BAGIAN 7

764 33 0
                                    

Pertemuan yang mengharukan. Sukar untuk dikatakan, bagaimana bahagianya Permaisuri Sara Ratan mendapati putra tunggalnya masih hidup. Bahkan dalam keadaan sehat dan segar. Ibu dan anak itu sampai lupa pada orang-orang di sekitarnya, karena sibuk menumpahkan kerinduan dan kebahagiaan.
Sementara Rangga yang berada di ruangan itu, menggamit lengan Gurata untuk mengajaknya ke luar. Tanpa bicara sedikit pun, Gurata mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti keluar dari dalam rumah Ki Belabar, Kepala Desa Kali Ajir. Mereka langsung ke depan, dan duduk di tangga beranda depan rumah itu. Saat ini malam sudah tiba. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi beranda, tergantung di tengah langit-langit beranda depan ini.
“Aku menangkap ada sesuatu yang tidak wajar,” ujar Rangga setengah bergumam.
“Maksudmu?” Gurata belum bisa menangkap perkataan Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Aku menemukan beberapa kejanggalan dalam peristiwa ini. Natapraja telah membunuh semua emban dan pembantu pribadi Permaisuri Sara Ratan. Bahkan juga membunuh beberapa prajurit serta beberapa panglima dan pembesar kerajaan. Sepertinya dia memilih orang-orang yang menjadi korbannya,” Rangga mengungkapkan kecurigaannya.
“Benar! Dia juga selalu mengatakan hanya menjalankan tugas. Tapi tidak pernah memberitahu siapa yang memberi tugas. Itu kuketahui karena pernah bentrok dengannya sekali, sebelum aku ditangkap dan disiksa,” pelan suara Gurata.
“Gurata, kau lama hidup di dalam lingkungan istana, bahkan menjadi pengawal pribadi Permaisuri Sara Ratan. Tentunya kau tahu kalau Pendeta Seka Gora mempunyai anak angkat.”
“Tidak. Semua orang tahu kalau Pendeta Seka Gora tidak mempunyai anak angkat seorang pun.”
“Hm.... Dia mengakui kalau Natapraja adalah anak angkatnya. Kau pernah bentrok dengannya, tentu bisa mengenali jurus-jurusnya. Apa ada kesamaan dengan yang dimiliki Pendeta Seka Gora?” tanya Rangga kembali.
“Rasanya tidak...,” sahut Gurata setelah berpikir sejenak.
“Kau pernah melihat Natapraja sebelumnya di istana?” tanya Rangga lagi.
Belum juga Gurata menjawab, Permaisuri Sara Ratan muncul bersama putranya, diikuti Ki Belabar serta putri dan istrinya. Rangga serta Gurata bergegas bangkit berdiri. Gurata membungkuk memberi hormat.
“Natapraja bukan apa-apa di dalam lingkungan istana. Bahkan belum pernah kulihat di lingkungan Kerajaan Salinga,” kata Permaisuri Sara Ratan.
Rangga menatap dalam-dalam wanita yang berdiri di samping Raden Mandaka. Pandangannya beralih pada Ki Belabar yang mengedipkan sebelah mata padanya.
“Gusti Permaisuri, hamba mohon ijin untuk berbicara sebentar dengan Ki Belabar,” ucap Rangga sopan.
Permaisuri Sara Ratan memandang laki-laki tua Kepala Desa Kali Ajir yang berada agak ke belakang di sebelah kanannya, kemudian mengangguk seraya memberikan senyum. Ki Belabar memberi hormat, lalu melangkah menghampiri Rangga. Dengan kerdipan matanya, Rangga membalikkan tubuh mengikuti laki-laki tua itu. Mereka terus berjalan melintas halaman depan yang cukup luas, dan baru berhenti setelah sampai di bawah pohon. Memang cukup jauh dari beranda depan rumah.
“Ada apa, Ki?” tanya Rangga.
“Ada sesuatu yang hendak kubicarakan secara pribadi denganmu, Rangga,” kata Ki Belabar.
“Hm.... Mereka bisa mencurigaimu, Ki,” Rangga memperingatkan.
“Tidak,” sahut Ki Belabar mantap.
Rangga melirik ke arah beranda. Tampak Permaisuri Sara Ratan duduk di kursi kayu didampingi putranya. Sedangkan Nyai Belabar dan putrinya serta Gurata hanya duduk bersimpuh di lantai beranda. Pendekar Rajawali Sakti itu kembali berpaling menatap Ki Belabar.
“Semua yang akan kukatakan padamu sudah kuungkapkan lebih dulu pada Gusti Permaisuri Sara Ratan,” kata Ki Belabar lagi.
“Apa yang akan kau katakan padaku, Ki?” tanya Rangga.
“Tentang Natapraja.”
“O...!”
“Dia anak laki-lakiku, kakak Ayu Kumala.” Rangga hampir tidak percaya mendengar pengakuan itu. Ditatapnya dalam-dalam laki-laki tua itu dengan sinar mata menyelidik. Namun yang ada di wajah Ki Belabar adalah kesungguhan dari pengakuannya tadi. Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mempercayai kalau Natapraja adalah anak Ki Belabar.
“Hampir dua purnama ini Natapraja tidak pernah kembali. Dia memang berpamitan padaku hendak mencari pengalaman. Aku sendiri tidak menyangka kalau semua urusan ini sampai melibatkannya,” kata Ki Belabar lagi.
“Ki.... Kalau memang benar Natapraja itu adalah anakmu, tentu Permaisuri Sara Ratan sudah mengenalnya saat melihatnya pertama kali, bukan? Kenapa sikap Permaisuri Sara Ratan seperti tidak pernah mengenalnya?” tanya Rangga ingin lebih jelas mengetahui.
“Gusti Permaisuri memang tidak kenal. Tidak ada yang lebih mengenal keluargaku, hanya...,” Ki Belabar memutuskan kalimatnya.
“Hanya apa, Ki?” desak Rangga.
“Rangga, aku mohon padamu. Jika memang Natapraja bersalah, serahkanlah padaku. Biar aku yang memberi hukuman yang pantas,” kata Ki Belabar mencoba membelokkan arah pembicaraan.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Ki,” Rangga mengingatkan.
“Sebaiknya tidak usah kuteruskan, Rangga. Tidak ada yang tahu. Bahkan Gusti Permaisuri sendiri tidak tahu. Terlebih lagi Raden Mandaka.”
“Jika kau percaya padaku, akan kupegang rahasiamu, Ki,” janji Rangga meyakinkan laki-laki tua itu.
“Aku sering mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti.  Aku kagum, bahkan sering kukatakan pada Natapraja agar menjadi seorang pendekar tangguh sepertimu. Yaaah.... Aku percaya padamu, Rangga. Kau pasti bisa memegang rapi rahasia ini.”
“Siapa lagi yang tahu, Ki?” desak Rangga.
“Gusti Prabu Jayengrana,” sahut Ki Belabar setengah berbisik, seakan-akan takut kalau ada yang mendengar selain Pendekar Rajawali Sakti.
“Siapa...?!” Rangga terkejut tidak menyangka.
“Setiap tahun Gusti Prabu Jayengrana dating ke desa ini. Beliau selalu meminta padaku untuk menyediakan pemuda-pemuda berkemampuan cukup tinggi untuk dijadikan jawara istana, atau prajurit pilihan yang tangguh dan dapat dipercaya. Memang tidak banyak. Paling tidak dua atau tiga orang setiap tahunnya. Itulah sebabnya mengapa Gusti Prabu Jayengrana mengenal betul keluargaku, bahkan seluruh penduduk desa ini selalu mengaguminya. Gusti Prabu begitu dekat terhadap rakyat kecil. Bahkan kalau beliau datang, tidak pernah suka diperlakukan sebagaimana layaknya seorang raja. Gusti Prabu senang berbincang-bincang, makan, dan minum bersama kami. Itulah sebabnya aku dan seluruh warga desaku tidak percaya kalau Natapraja sampai hati menikam seorang raja yang begitu kami cintai,” pelan suara Ki Belabar.
“Ki, apa ada persoalan antara Natapraja dengan Prabu Jayengrana?” tanya Rangga.
Ki Belabar tidak langsung menjawab, tapi malah menatap dalam-dalam bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Pelahan kepalanya menggeleng lemah. Rangga menarik napas panjang, seakan hendak melonggarkan rongga dadanya yang mendadak saja terasa sesak.

32. Pendekar Rajawali Sakti : Permainan di Ujung MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang