Masih di musim penghujan, pancaroba tepatnya. Satu persatu teman di kelasku mulai tumbang, termasuk aku satu diantaranya. Sore sepulang Ujian Nasional hari pertama, aku tiba-tiba saja terbangun di bed kecil sebuah ruangan Instalasi Gawat Darurat dengan tangan tertancap selang infus dan juga hidung tersalur oksigen. Ya, aku ingat sudah seminggu aku sangat stress dengan tuntutan Ibu dan Ayah untuk jenjang karir ku selanjutnya. Mereka meminta aku untuk jadi Perawat Militer, bisa kalian kira-kira bagaimana resiko nya. Aku sendiri lebih tertarik untuk jadi Sastrawan atau berkutat dengan jas laboratorium, sampai pada akhirnya disela-sela aku mempersiapkan diri untuk ujian, aku juga memikirkan permasalahan tersebut.
"Mikirin apa?" suara itu terdengar di balik tirai. Terlihat ada pantulan cahaya handphone ke arah wajahnya.Itu Dito.
Aku berusaha untuk tidak menggubris pertanyaannya dengan memejamkan mata. Tapi seperti biasanya, Dito tidak mau kalah hanya karena aku tidak menjawab, dia masuk ke dalam tirai lalu berusaha mengusap pangkal kepalaku.
"Lo ngapain usapin kepala gue sih, Dit?"
"Jangan banyak pikiran, Nay. Kita lagi ujian" Mata kita berdua bertemu agak lama, tergambar jelas raut wajah khawatir Dito, sedangkan aku pura pura tidak tahu.
"Ya" ucapku singkat. Moodku sedang kacau, sama sekali tidak ada minat untuk bercerita atau bahkan bersuara satu vocal pun.
"Aku sih khawatir, Nay. Emang kalau kamu pingsan bisa jalan sendiri ke rumah sakit?"
"Lo jangan tolongin gue lah, Dit. Ribet amat jadi manusia"
"Kalau kamu dibiarin ngemper di ruang ujian, keganggu lah kita semua Ujian"
Jawaban nya berhasil membuat aku sejenak terdiam, kepalaku sepertinya masih pusing karena menghitung Logaritma, tapi kemudian makin pusing setelah mendengar suara Ezran mendekat ke arah bed. Dito mulai menjauh perlahan, dan aku memposisikan diri untuk duduk 90 derajat.
"Kanaya kenapa katanya, Dit?" Ezran tidak menyapaku seperti biasanya, tapi bertanya ke Dhito.
"Kurang tidur bang, sama dehidrasi"
Ezran mengangguk lalu mengisyaratkan Dito sudah diperbolehkan untuk pulang, sisa aku dan Ezran dikelilingi tirai.
"Jangan maksain kalau memang gak mau dek, itu cuma harapan Ayah sama Ibu. Terealisasinya mah tergantung situasi, jangan terpaku" mata Ezran terlihat sayu, karena memang baru pertama kali tanganku ditancap benda asing bernama infusan, jadi Ezran sangat khawatir kenapa aku bisa setumbang ini.
"Maaf ya abang, aku gak bisa seperti abang. Nurut apa maunya Ayah dan Ibu"
"Loh, justru abang menyarankan kamu untuk jadi diri sendiri. Toh nanti kalau kamu sukses, Ayah sama Ibu juga akan bangga sama apa yang kamu dapetin, gimana? setuju sama pendapat abang?"
Entah sejak kapan mataku rasanya berat, tiba tiba saja rok sekolah ku basah terkena tetesan Air mata.
"Kanaya jadi pengen nangis tau gak!"
Ezran cuma cengengesan, tidak banyak bicara kemudian dia merangkul aku ke dalam pelukan.
"Udah, nanti kalau mau daftar kuliah biar abang yang anter"
"Gak usah ya! aku udah gede, gak perlu dianter.. ngapain juga dianterin"
"Oh mau dianter si Dhito itu ya?"
"GAKKK! ABANG ANTER AKU AJA!"
Aku tidak bisa menilai seberapa berharga Ezran dan Argio dalam kehidupan ku, banyak.. sampai gak bisa kuhitung. Mungkin karena kita terbiasa kompak melakukan segala sesuatu di rumah hanya bertiga, jadi kami saling mengerti perasaan satu sama lain. Saat itu aku hanya dirawat sampai pukul 9 malam, kemudian aku pulang dan melanjutkan belajar untuk Ujian ku di Sekolah. Ezran tetap memantau meskipun dia sangat sibuk, begitu pun Argio dia akhir akhir mengganti tugasku untuk memasak dan ke pasar. Hanya saja mulutnya sangat bawel bertanya hari ini atau besok harus masak apa.
"Teh, emang Kol bisa di goreng? wih canggih"
atau
"Kalau Ayam goreng tepung tuh sama aja ya kayak ciken di bedakin?"
aku berusaha untuk tidak tertawa, tapi sulit. Karena....
"Kalau gak ketawa, mau pundung seven sloving descend"
HAH?
"Pundung Tujuh turunan, hehe" tambah Argio sambil nyengir.