BAGIAN 1

1.5K 34 0
                                    

Saat ini masih terlalu pagi untuk membuka mata. Kabut pun masih terlalu tebal menyelimuti permukaan bumi. Cahaya matahari yang menyemburat merah jingga di balik Gunung Bekasan seakan-akan tak sanggup menembus kabut yang menggumpal, menutupi puncak gunung itu. Namun kesunyian yang syahdu ini mendadak pecah oleh teriakan-teriakan keras diwarnai denting senjata beradu.
Sesekali terdengar ledakan dahsyat menggelegar bagai guntur membelah angkasa. Suara-suara itu jelas datang dari Puncak Gunung Bekasan. Di dalam selimut kabut tebal, terlihat dua sosok tubuh tengah berkelebat saling sambar bagai dua sosok bayangan malaikat yang bertarung memperebutkan bidadari kahyangan.
Dua bayangan putih dan biru itu berkelebat cepat saling sambar di antara kelebatan kabut tebal, pepohonan, semak, dan bebatuan sekitar tempat pertarungan itu sudah porak-poranda bagai habis diamuk ribuan gajah yang marah akibat ruang lingkupnya tergusur keserakahan manusia. Mereka tak mempedulikan cahaya matahari pagi yang mulai menyibak kabut dengan kehangatan dan keindahan sinarnya. Dua sosok itu terus   bertarung bagaikan tak akan pernah berhenti. Entah sudah sejak kapan terjadi pertarungan di Puncak Gunung Bekasan ini.
Glarrr!
Tiba-tiba suatu ledakan yang begitu dahsyat terdengar. Tampak batu-batu besar dan kecil beterbangan ke udara. Pepohonan bertumbangan, tanah terbongkar menimbulkan awan debu tebal. Seakan-akan Gunung Bekasan tengah murka. Namun yang terjadi sebenarnya, orang yang mengenakan baju putih telah melepaskan satu ajian sangat dahsyat. Akibatnya, gunung yang biasanya tenang itu seperti meletus. Begitu dahsyatnya, hingga daerah sekitarnya bergetar seperti terjadi gempa dahsyat!
"Ha ha ha...!"
Terdengar tawa terbahak-bahak dari seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengenakan baju putih ketat kotor berdebu. Beberapa puluh tombak di depannya tertihat seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, tergeletak menggeliat-geliat di tanah. Baju warna biru yang dikenakan sudah koyak bercampur bercak darah dan debu serta keringat.
"Kuakui ketangguhanmu, Pendekar Bayangan Dewa. Tapi itu belum cukup untuk bisa menandingiku! Ha ha ha...!" laki-laki muda berbaju putih ketat itu kembali tertawa tergelak-gelak.
Sedangkan orang yang mengenakan baju biru tampak diam, tak bergerak-gerak lagi. Kedua matanya terpejam rapat. Sedikit pun tak ada gerakan di tubuhnya. Sebatang pohon yang cukup besar menimpa sebelah kakinya hingga sedikit terbenam ke tanah. Sedangkan sebongkah batu sebesar anak domba menghimpit dadanya. Keadaan orang itu sungguh mengenaskan. Malah sepertinya tidak ada harapan untuk hidup kembali.
"Ha ha ha...!" laki-laki muda berbaju putih ketat itu kembali tertawa terbahak bahak.
Slap!
Sungguh ringan dan cepat bagaikan kilat lompatan laki-laki berbaju putih ketat itu. Tahu-tahu dia sudah berdiri tegak di samping tubuh yang tergeletak, tak bergerak-gerak lagi. Sebentar diamati lawannya tadi, kemudian bibirnya bergerak menyunggingkan senyum. Semakin lama senyum di bibirnya itu semakin lebar, kemudian tawanya kembali pecah menggelegar.
"Ha ha ha...! Siapa lagi yang ingin menantangku...?!" serunya  pongah.
"Dewata pun tak akan sanggup menandingi kesaktianku! Ha ha ha…!"
Swing!
Tiba-tiba saja pemuda berbaju putih ketat yang telah dibasahi keringat itu melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata. Bagaikan lenyap ditelan bumi saja layaknya. Namun suara tawanya masih terdengar, lalu lambat laun menghilang terbawa angin pagi yang dingin menebarkan kabut ke angkasa luas. Sebentar saja kesunyian sudah mencekam menyelimuti seluruh permukaan Puncak Gunung Bekasan ini. Sisa-sisa bekas pertarungan masih terlihat. Dan sosok tubuh baju biru yang koyak, dan kotor berdebu, masih tergeletak tertindih batang pohon serta batu sebesar anak domba. Tak ada gerakan sedikit pun.
Namun tak lama setelah orang berbaju putih tadi pergi, muncul seorang perempuan tua mengenakan jubah kumal. Tangannya menggenggam tongkat berbentuk seekor ular. Gerakannya begitu ringan, dan kelihatannya terkejut begitu mendapati ada orang tergeletak tertindih batang pohon dan batu di puncak gunung yang sunyi ini. Bergegas dihampiri orang yang tergeletak itu, lalu berlutut di situ. Tanpa menunggu waktu lagi, perempuan tua berjubah kumal itu memeriksa laki-laki yang masih tak bergerak bagai mati.
"Oh..., untung belum mati. Hm..., siapa yang melakukan ini...?" perempuan tua itu bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri. Memang tidak ada orang lain lagi yang bisa diajak bicara.
Sebentar diedarkan pandangannya berkeliling, lalu cepat sekali digerakkan tongkatnya. Sungguh luar biasa! Dari tongkat berbentuk ular itu keluar cahaya putih keperakan yang langsung menyelimuti batang pohon besar itu. Pelahan-lahan diangkat tongkatnya. Seketika pohon yang begitu besar dan tidak mungkin dilingkari dua orang sambil berpegangan tangan itu terangkat bagai segumpal kapas tertiup angin.
"Hiya...!" Brak!
Pohon itu menghantam pohon-pohon lain hingga tumbang, begitu perempuan tua berjubah kumal itu menghentakkan tongkatnya. Kemudian, dilakukannya hal yang sama untuk memindahkan batu yang menghimpit dada laki-laki berbaju biru iu. Ringan sekali batu sebesar domba itu dipindahkan, dan dibuang jauh-jauh melewati beberapa pohon tinggi. Batu itu bagaikan terbang dilemparkan sepasang tangan raksasa yang bertenaga luar biasa sekali.
"Siapa pun yang melakukan ini padamu, kau harus selamat dan membalas!" desis perempuan tua berjubah kumal itu pelan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, diangkatnya tubuh laki-laki separuh baya yang belum juga bisa bergerak itu. Sebentar perempuan tua itu memandangi wajah yang berlumuran darah dan kotor berdebu, kemudian melesat cepat bagaikan kilat meninggalkan Puncak Gunung Bekasan ini. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak berbekas lagi.
Kembali Puncak Gunung Bekasan dilanda kesunyian yang mencekam. Namun kesunyian itu tak berlangsung lama, karena burung-burung mulai berkicau menyemarakkan pagi yang telah dikoyak oleh ulah segelintir manusia. Dan sinar matahari pun kembali tersenyum. Begitu hangat menyirami permukaan puncak gunung itu. Kabut pun telah sejak tadi memudar, sebagai tanda dimulainya kegiatan rutin setiap hari. Tak ada lagi yang tersisa. Sementara alam kembali normal seperti biasa. Akankah hal ini berlangsung untuk selamanya...? Itulah kehidupan.

34. Pendekar Rajawali Sakti : Jari MalaikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang