BAGIAN 5

779 35 0
                                    

Tidak lama Raden Mandaka berada di dalam kuil, dan kini telah ke luar lagi. Dalam siraman cahaya bulan dan obor, tampak jelas wajahnya memerah dan matanya bersinar tajam bagai sepasang mata serigala liar. Dipandanginya para prajurit yang masih tetap berada di halaman depan kuil.
“Sudah berapa lama kalian berada di sini, heh?!” keras sekali suara Raden Mandaka.
“Raden...,” agak tertahan nada suara Tamtama Wira Kerti. “Ada apa, Raden? Apa yang terjadi di dalam?”
“Kalian semua bodoh! Apa yang kalian jaga, heh?! Hanya tumpukan batu! Lihat ke dalam!”
Tamtama Wira Kerti jadi kebingungan. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Raden Mandaka jadi marah-marah begitu setelah berada di dalam kuil. Sebentar dipandangi para prajuritnya, kemudian bergegas masuk ke dalam kuil. Sementara Raden Mandaka melangkah pergi. Dia berhenti dan menghenyakkan tubuhnya di bawah sebatang pohon jarak.
Saat mendongak ke atas kuil, dari atas sana meluncur bayangan merah, langsung mendarat di depan pemuda itu. Gurata menghampiri dan duduk bersila di depan Raden Mandaka. Sementara Tamtama Wira Kerti sudah keluar lagi dari dalam kuil. Bergegas dihampirinya Raden Mandaka, dan berlutut memberi hormat.
“Raden.... Ampunkan hamba, Raden. Hamba...,” suara Tamtama Wira Kerti tersendat-sendat, tidak sanggup mengangkat kepalanya memandang wajah Raden Mandaka yang memerah menahan berang.
“Apa sebenarnya yang terjadi di dalam, Raden?” tanya Gurata.
Belum sempat Raden Mandaka menjawab, Rangga muncul dari belakang kuil. Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri, dan berdiri saja di depan orang-orang itu. Raden Mandaka bangkit berdiri diikuti Gurata.
“Sejak semula aku ingin mengatakan kalau di dalam kuil tidak ada siapa-siapa. Maaf, memang dengan cara seperti ini lebih baik,” kata Rangga kalem.
“Kau lebih tahu dariku, Rangga. Di mana Ayahanda Prabu berada sekarang?” tanya Raden Mandaka langsung.
“Di Istana Salinga,” tiba-tiba ada suara menyahuti sebelum Rangga sempat membuka suara.
Semua orang yang berada di tempat itu langsung menoleh serentak ke arah datangnya suara tadi. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh di depan pintu kuil sudah berdiri seorang laki-laki berpakaian sangat ketat berwarna serba putih. Wajahnya terlihat tampan, dan sebilah pedang tersampir di punggungnya. Dia berdiri tegak sambil melipat tangan di depan dada.
“Siapa kau?!” bentak Raden Mandaka.
“Raden..., dialah Natapraja yang menikam Gusti Prabu Jayengrana,” bisik Tamtama Wira Kerti yang mengenali pemuda itu.
Pada waktu peristiwa di depan kuil ini, Tamtama Wira Kerti memang berada di tempat ini. Masih dikenali betul laki-laki muda berbaju putih itu. Orang yang menikam Prabu Jayengrana tepat pada dadanya.
“Rupanya kau biang keladi dari semua ini!” geram Raden Mandaka menahan amarahnya.
“Bukan. Aku hanya menjalankan tugas,” sahut Natapraja kalem.
“Kau menikam Ayahanda Prabu, dan sekarang kau katakan hanya menjalankan tugas! Dan sekarang juga kau katakan kalau Ayahanda Prabu ada di istana! Permainan macam apa ini, heh?!” bentak Raden Mandaka meluap amarahnya.
“Hanya permainan kecil, Raden. Dan semua itu sudah diatur sebelumnya,” masih terdengar tenang nada suara Natapraja.
“Dasar iblis keparat! Kau harus mampus di tanganku! Hiyaaat...!”
Raden Mandaka tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Bagaikan kilat tubuhnya melesat, langsung menyerang Natapraja menggunakan jurus-jurus pendek yang cepat dan dahsyat. Sedangkan Natapraja melayani dengan gerakan-gerakan ringan tanpa menggeser kakinya setapak pun. Hanya tubuhnya saja bergerak-gerak meliuk seperti seekor belut yang sangat licin untuk ditangkap.
“Hanya hukuman mati yang pantas bagi pengacau busuk sepertimu! Yeaaah...!”
Raden Mandaka semakin gencar melakukan serangan lewat jurus-jurus tangan kosong dalam keadaan jarak yang sangat rapat. Dikerahkan tenaga dalam penuh dalam setiap serangannya. Tapi rupanya Natapraja bukan manusia sembarangan yang bisa disepelekan begitu saja. Beberapa jurus telah berlalu, tapi belum ada satu pun yang mengenai sasaran. Sedangkan Natapraja belum juga menggeser kakinya barang setapak pun.
“Hm...,” Rangga yang sejak tadi hanya memperhatikan saja menggumam pelahan penuh arti.
Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa melihat, kalau tingkat kepandaian Raden Mandaka masih berada jauh di bawah Natapraja. Rangga sudah bisa meramalkan, dalam satu gebrakan saja, Natapraja mampu melumpuhkan perlawanan Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Dan baru saja Rangga menduga, hal itu sudah terjadi.
Satu kebutan tangan kiri Natapraja tidak dapat dibendung lagi, dan tepat menghantam bagian dada kanan Raden Mandaka. Akibatnya membuat pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang sambil terpekik tertahan. Raden Mandaka menggereng dahsyat seraya memegangi dada kanannya yang tersepak kibasan tangan kiri lawannya.
“Keparat...!” geram Raden Mandaka. Sret!
Cepat sekali Raden Mandaka mencabut pedangnya, dan secepat itu pula melompat bagaikan kilat sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali ke depan. Dengan pedang di tangan, pemuda itu kini harus berhati-hati menghadapinya. Dia berlompatan dan meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang Raden Mandaka yang cepat dan sukar ditebak arahnya.
Namun bagi Natapraja, setiap serangan Raden Mandaka bukanlah hal yang berarti, dan manis sekali dapat dihindarinya. Bahkan kembali dikibaskan tangan kirinya, tepat mengenai bagian dada kanan pemuda itu kembali. Untuk kedua kalinya Raden Mandaka terhuyung ke belakang. Tampak dari sudut bibirnya mengucurkan darah kental.
Wut! Wut...!
Raden Mandaka mengebutkan pedangnya beberapa kali di depan dada, bersiap hendak menyerang kembali. Sementara Natapraja tetap berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dadanya. Senyumnya mengembang bernada meremehkan. Dua kali Raden Mandaka berhasil dibuat terhuyung, tapi putra mahkota itu kelihatan belum jera juga.
“Raden...,” cegah Rangga cepat-cepat ketika Raden Mandaka hendak menyerang kembali.
Raden Mandaka mengurungkan niatnya, lalu sedikit menoleh menatap pada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah melangkah maju tiga tindak.
“Dia bukan lawanmu, Raden,” kata Rangga memperingatkan.
“Manusia keparat itu patut mendapat hukuman, Rangga!” dengus Raden Mandaka sengit.
“Aku tahu! Tapi dia bukan lawanmu, bahkan bisa menjatuhkanmu dengan mudah. Maaf, Raden. Bukan maksudku merendahkan ilmu olah kanuragan yang kau miliki,” Rangga memperingatkan dengan sabar.
“Kuserahkan dia padamu, Rangga,” kata Raden Mandaka seraya melangkah mundur dua tindak.
“Aku tidak bermaksud merendahkanmu, Raden,” ucap Rangga takut kalau putra mahkota itu tersinggung.
“Tidak! Memang sebaiknya aku tidak langsung terjun. Aku masih punya prajurit, dan ada kau,” sahut Raden Mandaka.
“Raden, sebaiknya kita bicara secara baik-baik dengannya,” usul Rangga.
“Tidak ada gunanya, Rangga. Semua prajurit menyaksikan bahwa dialah yang menikam Ayahanda Prabu!”
“Dan aku juga tidak akan sukar melenyapkan kalian semua!” celetuk Natapraja lantang.
Seketika itu juga memerah wajah semua orang yang ada di sekitar halaman kuil kecil itu. Terlebih lagi Raden Mandaka. Gerahamnya sampai bergemeletuk menahan amarah yang meluap tak terbendung lagi. Hanya Rangga yang masih kelihatan tenang. Diayunkan kakinya mendekati Natapraja.
Rangga mengambil jarak sekitar tiga langkah di depan Natapraja. Pandangan matanya tajam menusuk langsung pada bola mata laki-laki yang mungkin sebaya dengannya. Sedangkan Natapraja sendiri tidak berkedip membalas dengan tajam pula. Untuk sesaat lamanya mereka hanya saling tatap.
“Siapa kau, orang asing?” tanya Natapraja, dingin nada suaranya.
“Aku Rangga, berjuluk Pendekar Rajawali Sakti,” Rangga mengenalkan diri.
“Kau bukan orang Salinga, kenapa ikut campur dalam persoalan ini?” tetap dingin dan datar nada suara Natapraja.
Untuk beberapa saat Rangga tidak bisa menjawab. Dalam beberapa hal, memang diakui kebenaran dari pertanyaan Natapraja tadi. Dia memang bukan orang asli Salinga, dan hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat dan melihat Raden Mandaka tengah dikeroyok saat itu. Pertemuan yang tidak direncanakan, tapi telah membuat jiwa kependekaran Rangga terketuk.
“Aku pembela kebenaran, dan aku datang untuk mencari keadilan di Salinga ini,” tegas Rangga, lantang suaranya.
“Keadilan...?! Ha ha ha...!” Natapraja tertawa terbahak-bahak.
Rangga hanya diam saja, hatinya juga masih terlalu dingin untuk bisa cepat menggebrak laki-laki di depannya ini. Tapi Raden Mandaka sudah tidak sabaran lagi, namun tidak bisa bertindak begitu saja. Semua sudah diserahkannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Lagi pula, disadari kalau dirinya tidak akan mampu menghadapi Natapraja.
“Kau tidak akan mendapatkan keadilan di negeri ini, Rangga. Sia-sia saja melindungi bocah ingusan yang manja itu!” Natapraja menuding Raden Mandaka.
“Setan alas! Keparat...!” geram Raden Mandaka hampir meluap kembali amarahnya.
Kalau saja tidak dicegah Gurata, pasti Raden Mandaka sudah menghunus pedangnya kembali yang sudah tersimpan di dalam sarungnya. Raden Mandaka hanya bisa menggereng, mengumpat, dan memaki di dalam hati. Baginya, Natapraja sudah begitu kurang ajar. Berani menghina serta menudingnya di depan banyak orang. Satu penghinaan besar baginya.
“Tampaknya kau sangat membenci Raden Mandaka, Kisanak,” kata Rangga memancing.
“Benci...? Tidak! Aku tidak pernah membenci seorang pun di dunia ini. Aku hanya menjalankan tugas!”
“Siapa yang memberimu tugas?” desak Rangga.
“Ha ha ha...! Kau pikir aku akan memberitahu? Sayang sekali, aku sudah diperintahkan untuk mencegah siapa saja yang masuk ke dalam kuil. Dan tidak mungkin kutarik sumpahku. Siapa saja yang telah memasuki kuil harus mati!”
“Hm...,” Rangga mengerutkan keningnya.
“Dan kalian harus mati semua! Tidak terkecuali, kau juga, Raden Mandaka!”
Setelah berkata demikian, Natapraja menggerakkan kedua tangannya di depan dada. Lalu tiba-tiba saja dihentakkan tangannya ke depan. Seketika itu juga, entah dari mana datangnya, tahu-tahu bertiup angin kencang. Begitu dahsyatnya, sehingga bumi bergetar, batu-batuan beterbangan, dan pepohonan bertumbangan!
Para prajurit yang memiliki kepandaian rendah, tidak dapat menguasai keseimbangan dirinya. Bagai daun kering tertiup angin kemarau, mereka beterbangan diiringi jeritan melengking menyayat hati. Tubuh-tubuh para prajurit itu terhempas membentur pepohonan dan batu-batu keras.
Sedangkan yang memiliki kemampuan cukup tinggi, berusaha untuk tidak terhempas dengan cara masing-masing. Namun badai yang ditimbulkan Natapraja semakin dahsyat saja. Sedikit demi sedikit, terlihat Raden Mandaka, Gurata, dan Tamtama Wira Kerti mulai bergeser posisinya. Sementara Rangga masih terlihat kokoh berpijak pada tempatnya. Pendekar Rajawali Sakti itu mulai menggerakkan tangannya pelahan-lahan.
“Aji ‘Bayu Bajra’...!” teriak Rangga tiba-tiba. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu merentangkan tangannya ke samping, lalu dengan cepat pula mengangkat ke atas. Dan begitu kedua telapak tangannya menyatu di atas kepala, terdengar ledakan dahsyat bagai letusan gunung berapi. Mendadak saja badai itu jadi tidak menentu, dan berubah berputar di sekitar Rangga maupun Natapraja.
Badai itu terus berputar, semakin mengecil ruang lingkupnya. Tampak rerumputan dan batu-batu kerikil beterbangan berputar mengelilingi Natapraja dan Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu tidak ada seorang prajurit pun yang kelihatan lagi. Hanya Tamtama Wira Kerti yang masih tetap berdiri di samping Raden Mandaka dan Gurata. Mereka hanya bisa menyaksikan adu kesaktian dua tokoh digdaya itu.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Natapraja melesat cepat bagaikan kilat sambil menjulurkan kaki kanan ke depan. Dan pada saat yang sama, Rangga menarik turun kedua tangannya. Tepat pada saat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti berada di depan dada, telapak kaki Natapraja mendarat di tangan itu.
Glarrr...!
Satu ledakan keras terjadi. Tampak Natapraja terlontar ke belakang sejauh tiga batang tombak. Sedangkan Rangga hanya terdorong selangkah. Dua kali Natapraja berjumpalitan di udara, lalu mendarat manis di tanah.
“Kau hebat, Rangga,” puji Natapraja tulus.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja.
“Tapi itu belum berarti kau menang. Nah! Terimalah jurus-jurusku ini. Hiyaaat...!”
Natapraja melesat cepat bagaikan kilat, langsung mengirimkan beberapa pukulan bertenaga dalam tinggi. Saat itu Rangga memang sudah siap menyam- but serangan itu dengan manis. Pertarungan sengit tidak dapat dihindari lagi. Tampak sekali kalau Natapraja begitu bernafsu hendak menjatuhkan lawannya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya sesekali saja memberikan serangan balasan.
“Jangan menganggapku remeh, Rangga. Kau akan menyesal!” seru Natapraja seraya melepaskan dua pukulan beruntun disertai tendangan menggeledek yang mengandung tenaga dalam tinggi!
“Uts! Hap...!”
Rangga mengelakkan dua pukulan itu dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Sesekali dikibaskan tangan kanannya untuk menangkis satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Satu benturan kekuatan tenaga dalam terjadi. Terdengar suara keras berderak. Tampak Natapraja melompat mundur agak terhuyung. Dan sebelum Natapraja sempat mengontrol dirinya, Rangga sudah melompat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
“Hiyaaat...!”
Tak ada lagi kesempatan bagi Natapraja untuk berkelit. Buru-buru dihentakkan tangan kanannya, memapak pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga menarik pulang pukulannya sebelum mencapai sasaran. Dan dengan gerakan yang cepat luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti itu mengibaskan kakinya menghantam perut Natapraja.
Dug!
“Heghk!” Natapraja mengeluh pendek.
Pemuda berbaju putih ketat itu terdorong ke belakang dengan tubuh agak membungkuk. Dan belum lagi sempat menguasai tubuhnya, kembali Rangga melontarkan pukulan menggeledek yang sangat keras.
“Yeaaah...!” Des!
“Akh...!” Natapraja menjerit keras.
Pukulan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam wajah Natapraja, membuat kepala pemuda itu terdongak ke atas. Tampak darah langsung muncrat dari mulutnya. Kembali Natapraja terlontar ke belakang saat satu pukulan tangan kiri Rangga mendarat di dadanya.
Sebongkah batu besar berwarna hitam pekat berlumut, hancur berkeping-keping ketika punggung Natapraja menghantamnya! Pemuda itu menggeletak dan menggeliat sambil mengerang. Hanya sebentar menggeliat, lalu bergegas melompat bangkit. Dia berdiri sempoyongan seraya menggelengkan kepala beberapa kali. Dengan punggung tangan, Natapraja menyeka darah yang memenuhi mulutnya.
“Phuih!” Natapraja menyemburkan ludahnya yang bercampur darah.
Sepasang mata pemuda itu memerah bagai mata serigala buas melihat seekor ayam betina yang gemuk. Natapraja menghimpun tenaga, mencoba mengusir rasa sesak dan mual di perutnya. Sementara Rangga memberi kesempatan pada pemuda itu untuk pulih kembali, sambil berdiri tegak memandangi dengan sikap penuh waspada.
“Phuih! Kali ini kau menang. Rangga. Tapi aku belum kalah!” kata Natapraja dingin.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam tidak jelas.
“Tunggu pembalasanku, Rangga!”
Setelah berkata demikian, Natapraja langsung melesat cepat bagaikan kilat. Dalam sekejap saja, bayangan tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan. Raden Mandaka dan Gurata hendak mengejar, tapi Rangga lebih cepat mencegahnya.
“Biarkan, jangan dikejar!”
Raden Mandaka, Gurata, dan Tamtama Wira Kerti tidak jadi mengejar. Mereka menghampiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak mayat-mayat prajurit bergelimpangan bersama reruntuhan pohon dan bebatuan. Tak ada seorang pun prajurit yang hidup lagi, akibat terhempas angin badai buatan Natapraja tadi.
“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang.
“Kenapa tidak kau bunuh, Rangga? Kau punya kesempatan banyak untuk membinasakannya,” tegur Raden Mandaka.
“Tidak perlu, Raden,” sahut Rangga kalem.
“Tidak perlu...?!” Raden Mandaka membeliak.
“Dia sudah membunuh banyak prajurit, dan menyengsarakan banyak rakyat!”
“Dia hanya orang bayaran, Raden. Orang yang berada di belakangnya yang harus dicari,” jelas Rangga, masih tetap tenang nada suaranya.
“Tapi, paling tidak kita bisa memperoleh keterangan kalau bisa menangkapnya hidup-hidup terlebih dahulu.”
“Percuma. Orang seperti Natapraja tidak akan membuka mulut. Baginya lebih baik mati daripada mengkhianati orang yang telah membayarnya.”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Raden Mandaka menyerah.
Rangga tidak menjawab, dan hanya mendongakkan kepalanya ke atas sambil menarik napas dalam-dalam. Sementara suasana jadi hening, tak ada yang membuka suara. Mereka semua menunggu Pendekar Rajawali Sakti itu memutuskan sesuatu. Tapi setelah lama ditunggu, Rangga hanya diam saja, malah melangkah pelahan.
“Rangga...,” panggil Raden Mandaka seraya mengejar diikuti Gurata dan Tamtama Wira Kerti.
Rangga terus saja berjalan tanpa menoleh sedikit pun. Raden Mandaka mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Gurata dan Tamtama Wira Kerti mengikuti dari belakang. Mereka berjalan pelahan, semakin jauh meninggalkan kuil.
“Kau akan pergi ke mana?” tanya Raden Mandaka penasaran.
“Menemui Prabu Jayengrana,” sahut Rangga datar.
“Ke istana...?” Raden Mandaka ingin penjelasan.
“Mungkin,” desah Rangga.
Raden Mandaka terdiam.
“Rangga! Apakah kau yakin kalau Ayahanda Prabu masih hidup?” tanya Raden Mandaka setelah cukup lama berdiam diri saja.
“Entahlah,” sahut Rangga mendesah.

***

32. Pendekar Rajawali Sakti : Permainan di Ujung MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang