.
"Mau tidak mau, Singto tetap butuh penerus pada akhirnya nanti. Apa kau bisa memberikan keturunan?" Tanya ayah Singto.
"Pho! Cukup!"
"Saya mungkin memang tidak bisa memberikan itu padanya, tapi sekali lagi saya katakan, saya akan mendukung apapun keputusannya. Maaf saya permisi..." Krist memberi salam sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.
Pertanyaan dari ayah Singto cukup membuat Krist tidak nyaman, berlama-lama ditempat itu akan membuat Krist goyah. Jadi, akan lebih baik jika ia menyingkir lebih dulu.
Krist sudah berganti pakaian, sibuk dengan buku-buku di meja belajar sembari suara musik kencang di earphone nya, bahkan ia tak menyadari keberadaan Singto yang tengah berdiri di belakangnya. Krist terlihat fokus, namun pikirannya entah terbang kemana sehingga pensil di tangannya terjatuh.
Singto menepuk bahu Krist, membuat ia terkejut, "Daddy mengejutkanku...." Krist melepaskan earphone nya.
"Maaf..." Singto merendahkan tubuh, melingkarkan lengannya pada leher Krist, mendekatinya untuk mendapatkan ciuman ringan.
Bibir keduanya saling menempel, hingga Krist memberikan akses untuk Singto memasukkan lidahnya. Ciuman mulai memanas, Singto tampak mendominasi permainan ini, ia mulai melumat bibir dan lidah Krist, saliva menetes lembut dari pertarungan kedua lidah, suara kecapan dari kedua bibir mereka memenuhi ruangan.
Krist mulai tidak dapat menahan nafsunya lagi, ia memutar tubuhnya, melingkarkan kedua tangan pada leher Singto. Dengan gerakan sigap nan lembut, Singto menarik pinggang Krist supaya bangun dari duduknya mengarahkan Krist ke atas ranjang.
Detik berikutnya Krist menyudahi ciuman keduanya, setelah ia duduk di atas ranjang. Nafas keduanya saling memburu, meraih oksigen sebanyak-banyaknya, Krist dan Singto saling mengadu tatapan, tatapan lembut dan tajam yang dipenuhi cinta.
Krist tersenyum kecil, menarik pinggang Singto supaya mendekat. Singto mengulurkan tangannya untuk membuai wajah Krist lembut, "Sejak pertama aku melihatmu, aku tau aku menginginkanmu...."
Krist tersenyum mendengar ucapan Singto, ia yakin saat ini pikiran Singto sedang berat sekali. Jadi dia disini akan membantu Singto meringankan beban.
Krist berdiri menempelkan tubuh keduanya, membiarkan Singto menyusuri lehernya. Ia memutar posisi keduanya, mendong Singto supaya terlentang di atas tempat tidur.
Krist mulai melepaskan pakaian dan celana Singto, menahannya supaya tetap terlentang. Krist mulai naik ke atas tempat tidur setelah melepaskan pakaiannya sendiri. Ia mulai merangkak naik ke atas tubuh Singto. Ia duduk atas junior Singto yang sudah mengeras, menggerakkan pantatnya untuk menggoda si junior.
Singto mendesis merasakan gesekan di bawah sana, "Sssshhh.... Baby...."
Krist tersenyum cantik, ia membantu junior Singto memasuki holenya tanpa bantuan gel membuat ia harus memejamkan mata menahan rasa sakit, "Eeeemmmmhhhhhhhh.... Haaaahhhhhh...."
Singto menampar paha mulus Krist, "Aaaahhhh...." Desah Krist begitu ia membiarkan junior Singto masuk lebih dalam.
Singto menarik pinggang Krist untuk memasukkan juniornya lebih dalam lagi.
"Aaaahhh daaadd.... Fuck.... Aaahh..." Krist menengadahkan kepalanya saat Singto berhasil mencapai titik terdalam.
"Haaahhh haaaahhh... Aku bergerak..." Ujar Krist dengan susah payah ia mengucapkannya, menahan rasa ingin segera dihujam oleh Singto.
Krist mulai bergerak naik turun, mendapatkan junior Singto masuk lebih dalam. Krist terus mendesah di atas tubuh Singto, merasakan kenikmatan berlimpah di sana.
Disisi lain, menikmati keindahan tubuh Krist dari tempatnya adalah sesuatu yang membahagiakan. Ini bukan kali pertama atau kedua, namun ia benar-benar tidak pernah merasa bosan. Tubuh Krist bak lukisan indah, kulitnya putihnya yang tampak memerah selalu memberikan kesan seksi. Krist dengan keindahannya adalah sebuah karya seni tiada banding untuk Singto.
"Aaaahhhh... Aku.... Aaaahhh.... Shit..." Singto menarik tubuh Krist menghentikan gerakan naik turunnya, "Kemari babe..."
Dalam sekali hentak, Krist sudah berada dibawahnya tanpa melepas tautan tubuh mereka. Singto mulai menghujamnya dengan cepat, lebih cepat ia bergerak maka Krist harus menahan sakit. Singto bergerak dengan sedikit terburu-buru, menandakan ia berada di puncak kenikmatan.
"Aaaahhhh daaaddd... No.... Aaahhh... It's hurt.... Aaahhh.... Haaahhh... Haaaah...." Singto mengabaikan rancauan Krist, ia meraup bibir Krist. Melumatnya kasar sebelum berbisik, "Bersama sayang..."
Singto menghentakkan juniornya kedalam tubuh Krist, menghujamnya lebih dalam, membuat Krist menjerit sebelum akhirnya mereka berdua melakukan pelepasan bersama.
"Haaahhh haaahhh..." Suara nafas keduanya terdengar memburu.
Singto langsung membaringkan tubuhnya disamping Krist, memejamkan mata untuk tidur.
"Daddy lelah?" Bisik Krist.
"Aku ingin tidur..." Gumam Singto dengan mata tertutup.
Krist tau bukan tubuh Singto yang lelah, tapi hati dan pikiran. Kehadiran ayah Singto merupakan sesuatu yang buruk untuknya, apalagi permintaan sang ayah untuk menikah. Besok akan dimulai hari yang buruk jika ayah Singto masih memilih tinggal disini. Dan Krist pasti akan lebih memilih berada di dekat Singto daripada di rumah dengan sang tuan besar.
Krist bergerak memeluk Singto, menyembunyikan wajahnya ke dalam dada seperti yang biasa ia lakukan.
"Aku mencintaimu... Phi..." Suara Krist teredam oleh dada naked Singto, namun sebuah senyuman yang menandakan ia mendengar apa yang diucapkan Krist. Sebuah senyum yang juga memberikan tanda jika si pendengar merasa bahagia.
TEBECEH
Jadi, aku nulis bagian ini tuh tepat setelah aku vakum.
So, i am so sorry if, it's not good 😭😭😭