Rangga sengaja tidak membawa Raden Mandaka masuk ke Istana Salinga. Putra mahkota itu memang diminta untuk menunggu di tempat yang aman, sementara Rangga sendiri menyelinap masuk melalui tembok benteng bagian belakang. Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti itu tidak mengetahui kalau saat ini tengah memasuki taman kaputren yang terlarang bagi orang lain kecuali keluarga istana, atau para pembesar yang mendapat ijin khusus dari Prabu Jayengrana atau Permaisuri Sara Ratan.
“Hei...!”
“Oh!” Rangga tersentak kaget begitu kakinya mendarat di tanah.
Tampak seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun terpaku sehingga bola matanya membeliak. Wajahnya nampak pucat menyiratkan keterkejutan dan rasa takut. Bergegas Rangga menghampiri dan membungkuk memberi hormat. Dia mengenali wanita itu dari ciri-ciri yang diberikan Raden Mandaka. Wanita itu adalah Permaisuri Sara Ratan.
“Maaf, Gusti Permaisuri. Hamba datang tidak melalui cara semestinya,” ucap Rangga penuh rasa hormat dan sopan.
“Siapa kau?” tanya Permaisuri Sara Ratan setelah sedikit hilang dari rasa terkejutnya.
“Nama hamba Rangga, Gusti Permaisuri. Hamba sahabat karib Raden Mandaka,” sahut Rangga memperkenalkan diri.
“Rangga...,” Permaisuri Sara Ratan mengamati pemuda berbaju rompi putih di depannya.
“Sepertinya aku belum pernah mengenalmu, Kisanak.”
“Memang belum, Gusti Permaisuri,” sahut Rangga.
“Lalu, di mana kau kenal putraku?”
“Di hutan dekat kuil.”
“Oh...!” Permaisuri Sara Ratan nampak terkejut.
“Ada apa, Gusti Permaisuri?” tanya Rangga.
“Kisanak, apakah putraku masih hidup?” tanya Permaisuri Sara Ratan tanpa menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Gusti..., kedatangan hamba ke sini sengaja untuk mengabarkan tentang Raden Mandaka. Putra Gusti Permaisuri sekarang ini dalam keadaan sehat, dan berada di tempat yang aman.”
“Ohhh...,” Permaisuri Sara Ratan mendesah panjang, menarik napas lega.
Rangga mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba mendengar langkah kaki orang menghampiri tempat itu. Permaisuri Sara Ratan rupanya juga mendengar. Dan mereka hanya saling berpandangan sesaat.
“Bersembunyilah, Kisanak. Itu pasti Pendeta Seka Gora,” kata Permaisuri Sara Ratan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga melesat cepat ke atas pohon beringin yang tumbuh menaungi tempat itu. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga cepat lenyap bagaikan hilang saja. Permaisuri Sara Ratan tetap duduk di kursi di bawah pohon itu, seakan-akan tidak ada seorang pun yang datang di tempat itu.
Dari kejauhan tampak seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul tengah berjalan ringan menghampiri orang kedua di Kerajaan Salinga ini. Laki-laki tua kurus itu langsung menghampiri dan membungkukkan badannya begitu sampai di depan Permaisuri Sara Ratan. Sikapnya begitu hormat, namun dari senyum dan sinar matanya memancarkan sesuatu yang sukar ditebak.
“Ada apa, Paman Pendeta?” tanya Permaisuri Sara Ratan.
“Kereta sudah siap, Gusti Permaisuri. Juga seratus prajurit pengawal dan sepuluh emban serta beberapa pelayan,” sahut Pendeta Seka Gora.
“Oh! Jadi hari ini aku harus meninggalkan istana?” ada nada kurang senang dalam suara Permaisuri Sara Ratan.
“Sudah jadi keputusan rapat Pembesar Istana, Gusti. Tepat pada masa empat puluh hari meninggalnya Gusti Prabu Jayengrana, diadakan penobatan raja yang baru.”
“Paman Pendeta! Tidakkah menunggu kabar dulu, kalau-kalau putraku masih hidup?”
“Tidak, Gusti Permaisuri. Sudah terbukti kalau Raden Mandaka telah tewas terjerumus ke dalam jurang. Jadi tidak ada lagi pewaris tahta kerajaan selain Raden Mandrakumara, putra pertama dari Selir Rara Munikaweni.”
Permaisuri Sara Ratan terdiam membisu. Memang sudah diketahui kalau dirinya harus meninggalkan istana, karena tidak ada hak lagi untuk tinggal di sini setelah kematian suami dan anak tunggalnya. Hak yang dicabut begitu saja tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri.
Wanita yang usianya hampir setengah baya itu bangkit berdiri dari duduknya, dan sebentar menarik napas panjang dan berat. Memang sudah menjadi satu adat dan tradisi bagi seorang permaisuri raja di Salinga, harus meninggalkan istana dan tinggal di dalam pengasingan untuk selamanya jika rajanya mangkat. Lain halnya kalau masih punya keturunan yang akan mewarisi tahta. Sedangkan sekarang ini putra satu-satunya sudah dikabarkan meninggal di dalam jurang. Sebenarnya Permaisuri Sara Ratan hendak memberontak, karena jasad suaminya tidak terlihat, apalagi putranya yang dikabarkan telah meninggal. Tapi dia tidak memiliki daya dan kekuatan apa-apa. Hanya mampu menerima nasib menjadi orang buangan di daerah pengasingan.
“Mari, Gusti Permaisuri. Putra hamba sendiri yang akan mengawal secara pribadi sampai ke tempat tujuan,” kata Pendeta Seka Gora lagi.
“Putramu...?” Permaisuri Sara Ratan mengerutkan keningnya.
Bertahun-tahun Pendeta Seka Gora menjadi penasehat pribadi Prabu Jayengrana, belum pernah terdengar kalau pendeta ini mempunyai istri, apalagi memiliki seorang putra.
“Maksud hamba, putra angkat, Gusti,” Pendeta Seka Gora buru-buru membetulkan ucapannya.
“O....”
Permaisuri Sara Ratan mengayunkan kakinya pelahan-lahan dengan anggun. Tidak ada pilihan lain lagi. Meskipun dengan hati remuk, harus dituruti keputusan yang sudah ditetapkan. Suka atau tidak, istana ini harus segera ditinggalkan. Hanya saja waktunya begitu cepat, dan tidak ada perencanaan sama sekali sebelumnya. Terlebih lagi, Prabu Jayengrana sendiri belum sampai empat puluh hari mangkat.
Sementara itu, Rangga masih berada di atas pohon sampai Permaisuri Sara Ratan dan Pendeta Seka Gora meninggalkan kaputren ini. Pendekar Rajawali Sakti itu baru melompat turun setelah kedua orang itu tidak terlihat lagi. Sebentar matanya memandang ke arah kepergian Permaisuri Sara Ratan, kemudian perhatiannya tertumpu pada sehelai saputangan dari bahan sutra berwarna merah muda. Saputangan itu tergolek di bawah kursi taman. Rangga tadi sempat melihat Permaisuri Sara Ratan sengaja menjatuhkan sapu tangannya tanpa diketahui Pendeta Seka Gora.
“Hm...,” gumam Rangga pelahan.
Bagaikan seekor burung, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat dan ringan melompati tembok benteng bagian belakang pembatas kaputren ini. Dan sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik tembok benteng itu. Keadaan di kaputren kembali sunyi senyap tanpa terlihat seorang pun di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
32. Pendekar Rajawali Sakti : Permainan di Ujung Maut
ActionSerial ke 32. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.