BAGIAN 8

936 37 0
                                    

Sementara itu di angkasa, Rangga tengah melayang bersama Rajawali Putih tunggangannya. Burung raksasa itu berputar-putar di atas sebuah bangunan puri tua yang sudah runtuh. Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati setiap jengkal tanah di sekitar puri tua itu. Di sebelah kanan reruntuhan puri, terlihat sebuah bangunan yang tidak begitu besar terbuat dari belahan kayu dan beratapkan daun rumbia.
Tidak banyak yang dapat diperoleh. Suasana di sekitar puri tampak sunyi sepi, tanpa seorang pun terlihat. Tapi mendadak saja perhatian Pendekar Rajawali Sakti itu terpusat pada dua orang penunggang kuda yang berpacu cepat mendekati puri itu. Rangga hampir terbeliak begitu mengenalinya.
“Raden Mandaka..., mau apa dia ke sini?” desis Rangga dalam hati
Terlihat Raden Mandaka melompat turun dari punggung kudanya setelah sampai di depan rumah kecil di sebelah kanan reruntuhan puri. Pemuda itu langsung menerobos masuk ke dalam. Sedangkan Gurata masih menunggu di luar, dan tidak turun dari punggung kudanya. Tidak lama Raden Mandaka berada di dalam, kemudian ke luar lagi dengan satu lesatan ringan, langsung hinggap di atas punggung kudanya.
“Ada apa di dalam, Raden?” tanya Gurata.
“Kosong!” sahut Raden Mandaka seraya memutar kudanya.
“Tapi aku menemukan beberapa potong pakaian Ayahanda Prabu.”
“Kalau begitu, pasti Gusti Prabu masih hidup, Raden!”

“Benar. Tapi di mana sekarang...?” Gurata tidak bisa menjawab.
“Kita ke istana sekarang juga, Gurata!” seru Raden Mandaka.
Mereka segera menggebah kudanya. Debu berkepul di udara tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagaikan dikejar setan. Sementara Rangga yang berada di angkasa bersama Rajawali Putih, telah mendengar semua pembicaraan itu mempergunakan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Pendekar Rajawali Sakti itu meminta Rajawali Putih turun.
Sebentar saja burung raksasa itu sudah menukik turun, dan mendarat ringan tepat di depan pintu puri yang terbuka lebar. Hanya sekali lesatan saja, Rangga sudah berada di dalam puri itu. Sebentar diamati keadaan di dalam puri. Memang tidak ada seorang pun di sini, tapi ada beberapa potong pakaian dari bahan sutra halus yang sangat indah. Di situ juga tergeletak sepotong baju merah.
“Hm...,” Rangga menggumam pelahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melesat ke luar, langsung hinggap di punggung burung rajawali raksasa.
“Kita ke Kerajaan Salinga, Rajawali Putih,” kata Rangga.
“Khraghk...!” Bet!
Bagaikan kilat, Rajawali Putih melambung tinggi ke angkasa. Burung raksasa itu berkaokan beberapa kali, dan meluncur cepat menuju ke Kerajaan Salinga. Dari angkasa, Rangga dapat melihat dua penunggang kuda yang berpacu cepat membelah hutan. Kedua penunggang kuda itu tidak menyadari kalau di atas tengah meluncur seekor burung rajawali raksasa.

***

Saat itu suasana di Istana Salinga tampak tenang tenteram, tak ada tanda-tanda kalau akan terjadi makar. Mungkin karena keluarga Prabu Jayengrana sudah tidak ada lagi di dalam istana. Namun suasana tenang seperti itu memang selalu terjadi setiap hari. Para prajurit penjaga melakukan tugasnya seperti biasa. Para pelayan dan pengurus istana juga melakukan tugasnya masing-masing. Tak ada yang kelihatan aneh. Semua berjalan seperti biasa.
Sementara itu Raden Mandaka dan Gurata sudah memasuki kota, dan terus cepat memacu kudanya menuju istana. Dua orang prajurit yang menjaga pintu gerbang, bergegas membuka pintu begitu melihat Raden Mandaka datang bersama Gurata. Tanpa menghentikan kecepatan lari kudanya, mereka menerobos masuk melalui gerbang yang terbuka lebar.
“Hup...!”
Raden Mandaka langsung melompat turun dengan sigapnya begitu mencapai depan undakan beranda depan istana yang megah itu. Dia berdiri tegak, dan pandangannya lurus tajam ke depan. Enam orang prajurit yang menjaga pintu masuk, serentak membungkuk memberi hormat. Raden Mandaka agak heran juga melihat suasana yang tenang dan tenteram.
“Selamat datang kembali ke istana, Raden Mandaka,” terdengar ucapan sambutan dari seorang pemuda berbaju putih ketat yang tiba-tiba saja muncul dari dalam.
“Natapraja...,” desis Raden Mandaka begitu mengenali orang yang menyambut kedatangannya bersikap ramah dan membungkuk memberi hormat.
“Silakan masuk, Raden. Gusti Prabu Jayengrana sudah tidak sabar menunggu,” ucap Natapraja lagi.
“Ayahanda Prabu...?!” Raden Mandaka seperti tidak percaya mendengarnya.
Bergegas putra mahkota itu melangkah masuk ke dalam diikuti Gurata. Sedikit pun Raden Mandaka tidak menghiraukan Natapraja yang menggeser menyingkir ke samping. Raden Mandaka terus saja melangkah cepat melewati ruangan depan yang luas. Dua orang prajurit penjaga pintu pembatas ruangan, membungkuk memberi hormat. Raden Mandaka terus saja menerobos masuk dengan langkah lebar-lebar. Di belakangnya membuntuti Gurata dan Natapraja.
Mendadak saja ayunan langkah Raden Mandaka terhenti saat melewati ambang pintu Balai Sema Agung. Tampak di atas singgasana, duduk seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Terlihat anggun dan penuh kewibawaan. Laki-laki itu bangkit berdiri begitu melihat Raden Mandaka muncul. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, namun sepasang bola matanya berbinar agak berkaca-kaca.
“Ayahanda...,” desis Raden Mandaka setengah tidak percaya dengan penglihatannya.
Raden Mandaka seperti tengah bermimpi. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Di ruangan ini juga ada Ki Belabar bersama istri dan anak gadisnya. Juga ada pembesar, panglima, serta patih yang duduk bersimpuh di lantai.
Hanya Pendeta Seka Gora dan Patih Trunggajaya yang tidak kelihatan berada di ruangan luas dan indah ini. Pelahan-lahan Raden Mandaka mengayunkan kakinya diikuti pandangan berpasang-pasang mata disertai senyuman tersungging di bibir. Raden Mandaka berlutut dan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, memberi hormat pada ayahnya yang juga raja di Salinga ini.

32. Pendekar Rajawali Sakti : Permainan di Ujung MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang