Seekor kuda hitam pekat berpacu cepat membelah jalan berdebu. Penunggangnya seorang pemuda berwajah cukup tampan mengenakan baju biru dari sutra halus bersulamkan benang emas. Dari pakaian yang berdebu dan keringat bercucuran deras, bisa diduga kalau penunggang kuda itu habis melakukan perjalanan jauh. Kuda hitam itu terus berpacu cepat menerjang daun-daun kering dan menyepak debu-debu hingga mengepul ke udara.
“Hooop...!”
Tiba-tiba pemuda itu menarik tali kekang kuda hitamnya, membuat tunggangannya itu meringkik keras, langsung berhenti sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Bergegas dia melompat turun. Gerakannya indah dan ringan sekali. Ditepuk-tepuk leher kudanya agar kuda hitam itu menjadi tenang. Sepasang bola matanya menyorot tajam, merayapi empat orang laki-laki berseragam prajurit yang berdiri menghadang di tengah-tengah jalan. Mereka semua memegang tombak panjang.
“Beritahu Gusti Prabu Jayengrana. Aku, Natapraja datang,” ujar pemuda penunggang kuda hitam itu. Lantang suaranya.
“Maaf, Kisanak. Gusti Prabu sedang bersemadi, tidak boleh diganggu,” sahut salah seorang prajurit yang berdiri paling pinggir kanan.
“Kurang ajar! Berani kau bantah perintahku, heh!” bentak Natapraja mendelik. Empat orang prajurit itu saling berpandangan. Mereka tidak kenal pemuda tampan yang datang menunggang kuda hitam itu. Apalagi tugas mereka adalah menjaga junjungannya agar tenang bersemadi di dalam puri. Tiba-tiba salah seorang prajurit bersiul nyaring. Dan sebentar saja tempat itu sudah dipenuhi sekitar lima puluh orang prajurit bersenjata tombak dan pedang.
Natapraja menggereng dan menyemburkan ludahnya beberapa kali. Matanya tajam merayapi para prajurit yang telah mengepung membawa senjata terhunus. Seorang laki-laki berusia setengah baya mengenakan seragam panglima melangkah di depan, lalu berdiri tegak sekitar lima langkah di depan Natapraja.
“Aku Panglima Pramoda, Kepala Pasukan Pengawal Gusti Prabu Jayengrana. Apa keperluan Kisanak sehingga datang pada saat Gusti Prabu tengah bersemadi?” laki-laki setengah baya itu memperkenalkan diri dan bertanya sopan.
“Namaku Natapraja. Datang ke sini hendak bertemu Gusti Prabu Jayengrana,” mantap nada suara Natapraja.
“Sayang sekali. Untuk waktu yang tidak diketahui, Gusti Prabu Jayengrana tidak bisa ditemui oleh siapa pun,” sahut Panglima Pramoda tetap sopan.
“Keperluanku mendesak dan penting sekali, Panglima.”
“Jika Kisanak bersabar, bisa menanti sampai Gusti Prabu selesai bersemadi,” Panglima Pramoda menawarkan.
“Jika aku memaksa...?”
Panglima Pramoda terperanjat mendengar nada tantangan itu, tapi tetap berusaha tenang. Sungguh dia tidak ingin terjadi keributan di saat junjungannya, penguasa Kerajaan Salinga tengah menjalankan semadi, mendekatkan diri pada sang Pencipta jagat raya ini. Terlebih lagi Prabu Jayengrana sudah berpesan agar jangan diganggu selama melakukan semadinya.
“Kisanak, sebegitu pentingkah urusanmu sehingga harus memaksa Gusti Prabu menghentikan semadinya?” agak jengkel nada suara Panglima Pramoda.
“Jika terpaksa...!” tegas jawaban Natapraja.
“Kalau boleh tahu, apa keperluanmu dengan Gusti Prabu?” tanya Panglima Pramoda.
“Hanya Gusti Prabu Jayengrana yang boleh tahu!” tetap tegas jawaban Natapraja.
“Hm.... Kau hanya cari perkara saja, Anak Muda,” dengus Panglima Pramoda. Laki-laki setengah baya itu tidak dapat lagi menahan geramnya, melihat tingkah pemuda yang mengaku bernama Natapraja.
“Ha ha ha...!” Natapraja terbahak-bahak.
Sementara Panglima Pramoda sudah memberi isyarat pada para prajurit untuk bersiap siaga penuh. Tampak sekitar sepuluh orang prajurit sudah siap-siap dengan panah terpasang di busur yang merentang menegang. Sedangkan Natapraja hanya melirik saja sambil mengulas senyuman meremehkan.
Panglima Pramoda langsung bisa membaca gelagat kurang baik pemuda berwajah tampan, dan berpakaian seperti seorang anak pembesar. Tapi masih dicoba untuk menahan kesabarannya. Panglima itu sudah banyak berpengalaman dalam menghadapi pemuda sombong seperti ini. Dan dia tidak ingin terjebak oleh sikap congkak dan meremehkan seperti itu.
Belum lagi Panglima Pramoda membuka mulut kembali, mendadak saja Natapraja berlutut sambil merapatkan kedua telapak tangannya ke depan hidung. Sikap pemuda itu diikuti para prajurit yang berada di belakangnya, sehingga membuat Panglima Pramoda terbengong. Terlebih lagi, seluruh prajuritnya juga berlutut dengan sikap sama. Panglima Pramoda bergegas membalikkan tubuhnya, dan langsung terbeliak. Buru-buru dijatuhkan dirinya berlutut sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Tidak ada yang tahu, kapan seorang laki-laki berusia sekitar enam puluhan tahun muncul, dan tahu-tahu sudah berada di tempat itu. Pakaiannya terbuat dari kain sutra putih berbentuk seperti seorang pertapa. Wajahnya memancarkan cahaya, dan sinar matanya bagai bintang pagi yang indah. Di tangan kanannya ter- genggam seuntai tasbih dari batu biru berkilau yang memancarkan cahaya apabila terpantul sinar matahari.
“Panglima Pramoda...,” berat dan berwibawa suara orang itu.
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Panglima Pramoda sambil memberikan sembah.
“Siapa anak muda itu?” tanya orang tua yang ternyata adalah Prabu Jayengrana.
“Ampun, Gusti Prabu. Anak muda ini mengaku bernama Natapraja. Dia ke sini memaksa ingin bertemu dengan Gusti Prabu,” sahut Panglima Pramoda bersikap penuh hormat.
“Hm...,” Prabu Jayengrana menggumam tidak jelas. Pandangannya beralih pada pemuda yang berlutut menundukkan kepalanya di belakang Panglima Pramoda.
Prabu Jayengrana mengayunkan kakinya. Begitu ringannya melangkah, seakan-akan kakinya tidak bergerak sama sekali. Tak ada suara terdengar sedikit pun saat laki-laki berpakaian putih bagai pertapa itu berjalan. Pasti dia telah memiliki kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh. Prabu Jayengrana berhenti sekitar dua langkah di depan Natapraja. Pemuda itu kembali memberikan sembah dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
“Anak muda, Apa keperluanmu ingin menemuiku?” tanya Prabu Jayengrana.
Natapraja tidak segera menjawab. Diberinya hormat sekali lagi, lalu perlahan-lahan berdiri. Melihat sikap pemuda itu, Panglima Pramoda bergegas berdiri sambil mencabut pedangnya. Namun belum juga dicabut seluruh pedangnya, sudah keburu dicegah Prabu Jayengrana dengan merentangkan tangannya. Natapraja berdiri tegak. Ditatapnya dalam-dalam, bola mata laki-laki bagai pertapa itu.
“Maaf, Gusti Prabu. Hamba datang untuk membunuhmu,” kata Natapraja tegas.
Dan sebelum ada yang menyadari ucapan Natapraja, tiba-tiba saja pemuda itu mengibaskan tangan kanannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga Prabu Jayengrana sendiri tidak sempat menyadari akan hal itu. Mendadak sebilah pisau bergagang kepala ular sudah tertancap di dada Raja Salinga itu.
“Hiyaaa...!”
Natapraja bergegas melompat ke punggung kudanya. Secepat kilat kuda hitam itu berlari melewati beberapa orang prajurit yang hanya terperangah menyaksikan kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali.
“Kejar dia! Cepat...!” teriak Panglima Pramoda begitu tersadar dari keterkejutannya.
Seketika para prajurit yang masih terpana, langsung bergerak mengejar Natapraja. Sedangkan Panglima Pramoda bergegas menghampiri Prabu Jayengrana yang masih berdiri tegak walaupun sebilah pisau tertancap di dadanya.
“Gusti...,” tercekat suara Panglima Pramoda.
“Biarkan, jangan dicabut,” sergah Prabu Jayengrana ketika Panglima Pramoda hendak mencabut pisau di dadanya.
Panglima Pramoda hanya bisa memandangi disertai roman wajah yang tidak menentu. Sedangkan Prabu Jayengrana membalikkan tubuhnya, lalu berjalan ringan menuju kembali dalam puri tempatnya bersemadi. Panglima Pramoda mengikuti. Masih ada dua puluh prajurit di sekitar tempat itu. Sedangkan lainnya sudah tidak terlihat lagi karena mengejar Natapraja.
Prabu Jayengrana melangkah pelahan memasuki puri. Sebuah bangunan yang tidak begitu besar dari tumpukan batu berukir berwarna hitam pekat. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu duduk bersila di sebuah batu pipih berwarna putih berkilat. Sementara Panglima Pramoda segera mengambil tempat di depannya, seraya duduk bersila dan memberi hormat. Panglima itu agak heran juga. Ternyata, walaupun dadanya tertancap pisau, Prabu Jayengrana masih bertahan. Bahkan tidak setetes pun darah keluar dari dadanya.
“Gusti..., apakah Gusti Prabu...?” terputus suara Panglima Pramoda.
“Aku tidak apa-apa, Paman Panglima,” ujar Prabu Jayengrana dengan bibir mengulas senyum.
“Kembalilah ke istana. Katakan saja semua yang terjadi di sini tadi. Aku menunggu seluruh pembesar kerajaan untuk berkumpul di sini,” kata Prabu Jayengrana. Suaranya masih bernada penuh wibawa.
“Gusti...,” Panglima Pramoda mengangkat kepalanya. Hatinya tak tega meninggalkan junjungannya dalam keadaan seperti ini.
“Berangkatlah, Paman Panglima,” lembut, namun terdengar tegas suara Prabu Jayengrana.
Panglima Pramoda tepekur sesaat, kemudian bangkit berdiri dan memberi hormat. Bergegas kakinya melangkah ke luar diiringi pandangan mata Prabu Jayengrana. Panglima Pramoda hanya membawa lima orang prajurit, sedangkan sisanya diperintahkan untuk berjaga-jaga tidak jauh di sekitar puri. Dengan menunggang kuda, Panglima Pramoda dan lima prajuritnya bergegas pergi menuju ke Istana Salinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
32. Pendekar Rajawali Sakti : Permainan di Ujung Maut
ActionSerial ke 32. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.