BAGIAN 3

998 33 0
                                    

Keramaian masih terasa di Desa Banyu Reges, meskipun hari peringatan berdirinya Padepokan Pedang Perak sudah berakhir sepekan lalu. Dan semua orang sudah melupakan peristiwa berdarah yang terjadi pada hari pertama peringatan itu. Bahkan murid-murid padepokan itu sendiri tidak lagi membicarakannya. Keramaian di Desa Banyu Reges terjadi karena masa menuai hampir tiba. Apalagi ditambah para undangan Padepokan Pedang Perak yang belum semuanya kembali pulang. Masih ada juga yang ingin tinggal lebih lama untuk menikmati keindahan desa itu.
Kehadiran tokoh-tokoh rimba persilatan di Desa Banyu Reges bukan saja membuat penduduknya senang, tapi juga membuat persoalan yang tidak biasa terjadi menjadi terjadi. Berbagai macam tingkah polah mereka, sehingga membuat para penduduk Desa Banyu Reges sukar untuk memahami. Apa yang diperbuat terasa janggal. Dan ini membuat para pemuka desa dirundung kegelisahan jika tokoh-tokoh rimba persilatan masih terlalu lama tinggal di situ. Mereka khawatir kalau kalau tingkah polah tokoh persilatan itu merambat dan merasuki pemuda pemuda desa yang masih polos dan lugu.
Namun suasana seperti itu tentu sangat dimanfaatkan pemilik kedai dan rumah penginapan. Tempat-tempat seperti itulah yang selalu dikunjungi mereka hingga padat. Terlebih lagi kedai atau rumah makan yang menyediakan minuman keras serta gadis-gadis penghibur. Tidak heran lagi jika keributan selalu muncul dari kedai-kedai minum ataupun rumah-rumah penginapan. Desa Banyu Reges yang sehari-harinya aman tentram dan tenang, kini mendadak berubah bagai desa mesum yang penuh tingkah polah manusia-manusia berkelakuan sesuka hati.
"Heh! Pembunuhan lagi...!" dengus Ki Junta, Kepala Desa Banyu Reges saat menerima laporan adanya perkelahian di sebuah kedai.
Empat orang yang melaporkan perkelahian itu hanya diam saja, sambil menunggu perintah dari kepala desa itu. Tapi laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih semua itu hanya diam saja seraya mengayunkan kaki keluar dari rumahnya. Empat orang laki-laki bertubuh tegap yang menyandang sebilah golok di pinggang itu mengikuti dari belakang.
"Di mana perkelahian itu, Teja?" tanya Ki Junta terus saja berjalan tak terburu-buru.
"Di kedai Ki Sangir," sahut Teja yang berjalan di sebelah kiri Ki Junta.
"Huh! Selalu saja terjadi di situ...!" rungut Ki Junta.
Sudah beberapa kali ini Ki Junta menerima laporan perkelahian yang berakhir dengan terbunuhnya dua atau tiga orang di kedai Ki Sangir. Letak kedai itu agak mendekati perbatasan desa sebelah Barat. Memang agak jauh dari pemukiman penduduk, namun yang paling ramai dikunjungi orang. Ki Junta merasa jengkel karena setiap saat selalu menerima laporan perkelahian atau tindak kekerasan lain yang membuatnya jadi sukar beristirahat.
Letak kedai Ki Sangir memang tidak seberapa jauh dari kediaman kepala desa, sehingga bisa ditempuh dalam waktu singkat. Sebentar saja Ki Junta yang didampingi empat orang bawahannya sampai di kedai Ki Sangir. Suasana kedai itu tampak ramai, tapi tak ada tanda-tanda bekas terjadi keributan. Ki Junta langsung masuk ke dalam kedai. Dipanggilnya Ki Sangir pemllik kedai itu. Laki-laki tua bertubuh agak bungkuk, dan bernama Ki Sangir bergegas menghampiri.
"Oh, Ki Junta. Silakan, masih ada tempat kosong," sambut Ki Sangir, bersikap hormat
"Kedatanganku bukan untuk makan atau minum di sini!" kata Ki Junta ketus.
Ki Sangir terdiam. Sempat diliriknya empat orang laki-laki di belakang kepala desa itu. Ki Sangir sudah bisa meraba maksud kedatangan Ki Junta ke kedainya ini. Sedangkan Ki Junta mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kedai ini. Cukup padat juga pengunjungnya, tapi masih ada beberapa meja yang belum terisi. Kebanyakan, para pengunjung itu adalah orang rimba persilatan. Ini ditandai dari pakaian dan senjata yang dibawa.
Pandangan mata Ki Junta tertumpu pada satu sudut yang agak terhalang oleh dinding kayu berlubang-lubang. Pada sebuah meja yang hanya ada seguci arak serta beberapa potong pisang goreng, duduk seorang laki-laki muda berwajah tampan. Rambutnya panjang tergelung ke atas. Pemuda itu mengenakan baju warna putih tanpa lengan. Sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung rajawali, menyembul dari balik punggungnya. Ki Junta kembali mengalihkan pandangannya ke arah Ki Sangir yang masih tetap berdiri terbungkuk di depannya. Tubuh Ki Sangir memang agak bungkuk.
"Ki Sangir! Sudah berapa kali kuperingatkan padamu? Jangan biarkan tamu-tamu mabuk-mabukan seenaknya hingga mengganggu ketertiban dan keamanan, mengerti!" tegas sekali kata-kata kepala desa itu.
"Ah! Sudah dua hari ini tidak ada keributan di sini. Ki," sahut Ki Sangir.
"Jangan suka menutup mata di depanku, Ki Sangir!" sentak Ki Junta Jengkel.
"Maaf, Ki Apa sebenarnya yang telah terjadi? Kenapa Ki Junta seperti tidak menyukai kedai ini dikunjungi banyak tamu?" tanya Ki Sangir merasa tidak suka pada sikap kepala desa itu.
"Bukannya tidak suka. Tapi aku sering dengar kalau di kedaimu selalu terjadi keributan yang membuat penduduk resah!" kata Ki Junta, agak keras nada suaranya.
"Oh...!" Ki Sangir mengeluh panjang.
Laki-laki tua bungkuk pemilik kedal itu kembali melirik empat orang di belakang Ki Junta. Memang sejak datangnya tokoh-tokoh rimba persilatan di desa ini, selalu saja terdengar keributan yang berakhir dengan jatuh korban nyawa dari orang-orang persilatan itu sendiri. Untunglah sampai sekarang ini belum ada seorang penduduk pun yang tewas akibat perkelahian atau apa saja.
Ki Sangir memang mengakui kalau sudah tiga kali kedainya jadi ajang pertarungan yang tidak jelas permasalahannya. Mereka hanya memamerkan kepandaian yang selalu berakhir kematian. Tapi sudah dua hari ini tidak terjadi perkelahian di kedainya, walaupun pertengkaran kecil memang selalu saja ada.
"Sebaiknya kau tidak usah mendengar, tapi melihat sendiri keadaan desamu...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara menggema.
Ki Junta tersentak kaget. Suara itu jelas ditujukan untuk dirinya. Tapi, entah siapa yang baru saja berbicara. Kedai ini begitu banyak orang yang kelihatannya tidak peduli antara satu dengan lainnya. Ki Junta mengedarkan pandangannya mencoba mencari arah sumber suara tadi. Sedangkan empat orang yang berada di belakangnya sudah memegang gagang golok masing-masing, tapi belum dicabut dari sarungnya.
"Kisanak, siapa kau yang berbicara?!" lantang suara Ki Junta.
Tak ada sahutan sama sekali. Ki Junta jadi gusar sekali. Kembali diedarkan pandangannya berkeliling, mencoba mencari orang usil tadi.
"Mata lebih sempurna dari pada telinga. Melihat lebih baik daripada mendengar...," kembali terdengar suara yang bernada sama.
Ki Junta langsung berpaling, dan menatap seorang pemuda berwajah tampan duduk di dekat jendela. Pakaiannya putih bersih dan ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap berisi. Pemuda itu kelihatan tenang menghadapi arak dan beberapa piring makan yang sudah kosong.
"Ilmu pemindah suaramu cukup bagus, Kisanak. Tapi belum cukup untuk mengelabuiku!" dengus Ki Junta dingin.
Belum lagi kata-kata Ki Junta hilang dari pendengaran, mendadak saja kepala desa itu mengibaskan tangannya ke arah pemuda yang duduk di bawah jendela itu. Dari balik lengan bajunya meluncur sebuah benda kecil berwarna hitam. Benda kecil seperti mata tombak tersebut bagaikan kilat meluruk ke arah pemuda tampan itu.
Tap!
Tapi sungguh di luar dugaan sama sekali. Pemuda itu hanya mengangkat guci araknya sedikit ke depan. Maka, benda hitam berbentuk mata tombak itu menancap di guci. Masih bersikap tenang, ditenggaknya arak dari dalam guci. Tak ada setetes arak pun yang keluar, meskipun guci itu berlubang tertancap mata tombak hitam yang dilemparkan Ki Junta.
"Ki, sebaiknya jangan di sini. Meja dan kursiku baru diganti semua," kata Ki Sangir, agak bergetar suaranya.
"Minggir kau!" bentak Ki Junta kasar seraya mendorong tubuh laki-laki bungkuk pemilik kedai itu.
Ki Sangir terhuyung-huyung ke belakang. Kalau saja tidak ditahan seorang gadis muda berbaju biru, mungkin tubuhnya sudah menabrak meja.
"Oh! Terima kasih, Nini." ucap Ki Sangir bergegas membungkuk memberi hormat.
"Menyingkirlah, Ki. Kelihatannya kepala desa itu sudah kerasukan setan," kata gadis cantik berbaju biru itu lembut.
"Heh! Apa katamu, Nisanak?!" bentak Ki Junta berang.
"Ini, Ki," gadis itu tidak mempedulikan bentakan Ki Junta.
Sambil berdiri, dibayar makanan dan minumannya pada Ki Sangir, kemudian dilangkahkan kakinya pelahan-lahan ke luar kedai. Tapi belum juga mencapai ambang pintu, dua orang yang mendampingi Ki Junta sudah menghadangnya. Gadis itu terpaksa berhenti melangkah.

34. Pendekar Rajawali Sakti : Jari MalaikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang