BAGIAN 2

955 34 0
                                    

Raden Mandaka memacu cepat kudanya diikuti sekitar lima puluh prajurit dan sepuluh orang jawara pilihan yang telah disumpah untuk selalu setia pada putra mahkota itu. Jawara di Kerajaan Salinga adalah para jago yang memiliki kepandaian tinggi, yang terdiri dari orang-orang pilihan. Mereka rela mengorbankan nyawa demi kesetiaan pada junjungannya.
Kuda-kuda itu dipacu cepat bagai terbang di atas tanah, sehingga tidak berapa lama mereka sudah melewati batas kota Kerajaan Salinga. Sepanjang jalan yang dilalui, debu mengepul tersepak kaki-kaki kuda. Namun belum begitu jauh melewati perbatasan kota, mendadak sekitar sepuluh orang mengenakan baju hitam menghadang di depan.
“Hup...!”
Raden Mandaka bergegas melompat turun dari punggung kudanya, sebelum kuda coklat itu berhenti berpacu. Sepuluh orang jawara yang mendampingi juga bergegas melompat turun. Demikian juga lima puluh prajurit yang dibawa Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Dan belum sempat ada yang mengeluarkan satu suara pun, dari balik semak dan pepohonan bermunculan orang berpakaian serba hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam pula. Hanya bagian mata saja yang terlihat.
“Siapa kalian? Mengapa menghadang jalanku?” bentak Raden Mandaka.
“Raden tidak perlu tahu siapa kami, dan sebaiknya segeralah kembali ke istana,” sahut salah seorang yang entah berada di mana. Suara itu seakan datang dari segala penjuru.
“Kalian tidak berhak mengaturku! Minggir...!” bentak Raden Mandaka gusar.
“Kembalilah, Raden. Sebelum semuanya terlambat,” kata orang yang tidak jelas ada di mana.
“Phuih! Siapa pun kalian, minggir! Atau prajurit-prajuritku yang akan menyingkirkan kalian dari hadapanku!” geram Raden Mandaka.
“Dengar, Raden. Demi kebaikan Raden sendiri, kembalilah ke istana. Tidak ada gunanya Raden pergi ke kuil,” kata suara itu lagi.
“Heh! Kau tahu tujuanku...?! Siapa kau?” Raden Mandaka terkejut juga.
“Aku tahu semuanya, Raden. Itulah sebabnya mengapa kuminta Raden kembali ke istana. Ini semua demi kebaikan Raden sendiri juga,” suara itu tetap membujuk.
“Hm..., aku tahu. Kau sengaja menghalangiku untuk mengetahui kematian Ayahanda Prabu,” nada suara Raden Mandaka terdengar agak bergumam.
“Dengar baik-baik! Aku tidak percaya kalau Ayahanda Prabu sudah mangkat! Pasti kalian yang menyebar berita bohong itu! Apa pun alasannya, akan kuhukum kalian semua!”
Setelah berkata demikian, Raden Mandaka memberikan isyarat agar para prajuritnya bersiap siaga. Demikian juga sepuluh orang jawara setianya. Mereka segera menghunus senjata masing-masing. Sedangkan Raden Mandaka sendiri sudah menghunus pedangnya yang sejak tadi tersampir di pinggang.
Sementara orang-orang berbaju hitam dengan seluruh kepala terselubung kain hitam pekat, hanya berdiri tegak saja. Sedikit pun tidak melakukan gerakan, meskipun yang dikepung sudah bersiap hendak bertempur dan menghunus senjata masing-masing.
“Siapa pun yang mencoba menghalangi langkahku, harus siap mati di ujung pedang!” lantang suara Raden Mandaka.
Raden Mandaka melangkah cepat sambil mengibaskan pedangnya ke depan. Dan orang-orang yang berada di bagian depan, bergegas berlompatan menghindari tebasan pedang itu. Tak ada yang terkena, tapi cukup untuk Raden Mandaka lewat. Namun sebelum pemuda belia itu bisa melewati jalan yang terbuka, mendadak....
“Jangan biarkan mereka ke kuil!”
Seketika jalan yang sudah terbuka itu kembali tertutup. Raden Mandaka jadi gusar, lalu melompat sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkelebatan cepat mencoba membuka kepungan orang-orang berbaju hitam pekat itu.
Trang!
Entah kapan senjata itu tercabut, tahu-tahu di tangan orang-orang berbaju hitam itu sudah tergenggam pedang bergagang kepala ular. Raden Mandaka melompat mundur begitu pedangnya membentur salah satu senjata pedang orang yang terdekat.
Seluruh persendian tangannya terasa nyeri, dan tubuhnya bergetar hebat. Raden Mandaka merasakan adanya satu aliran yang dahsyat menggetarkan jantung dan jalan darahnya. Sebentar Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu terpaku, namun sesaat kemudian sudah kembali melompat menerjang sambil berteriak keras melengking tinggi.
“Hiyaaat...!” Trang! Wut...!
Raden Mandaka tidak lagi peduli, meskipun merasakan tangannya bergetar saat pedangnya beradu dengan pedang manusia berselubung serba hitam itu. Raden Mandaka memerintahkan para prajurit dan sepuluh orang jawaranya untuk membuka jalan. Lantang dan sangat keras seruannya, maka pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Senja yang semula tenang, kini berubah riuh oleh teriakan pertempuran dan denting senjata beradu.
Sebentar saja sudah terdengar jeritan melengking mengiringi beberapa tubuh terjungkal bersimbah darah. Raden Mandaka semakin bertambah geram menyaksikan sepuluh orang prajuritnya roboh hanya dalam waktu sebentar saja. Bahkan tidak ada seorang lawan pun yang roboh.
Sementara sepuluh orang jawara yang dibawa Raden Mandaka rupanya kini mendapat lawan tangguh. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Terlebih lagi jumlah yang harus dihadapi berlipat ganda. Raden Mandaka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun sudah mengerahkan seluruh kekuatannya. Pertempuran terus berlangsung sengit, tanpa dapat dicegah lagi. Satu per satu korban mulai berjatuhan kembali, baik dari pihak Raden Mandaka maupun dari orang-orang berbaju hitam itu. Jerit pekik pertempuran berbaur menjadi satu dengan jerit lengking kematian, ditingkahi denting senjata berada
“Hentikan, Raden. Tidak ada gunanya mengumbar amarah,” terdengar lagi suara tanpa ujud.
“Setan! Berani bicara lagi, kurobek mulutmu, keparat!” geram Raden Mandaka.
Kemarahan yang memuncak, membuat Raden Mandaka sukar mengendalikan dirinya lagi. Ilmu olah kanuragannya memang cukup tinggi, tapi hawa amarah yang menyelimuti seluruh dadanya membuatnya kehilangan kendali. Serangan-serangannya tidak beraturan lagi, sehingga membuat lawan-lawannya tidak mengalami kesulitan untuk menghindari. Bahkan beberapa kali pemuda belia itu harus rela menerima pukulan maupun tendangan yang cukup keras.
Raden Mandaka tahu kalau setiap pukulan dan tendangan yang diterimanya tidak diimbangi pengerahan tenaga dalam. Tentu saja hal ini membuatnya semakin marah. Hatinya merasa tersinggung, karena dianggap remeh. Bertarung tanpa mempergunakan tenaga dalam, baginya sama saja bertarung melawan orang berkemampuan rendah. Padahal, tenaga dalam adalah senjata andalan yang tak dapat ditinggalkan begitu saja bagi orang yang memiliki ilmu olah kanuragan. Bertarung tanpa mempergunakan tenaga dalam merupakan penghinaan besar. Atau sama saja menganggap remeh lawan, sehingga merasa dirinya lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Tapi di balik itu semua, memang ada maksud-maksud tertentu yang biasanya tidak akan bisa dipahami lawan. Tetapi tetap saja perbuatan itu selalu dianggap merendahkan.
“Phuih! Jangan menyesal kalau kalian mati di tanganku!” geram Raden Mandaka.
Pemuda belia itu semakin meningkatkan serangan-serangannya. Tidak lagi mempedulikan keadaan tubuhnya yang sudah babak-belur. Bahkan juga tidak lagi mempedulikan jumlah prajuritnya yang semakin berkurang. Malah tiga orang jawaranya sudah tergeletak tidak bernyawa lagi. Raden Mandaka terus bertarung disertai hawa amarah meluap dalam dada.
“Mampus kalian! Hiyaaa! Hiyaaat...!”
Pedang di tangan Raden Mandaka berkelebat cepat bagaikan kilat. Sungguh berbahaya jurus-jurus terakhir yang dimainkan Putra Mahkota Kerajaan Salinga itu. Namun tiga orang lawannya ternyata masih mampu mengimbangi menggunakan gerakan-gerakan ringan. Bahkan masih sempat mendaratkan pukulan maupun tendangan telak, namun tetap tanpa pengerahan tenaga dalam sedikit pun. Hanya menggunakan tenaga luar saja. Hal ini membuat Raden Mandaka semakin berang. Namun begitu, darah mulai mengucur juga dari sudut bibirnya.
“Mundur semua...! Biar kuhadapi mereka!” seru Raden Mandaka tiba-tiba.
Bersamaan dengan itu, Raden Mandaka melompat keluar dari arena pertarungan. Matanya seketika jadi terbeliak lebar begitu melihat seluruh pengikutnya sudah tergeletak tidak bernyawa lagi! Sedangkan pihak lawan hanya sepuluh atau dua belas orang yang tewas. Raden Mandaka menggeretak geram menyadari dirinya tinggal sendirian saja.
“Maaf, Raden. Terpaksa mereka harus disingkirkan,” terdengar lagi satu suara tanpa ujud.
“Kalian telah berani membantai prajurit- prajuritku! Ini namanya pemberontakan!” geram Raden Mandaka.
“Kami tidak memberontak, Raden. Mereka memang sudah sepatutnya disingkirkan,” kata orang yang tidak diketahui di mana adanya itu.
“Siapa kau? Keluar!” bentak Raden Mandaka tambah berang.
“Sayang sekali, aku tidak diijinkan menampakkan diri. Sungguh kami tidak bermaksud memberontak, tapi hanya ingin menyelamatkan kerajaan dari kehancuran. Kami menginginkan Raden tetap menggantikan kedudukan Gusti Prabu Jayengrana,” sahut suara tanpa ujud itu lagi.
“Phuih! Apa pun alasannya, kalian telah berani menentangku! Jelas, ini berarti kalian ingin memberontak!”
“Raden....”
Tapi Raden Mandaka sudah melompat menerjang dengan kecepatan tinggi. Maka dua orang yang berada di dekatnya tidak sempat lagi berkelit. Mereka menjerit keras, lalu ambruk dengan leher buntung, Raden Mandaka mengamuk bagai banteng terluka. Tiap gerakan pedangnya mengandung hawa maut yang setiap saat dapat merenggut nyawa. Namun orang-orang berbaju serba hitam itu rupanya memiliki kepandaian rata-rata di atas Raden Mandaka, sehingga mampu pula menandingi tanpa membuat luka yang parah.
“Cukup, Raden. Bisa berbahaya bagi Raden sendiri!” suara itu keras memperingatkan.
“Hiyaaat...!”
Tapi Raden Mandaka tidak peduli dan terus menyerang ganas. Mendadak saja terdengar seruan keras menggelegar, menyuruh semua orang yang mengepung Raden Mandaka mundur. Tanpa menunggu waktu lagi, mereka bergegas berlompatan mundur. Dan pada saat itu, melesat bayangan merah. Kini di depan Raden Mandaka sudah berdiri sesosok tubuh berbaju merah ketat. Wajahnya tertutup kain tipis yang mem- buatnya jadi tersamar.
“Hhh...! Akhirnya kau muncul juga, keparat!” geram Raden Mandaka.
“Dengar, Raden. Meskipun aku mendapat kekuasaan untuk berlaku keras, tapi tetap tidak akan kugunakan kekerasan. Ini peringatanku yang terakhir, Raden. Kembalilah ke istana, atau Raden akan kembali terusung!” dingin nada suara orang berbaju merah ketat itu.
“Kau sudah membunuh banyak prajurit dan para jawara setiaku. Dan sekarang kau mengancamku! Baik, kesalahanmu sudah bertumpuk, manusia keparat!” sambut Raden Mandaka. Sedikit pun hatinya tidak gentar meskipun menyadari tidak akan mungkin mampu menandingi orang berbaju merah itu. Padahal jelas, orang itu pasti lebih tinggi kepandaiannya dari mereka yang berpakaian serba hitam.
“Kepala batu...!” desis orang itu, agak tertahan suaranya.
“Kepalaku lebih keras dari batu!” tantang Raden Mandaka.
“Kau memilih jalan yang tidak enak, Raden.”
“Majulah, bila kau bisa mengusungku pulang!” sambut Raden Mandaka lantang.
“Hhh! Semoga Gusti Prabu mengampuniku,” dengus orang itu.
Dan tiba-tiba saja orang berbaju merah itu menghentakkan tangannya ke depan. Seketika dari sela-sela jari tangannya meluncur benda-benda bulat kecil berwarna merah. Raden Mandaka cepat menggerakkan pedangnya. Dan dia jadi terkejut ketika merasakan pedangnya seperti terbakar begitu membabat benda-benda merah bulat kecil itu.
“Hup! Hiyaaa...!”
Buru-buru Raden Mandaka melentingkan tubuhnya ke udara. Namun belum juga sempat melakukan sesuatu, terasa adanya sambaran angin keras mengarah ke tubuhnya. Raden Mandaka terperanjat, karena orang berbaju merah itu sudah melesat sambil melontarkan dua pukulan beruntun.
“Yap!”
“Aaakh...!” Raden Mandaka terpekik keras tertahan.
Meskipun pemuda belia itu sudah berusaha berkelit, namun satu pukulan keras orang berbaju merah itu sempat juga menghantam punggungnya. Tak pelak lagi, tubuh Raden Mandaka meluncur deras ke bawah. Namun belum juga tubuh pemuda itu sampai ke tanah, mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat, dan langsung menyambarnya!
Begitu cepatnya bayangan putih itu berkelebat. Dan sebelum ada yang bisa menyadari, bayangan putih itu sudah lenyap bagai tertelan bumi. Orang berbaju merah itu jadi terperanjat. Kakinya mendarat manis, dan langsung mengedarkan pandangannya ke arah seharusnya Raden Mandaka terguling.
“Monyet buntung! Siapa pula ingin cari penyakit!” geramnya sengit.
Orang berbaju merah ketat itu mengarahkan pandangannya berkeliling, tapi tetap saja tidak menemukan bayangan putih yang menyambar Raden Mandaka. Sambil menggeram, orang itu memerintahkan semua orang yang mengenakan baju hitam untuk mencari sampai dapat. Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka bergegas membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan. Mereka membuat lubang dan menguburkannya secara layak.
“Hhh...! Apa yang harus kukatakan nanti...?” desah orang berbaju merah ketat itu.
Sambil mengawasi mereka yang tengah menguburkan mayat-mayat, orang berbaju merah itu terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia berharap akan melihat bayangan berkelebat, dan berharap pula masih bisa menyusulnya. Tapi harapan memang tinggal harapan. Sampai orang-orang berbaju serba hitam itu selesai menguburkan mayat yang berserakan, tetap saja tidak ditemukan satu petunjuk pun tentang Raden Mandaka berada. Pemuda belia Putra Mahkota Salinga itu benar-benar bagaikan lenyap ditelan bumi.

“Hhh..., semoga saja Raden Mandaka selamat dan tetap hidup,” desahnya lagi seraya mengayunkan kakinya meninggalkan tempat itu.

***

Sukar buat Permaisuri Sara Ratan untuk menerima kenyataan pahit yang datang secara beruntun ini. Semalaman dia menangis setelah mendengar kabar putranya hilang dan seluruh prajurit serta sepuluh jawara yang menyertainya telah tewas.
Sampai pagi Permaisuri Sara Ratan tidak keluar dari kamarnya, dan baru keluar setelah matahari naik tinggi. Wanita yang usianya sudah mencapai kepala empat itu duduk menyendiri dalam taman kaputren, yang biasa digunakan untuk bercengkrama bersama putranya. Dia tidak ingin ada seorang pun yang menemaninya. Permaisuri Sara Ratan tetap diam, dan sama sekali tidak mengetahui kalau di sampingnya ada seseorang.
“Gusti....”
Permaisuri Sara Ratan menoleh sedikit, tapi kembali memalingkan mukanya setelah mengetahui kalau Pendeta Seka Gora yang berada di sampingnya. Laki-laki tua berkepala gundul itu memberi hormat, lalu duduk di depan Permaisuri Sara Ratan. Sikapnya begitu hormat.
“Ampunkan hamba, Gusti Permaisuri. Seharusnya hamba tidak cepat-cepat melaporkan semua ini,” ujar Pendeta Seka Gora pelan.
“Hhh...!” Permaisuri Sara Ratan hanya mendesah panjang saja.
“Hamba sudah meminta pada Panglima Pramoda dan Patih Trunggajaya untuk mencari Nanda Raden Mandaka,” ujar Pendeta Seka Gora lagi.
“Untuk apa? Untuk membawa mayat putraku ke sini? Agar kepedihanku semakin bertambah?” agak ketus nada suara Permaisuri Sara Ratan.
“Gusti Permaisuri...,” Pendeta Seka Gora tersentak mendengar nada ketus itu, sehingga sampai-sampai terangkat kepalanya.
“Paman! Hanya aku dan dirimu yang tahu, ke mana anakku pergi. Aku yakin, ada yang tidak beres di dalam istana ini,” tegas kata-kata Permaisuri Sara Ratan. Tatapan matanya tajam, menusuk langsung ke bola mata Pendeta Seka Gora.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Bukan hanya hamba, tapi yang lainnya pun tahu. Bahkan hampir semua patih, panglima, dan pembesar kerajaan tahu ke mana Nanda Raden Mandaka pergi,” elak Pendeta Seka Gora. “Oh...?!” Permaisuri Sara Ratan tampak tidak percaya.
“Nanda Raden Mandaka selalu mengatakan hendak ke kuil setiap kali ditanya sebelum berangkat pergi. Hamba bertanya pada Gusti hanya untuk memastikan saja, karena hamba melihat Nanda Raden Mandaka keluar dari taman kaputren ini,” jelas Pendeta Seka Gora.
“Putraku memang pemberang. Tapi itu tidak berarti harus mengobral tujuan kepergiannya. Aku tahu persis  watak Raden Mandaka, Paman Pendeta,” agak sinis nada suara Permaisuri Sara Ratan.
“Ampun, Gusti Permaisuri. Apakah Gusti mencurigai hamba?” Pendeta Seka Gora merasa tidak enak juga.
“Rupanya kau cepat tanggap juga, Paman Pendeta. Memang tidak seharusnya mencurigaimu. Tapi dalam keadaan seperti ini, aku merasa ada usaha untuk menggulingkan tahta Kerajaan Salinga secara kotor. Tapi aku yang masih berada di istana tidak akan membiarkannya begitu saja. Maaf, Paman Pendeta. Terpaksa harus kucurigai siapa saja. Aku yakin, semua yang terjadi belakangan ini sudah diatur. Suatu permainan...!” tegas kata-kata Permaisuri Sara Ratan.
“Gusti Permaisuri. Hamba belum memahami maksud Gusti,” tanya Pendeta Seka Gora seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.
“Seharusnya kau lebih mengerti, Paman Pendeta. Kau seorang pendeta agung di Kerajaan Salinga ini, dan dipercayakan menjadi penasehat pribadi keluarga istana. Aku tidak percaya kalau kau tidak menangkap gejala lain dari semua peristiwa ini,” tetap sinis nada suara Permaisuri Sara Ratan.
Pendeta Seka Gora terdiam sambil menundukkan kepalanya. Cukup lama juga kepalanya tertunduk tepekur dengan kening berkerut lebih dalam lagi. Disadari kalau Permaisuri Sara Ratan menaruh kecurigaan padanya untuk melakukan makar, menjatuhkan tahta dan kekuasaan Prabu Jayengrana di Kerajaan Salinga ini. Kecurigaan yang beralasan dan tidak membabi-buta. Pendeta Seka Gora bisa memahami. Ditariknya napas panjang-panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat.
“Gusti Permaisuri, apakah hamba yang sudah mengabdi separuh lebih usia hamba ini patut mendapat kecurigaan seperti itu? Tidakkah Gusti memberikan sedikit kepercayaan pada hamba untuk membuktikan kecurigaan itu?” mohon Pendeta Seka Gora, pe- nuh rasa hormat.
“Aku memang belum mendapatkan bukti yang cukup, Paman Pendeta. Semua akan menjadi jelas kalau Kanda Prabu ada di istana,” kata Permaisuri Sara Ratan tegas.
“Hhh..., aku jadi berpikir lain. Mungkin dugaan putraku benar....”
“Dugaan apa, Gusti?” tanya Pendeta Seka Gora.
“Sebaiknya kau tidak perlu tahu, Paman. Kalau aku sudah yakin bahwa kau tidak punya niat jahat di hati, mungkin aku bisa mempercayaimu penuh kembali. Maaf, Paman Pendeta. Keadaan yang memaksaku untuk bersikap demikian,” ujar Permaisuri Sara Ratan.
Pendeta Seka Gora langsung terdiam. Dirapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung saat Permaisuri Sara Ratan bangkit berdiri. Tanpa berkata sedikit pun, Permaisuri Kerajaan Salinga itu melangkah pergi meninggalkan taman kaputren. Pendeta Seka Gora baru beranjak setelah Permaisuri Sara Ratan menghilang di balik tembok pemisah.

***

32. Pendekar Rajawali Sakti : Permainan di Ujung MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang