Kecurigaan Permaisuri Sara Ratan terhadap dugaan adanya makar di Kerajaan Salinga, rupanya mempengaruhi pikiran para pembesar istana. Mereka jadi saling curiga satu sama lain. Bahkan para panglima mulai mencari pengaruh, dan menunjukkan kalau dirinya setia. Demikian juga para patih, yang jadi bersaing satu sama lain. Hal ini membuat suasana di dalam lingkungan istana menjadi tak menentu. Tidak ada lagi kata sepakat. Masing-masing menonjolkan diri sendiri dan saling menjegal.
Keresahan di dalam lingkungan istana juga merambat sampai ke seluruh pelosok negeri. Rakyat jadi ikut gelisah. Desas-desus tentang akan adanya penggulingan tahta kerajaan semakin keras mendengung. Bahkan rakyat mulai dihinggapi keresahan. Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok yang tidak jelas arah tujuannya. Kecemasan akan runtuhnya Kerajaan Salinga semakin gencar melanda seluruh rakyat. Terlebih lagi keadaan semakin bertambah buruk. Keamanan tak terkendali lagi. Perampokan, pembunuhan, bahkan perkosaan dan perbuatan keji lainnya tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Orang-orang yang suka mengambil keuntungan pribadi, memanfaatkan keadaan kacau ini.
Kabar burung itu juga rupanya sampai ke telinga Raden Mandaka yang saat ini berada di Desa Kali Ajir, yang letaknya di sebelah selatan Kota Kerajaan Salinga. Desa yang cukup terpencil dan dipisahkan oleh hutan yang tidak begitu lebat. Hanya ada satu jalan setapak yang menghubungkan desa itu dengan kotaraja. Raden Mandaka memang telah dibawa ke rumah kepala desa oleh penolongnya ketika bertarung melawan orang tidak dikenal yang membunuh habis para prajurit dan sepuluh orang jawaranya.
“Aku benar-benar tidak mengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi...?” gumam Raden Mandaka seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
“Satu ujian, Raden,” celetuk seorang laki-laki tua berusia lanjut yang duduk bersila di depan Raden Mandaka.
Di samping laki-laki tua itu duduk seorang pemuda berbaju rompi putih. Masih ada dua orang lagi yang ada di ruangan tengah rumah kepala desa ini. Mereka adalah wanita. Yang seorang sudah cukup tua, yang merupakan istri kepala desa. Sedangkan seorang lagi berusia sekitar delapan belas tahun, dan merupakan anak gadis Kepala Desa Kali Ajir. Raden Mandaka menghela napas panjang. Ditatapnya pemuda berbaju rompi putih yang telah membawanya ke tempat ini.
“Seharusnya kau biarkan saja aku tewas, Kakang Rangga. Rasanya tidak sanggup lagi menyaksikan kekacauan dan keruntuhan Kerajaan Salinga,” lirih suara Raden Mandaka.
Pemuda berbaju putih tanpa lengan yang ternyata memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti, hanya tersenyum dikulum saja. Diliriknya laki-laki tua yang duduk di sampingnya. Yang dilirik juga hanya tersenyum-senyum saja penuh arti. Sementara Raden Mandaka memandanginya tidak mengerti. Hatinya bertanya-tanya mengapa kedua orang ini hanya tersenyum-senyum saja.
“Kenapa kalian tersenyum?! Ada apa?!” agak keras suara Raden Mandaka. Pemuda ini memang berwatak pemberang, dan mudah sekali tersinggung.
“Maaf, Raden. Bukannya hamba ingin membuat Raden tersinggung,” ucap laki-laki tua itu buru-buru.
“Jangan cepat tersinggung, Raden. Ki Belabar tidak bermaksud apa-apa. Terus terang, kami tadi hanya merasa geli karena Raden seperti berputus asa,” selak Rangga.
“Aku memang putus asa!” rungut Raden Mandaka.
“Ah..., kenapa Raden begitu cepat putus asa? Bukankah Raden masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan?” ucap Ki Belabar lagi.
“Percuma!”
“Tidak ada yang percuma, Raden. Hamba rasa, semuanya masih dapat diatasi. Saat ini tahta Salinga sedang kosong tanpa pemimpin. Justru keadaan seperti inilah yang membuat suasana jadi tidak menentu. Bahkan bukan tidak mungkin ada segelintir orang yang memanfaatkan untuk menduduki tahta. Raden harus mencegah, dan memulihkan keadaan secepatnya. Hamba yakin, Den Rangga bersedia membantu. Bahkan seluruh warga Desa kali Ajir akan ikut mengorbankan darah demi kejayaan Kerajaan Salinga, Raden,” tegas Ki Belabar memberi dorongan semangat pada Raden Mandaka yang sudah pupus.
“Hanya orang desa.... Tidak mungkin mereka menandingi kekuatan prajurit yang berjumlah besar, Ki Belabar!” dengus Raden Mandaka bernada meremehkan.
“Desa Kali Ajir sudah terkenal gudangnya para jawara, Raden. Bahkan sebagian besar jawara di istana berasal dari sini. Hamba yakin, para jawara istana yang berasal dari desa ini tetap setia pada Raden, dan Gusti Prabu Jayengrana,” kata Ki Belabar tanpa ada rasa tersinggung.
“Bagaimana kalau justru mereka yang memberontak?”
“Raden bisa membumihanguskan seluruh desa ini,” Ki Belabar menjamin.
“Membumihanguskan?! Kau pikir aku sekejam itu, Ki?” Raden Mandaka mendelik.
“Tentu saja tidak, Raden. Hamba hanya menjamin kesetiaan warga Desa Kali Ajir ini saja. Hamba percaya Raden adalah calon pemimpin yang adil dan bijaksana. Itulah sebabnya hamba bisa menjamin dan selalu setia pada Raden dan Gusti Prabu Jayengrana,” tegas Ki Belabar lagi.
“Terima kasih, Ki. Tapi..., aku masih belum yakin mampu mengatasi keadaan yang sudah tidak terkendali ini,” ucap Raden Mandaka pelan. Nada suaranya memang seperti putus asa.
“Kenapa harus sangsi, Raden? Semua pasti bisa teratasi. Yang pertama harus dilakukan adalah mencari bukti kalau Prabu Jayengrana masih hidup,” celetuk Rangga yang mengetahui keadaan di Kerajaan Salinga saat ini dari Ki Belabar.
“Itulah sulitnya. Tidak mudah menuju ke kuil semadi sekarang ini. Seluruh jalan ke situ sudah dijaga ketat. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa sampai begitu,” suara Raden Mandaka bernada mengeluh.
“Serahkan semua itu pada Den Rangga, Raden,” sergah Ki Belabar.
“Ah! Ki Belabar ini hanya berolok saja,” gurau Rangga merendah.
Tapi ucapan Ki Belabar membuat Raden Mandaka menatap dalam-dalam Pendekar Rajawali Sakti itu. Memang ada sesuatu yang dirasakannya ketika melihat pancaran sinar mata pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Dan entah kenapa, Raden Mandaka begitu yakin kalau Rangga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Terbukti bisa membawanya begitu cepat hingga tidak terkejar. Dan itu pun hampir tidak disadarinya, tahu-tahu sudah berada di perbatasan Desa Kali Ajir ini.
Sudah hampir tiga hari Raden Mandaka berada di rumah kepala desa ini, tapi belum begitu jelas mengetahui diri Rangga yang sebenarnya. Ki Belabar sendiri mengatakan belum tahu jelas. Laki-laki tua itu baru seminggu yang lalu mengenalnya. Saat itu Rangga menolongnya dari ancaman maut terkaman seekor harimau lapar di tepi hutan, ketika Ki Belabar hendak berburu. Sedangkan Rangga sendiri mengatakan kalau dirinya hanyalah pengembara. Tapi tutur kata dan perawakannya tidak seperti seorang pengelana sesungguhnya. Dengan tubuh tegap, berkulit kuning langsat dan wajah tampan, Rangga lebih tepat sebagai putra seorang pembesar kerajaan daripada seorang pengembara. Bahkan Raden Mandaka sendiri merasakan dirinya tidak setampan dan segagah Pendekar Rajawali Sakti ini.
“Rasanya sudah siang dan matahari sudah tinggi. Apakah kau sudah menyiapkan makan, Nyai?” Ki Belabar menoleh pada istrinya.
“Sudah sejak tadi, barangkali sudah dingin,” sahut Nyai Belabar seraya bangkit berdiri.
Wanita tua itu mengajak putrinya untuk menyiapkan makan siang. Sementara ketiga laki-laki itu terus berbincang-bincang sambil menunggu siapnya hidangan. Saat itu matahari memang sudah tinggi, dan perut mereka juga sudah menagih minta diisi. Mereka melanjutkan obrolan di ruangan tengah sambil menikmati hidangan yang sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
32. Pendekar Rajawali Sakti : Permainan di Ujung Maut
ActionSerial ke 32. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.