Malam sudah teramat larut. Suasana di sekitar Padepokan Pedang Perak begitu sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat berjaga-jaga di beberapa tempat. Sebagian besar penghuni padepokan itu sudah terlelap dibuai mimpi. Namun di dalam salah satu ruangan, terlihat Dewa Pedang masih terjaga, didampingi istri dan anak bungsunya.
"Sudah tiga hari Arya Dipa belum juga kembali. Tak ada kabar beritanya lagi...," gumam Dewa Pedang agak mendesah, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.
"Sebaiknya besok pagi aku ke Gunung Bekasan, Ayah," usul Arya Gara.
"Untuk apa?" tanya Dewa Pedang.
"Barangkali saja masih bisa bertemu Kakang Arya Dipa."
"Hidup atau mati. Pendekar Jari Malaikat sendiri yang akan mengatakannya padaku. Tapi..."
"Tapi kenapa?" celetuk Dewi Ratih yang sejak tadi diam saja.
"Aku merasakan adanya keanehan. Belum pernah Pendekar Jari Malaikat bertarung sampai tiga hari. Apalagi kemampuan yang dimiliki Arya Dipa masih terlalu jauh untuk bisa menandinginya. Aku merasakan ada sesuatu di balik tantangan ini, Dinda Dewi," nada suara Dewa Pedang seperti bergumam.
"Kenapa Kakang tidak melihat saja sendiri ke sana?" usul Dewi Ratih.
"Tidak. Aku tidak akan merusak perjanjian itu."
"Tapi ini sudah tiga hari, Kakang. Kau berhak melihat keadaan anak kita. Apakah sudah tewas, atau masih hidup."
"Meskipun sampai seratus tahun sekalipun, aku tidak berhak mencampuri urusan ini, Dinda. Itu sudah perjanjianku dengan Pendekar Jari Malaikat. Meskipun kini yang menjadi urusan adalah anakku sendiri."
"Perjanjian itu antara Kakang dengan Pendekar Jari Malaikat. Bukan denganku atau Arya Gara. Berarti aku atau Arya Gara bisa mengunjungi Gunung Bekasan," bantah Dewi Ratih.
Dewa Pedang tercenung diam. Kata-kata istrinya memang benar, dan tidak bisa dibantah lagi. Dan dia tidak akan mungkin melarang seandainya Arya Gara atau Dewi Ratih pergi ke Puncak Gunung Bekasan. Mereka memang tidak ada sangkut pautnya dengan penanjiannya itu. Dewa Pedang hanya menarik napas panjang saja. Dirayapi wajah istri dan anaknya secara bergantian. Ada beban yang teramat berat menghimpit dadanya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kata-kata Dewi Ratih yang terakhir membuat dirinya benar-benar tidak berdaya lagi.
"Arya Gara, siapkan kuda. Kita berangkat sekarang juga," kata Dewi Ratih.
"Baik, Bu," sahut Arya Gara seraya bangkit berdiri.
"Tunggu...!" cegah Dewa Pedang cepat.
"Mau ke mana kalian?"
"Ke Gunung Bekasan," sahut Dewi Ratih kalem.
"Untuk apa? Malam-malam begini...?"
"Ya! Agar besok pagi sudah sampai di sana. Lebih cepat lebih baik," sahut Dewi Ratih masih kalem.
"Tidak! Kalian tidak boleh ke sana!" cegah Dewa Pedang tegas.
Arya Gara dan ibunya saling berpandangan tidak mengerti. Namun belum juga wanita itu bisa bersuara, mendadak saja terdengar suara dari arah luar.
"Kalian semua memang tidak boleh ke sana jika ingin selamat...!"
"Heh...!" Dewa Pedang terperanjat bukan main.
Begitu pula Dewi Ratih dan Arya Gara. Sesaat mereka saling berpandangan, lalu hampir bersamaan melompat ke luar melalui jendela yang terbuka. Sebentar saja ketiga orang itu sudah berada di luar ruangan. Mereka berdiri berdampingan di tengah-tengah halaman samping yang luas, di tumbuhi tanaman bunga bermekaran menyebarkan bau harum. Tak ada seorang pun yang terlihat kecuali bayang-bayang pohon tersiram cahaya bulan di sekitarnya.
"Kisanak, keluarlah!" seru Dewa Pedang lantang.
Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi itu menggema sampai ke delapan penjuru angin. Namun tak ada sahutan sedikit pun, dan suasana tetap sunyi. Hanya desiran angin malam yang terdengar mengusik gendang telinga.
"Saat ini aku tidak ingin bermain-main, Kisanak. Keluarlah...!" seru Dewa Pedang sekali lagi.
"Kau tidak perlu berteriak, Dewa Pedang. Aku di belakangmu!" terdengar sahutan ringan bernada tenang.
Dewa Pedang, Dewi Ratih dan Arya Gara langsung memutar tubuhnya berbalik. Betapa terkejutnya mereka, karena di tempat itu sudah berdiri seorang laki-laki muda berwajah cukup tampan. Baju putihnya agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Dewa Pedang melangkah maju tiga tindak. Pandangannya tajam, namun terlihat begitu waspada. Kehadiran pemuda itu yang tidak diketahui, sudah memberikan peringatan agar Dewa Pedang berhati-hati.
"Siapa kau, dan apa maksudnya datang ke tempatku malam-malam begini?" tanya Dewa Pedang tegas.
"Ha ha ha...!" laki-laki muda berbaju putih itu hanya tertawa saja.
Dewa Pedang menjentikkan jari tangannya, memberi isyarat pada istri dan anaknya agar berhati-hati. Sudah terasa kalau kehadiran pemuda itu tidak diiringi maksud baik.
Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki muda berbaju putih yang ternyata adalah si Jari Malaikat Maut itu langsung saja melompat menerjang Dewa Pedang. Serangan yang mendadak ini membuat laki-laki setengah baya itu jadi terperangah sesaat. Tapi, cepat-cepat dijatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah. Serangan si Jari Malaikat Maut hanya mengenai tempat kosong. Namun belum juga Dewa Pedang bisa berdiri tegak, Jari Malaikat Maut sudah menyerang kembali.
"Tunggu...!" seru Dewa Pedang sambil berkelit menghindari serangan pemuda berbaju putih itu.
Tapi rupanya si Jari Malaikat Maut tidak mempedulikan seruan Dewa Pedang. Bahkan semakin gencar menyerang tanpa memberi kesempatan lawan untuk berbuat sesuatu, selain berkelit menghindarkan diri. Dewa Pedang jadi geram juga dibuatnya. Mendadak saja dia berteriak keras, lalu....
"Hiyaaat..!"
Tubuh Dewa Pedang melesat ke udara, lalu cepat sekali menukik sambil mencabut pedang peraknya yang terkenal sangat ampuh dan ditakuti lawan maupun kawan.
"Uts...!"
Si Jari Malaikat Maut bergegas menundukkan kepalanya, menghindari tebasan pedang perak yang datang bagaikan kilat itu. Hanya sedikit saja ujung mata pedang itu berkelebat di atas kepala si Jari Malaikat Maut. Bergegas digeser kakinya ke belakang, tepat saat Dewa Pedang menjejakkan kakinya kembali ke tanah.
Secepat si Jari Malaikat Maut berkelit, secepat itu pula tangan kanannya mengibas ke depan. Kalau saja Dewa Pedang tidak cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, pasti tebasan tangan si Jari Malaikat Maut sudah menjebol perutnya. Si Jari Malaikat Maut berdiri tegak bertolak pinggang, kemudian menggerak-gerakkan tangannya di depan dada dengan sepuluh jari terkembang lebar.
"Heh...!" Dewa Pedang tersentak kaget. Bergegas dia melompat mundur dua tindak. Hampir-hampir tidak di- percaya pada penglihatannya sendiri. Pemuda itu tengah membuka jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Satu jurus yang sangat dikenalnya dan merupakan jurus andalan dahsyat milik Pendekar Jari Malaikat.
"Anak Muda, apa hubungannya kau dengan Pendekar Jari Malaikat?" tanya Dewa Pedang bercampur rasa heran yang amat sangat.
"He he he .... Rupanya kau gentar juga melihat Jurus 'Sepuluh Jari Maut' ini, Dewa Pedang," si Jari Malaikat Maut terkekeh sinis.
"Aku tidak percaya kalau kau murid Pendekar Jari Malaikat. Dari mana kau dapatkan jurus itu, Anak Muda?!" dengus Dewa Pedang.
"Kau akan tahu jika anakmu sudah jadi mayat'" jawab si Jari Malaikat Maut dingin.
Dewa Pedang tercenung. Namun belum sempat mulutnya terbuka, mendadak Arya Gara melompat sambil berteriak keras menerjang si Jari Malaikat Maut
"Arya Gara...!" sentak Dewa Pedang terperanjat.
"Hih!"
Hanya dengan sedikit memiringkan tubuhnya, si Jari Malaikat Maut berhasil mengelakkan serangan Arya Gara. Dan dengan keceparan luar biasa, dihentakkan tangan kanannya ke arah kepala Arya Gara. Ujung jari yang menegang kaku itu meluruk deras ke arah kening. Arya Gara terperangah. Buru-buru ditarik kepalanya ke belakang. Namun....
"Hiyaaa...!"
Crab! "Aaa...!"
Sukar untuk diikuti pandangan mata biasa. Pada saat Arya Gara menarik kepalanya ke belakang, si Jari Malaikat Maut menghentak kakinya ke tanah. Dan bagaikan kilat tubuhnya melesat ke depan sambil menjulur tangan ke arah kening Arya Gara bagaikan sebatang pedang saja.
Arya Gara menjerit melengking tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Darah kontan menyembur deras dari kening yang bolong tertembus jari telunjuk si Jari Malaikat Maut. Pemuda itu jatuh menggelepar di tanah, sebentar kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Keparat..!" geram Dewa Pedang melihat putranya tewas terkena Jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Biar bagaimanapun tegarnya seorang pendekar, sebagai ayah. Dewa Pedang tidak bisa memungkiri hatinya yang terpukul melihat kematian anaknya.
"Arya Gara...!" teriak Dewi Ratih histeris.
Wanita itu berlari dan menubruk tubuh putranya yang sudah tidak bernyawa lagi. Meskipun Dewi Ratih seorang pendekar wanita yang cukup tangguh, tapi tidak kuasa juga membendung air matanya melihat putra bungsunya tewas menyedihkan.
"Kubunuh kau, iblis keparat..!" geram Dewi Ratih gusar. Sambil berteriak keras, Dewi Ratih melompat menerjang si Jari Malaikat Maut yang terkekeh bernada penuh ejekan. Terjangan Dewi Ratih disambut liukan tubuhnya sedikit ke samping. Lalu bagaikan kilat diayunkan kakinya menyepak wanita itu.
Dug!
"Akh...!" Dewi Ratih memekik keras tertahan.
Tendangan si Jari Malaikat Maut yang begitu cepat dan keras tidak dapat dielakkan lagi. Wanita itu terlontar beberapa langkah ke belakang. Pada saat itu si Jari Malaikat Maut sudah melompat dengan jari-jari tangan terkembang ke depan.
"Hiyaaa...!"
"Ratih, awas...!" seru Dewa Pedang. Hatinya benar-benar bergolak melihat istrinya diserang terus-menerus oleh si Jari Malaikat Maut. Namun naluri kependekarannya melarang untuk turut menyerang lawan yang hanya sendiri.
Serangan si Jari Malaikat Maut memang begitu cepat. Sedangkan pada saat itu, Dewi Ratih dalam keadaan tidak seimbang berdirinya. Wanita itu hanya mampu membanting tubuhnya ke tanah. Tapi sungguh sukar dimengerti, si Jari Malaikat Maut masih mampu menyepakkan kakinya ke tubuh wanita itu.
Buk!
"Akh!" lagi-lagi Dewi Ratih memekik keras. Wanita itu bergulingan di tanah begitu terkena tendangan telak pada bagian iga, namun masih sempat bangkit berdiri. Langsung dikeluarkan senjatanya yang berupa sehelai selendang berwarna merah muda. Selendang sutra halus, yang pada ujungnya berumbai merah darah.
Wut!
Dewi Ratih langsung mengerahkan jurus 'Selendang Maut'. Suatu jurus yang sangat diandalkan dan jarang dikeluarkan. Kematian putranya membuat wanita ini tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Tanpa mempedulikan peringatan suaminya, Dewi Ratih langsung menyerang si Jari Malaikat Maut dengan senjata mautnya. Selendang berwarna merah muda itu meliuk-liuk bagaikan seekor ular raksasa, memburu si Jari Malaikat Maut. Bagai memiliki mata saja selendang itu mengejar setiap langkah dan gerak si Jari Malaikat Maut.
"Huh!" dengus Jari Malaikat Maut kesal.
Pada saat ujung selendang Dewi Ratih meluruk ke arah dadanya, si Jari Malaikat Maut tidak bergeming sedikit pun. Bahkan dibuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi, ujung selendang merah muda itu menghantam telak dada si Jari Malaikat Maut. Namun pada saat itu si Jari Malaikat Maut menggerakkan tangannya, menangkap selendang itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil membuat gerakan berputar, si Jari Malaikat Maut melayang sambil menarik selendang merah muda itu. Hal ini membuat Dewi Ratih tercengang, dan berusaha menarik selendangnya. Namun pada saat menarik, si Jari Malaikat Maut mempergunakan hentakan tenaga lawan- nya. Dibiarkan saja tubuhnya meluruk bersama selendang itu ke arah pemiliknya.
"Oh, tidak...," desis Dewi Ratih terperanjat. Belum juga Dewi Ratih bisa melakukan sesuatu, ujung jari pemuda berbaju putih itu sudah menusuk keningnya. Bahkan sampai melesak hingga ke pangkalnya.
"Aaa...!" Dewi Ratih menjerit keras melengking tinggi. Darah segar langsung muncrat begitu si Jari Malaikat Maut menarik keluar jari yang terbenam di kening wanita itu. Sebentar Dewi Ratih masih mampu berdiri, kemudian jatuh menggelepar ke tanah. Darah semakin banyak keluar dari kening yang berlubang sebesar jari tangan.
"Dewi..!" sentak Dewa Pedang melihat istrinya dibantai si Jari Malaikat Maut.
Seketika laki-laki tua itu menghambur, memeluk mayat istrinya. Dia seperti ingin menangis, tapi jiwa kependekarannya menolak.
"Tidak! Aku tidak boleh menangis! Ini adalah takdir yang harus kuhadapi!" tekad Dewa Pedang dalam hati.
Tapi biar bagaimanapun, Dewa Pedang tidak memungkiri hatinya yang terbakar!
"Keparat! Iblis...!" desis Dewa Pedang menggeram marah. Hati pendekar ini sekarang benar-benar bergolak. Betapa tidak! Dua mutiara hatinya tewas di tangan orang biadab ini.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak- bahak melihat dua korbannya bergeletakan bersimbah darah pada kening yang berlubang.
Keributan yang terjadi di tengah malam buta itu rupa- nya membuat seluruh murid Padepokan Pedang Perak terjaga. Mereka berlarian ke arah sumber keributan itu. Betapa terkejutnya mereka begitu melihat tstri dan putra gurunya sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Semuanya jadi terpaku dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sementara si Jari Malaikat Maut berdiri tegak dengan tenangnya. Sedikit pun tidak dipedulikan kehadiran murid- murid Padepokan Pedang Perak yang kini sudah mengepung tempat ini sambil menghunus senjata. Perhatiannya hanya tertuju pada Dewa Pedang yang wajahnya memerah menahan kemarahan amat sangat.***
"Kau harus bayar mahal semua ini, Anak Muda!" dengus Dewa Pedang menggeram marah.
"Tentu! Akan kubayar semuanya dengan nyawamu, Dewa Pedang," sahut si Jari Malaikat Maut kalem.
Dewa Pedang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Disadari kalau pemuda itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Ketua Padepokan Pedang Perak itu memerintahkan murid-muridnya untuk menyingkir. Dia tak ingin pemuda itu mengamuk dan membantai habis murid- muridnya. Laki-laki setengah baya itu bisa mengukur kalau murid-muridnya tidak akan mampu menandingi pemuda yang tidak dikenalnya ini.
"Anak Muda, apa maksudmu datang ke sini?" tanya Dewa Pedang setelah semua murid-muridnya berada dalam jangkauan yang cukup jauh.
"Mencari anakmu!" sahut si Jari Malaikat Maut.
"Kau sudah membunuh anakku. Kisanak!"
"Kau pikir aku tidak tahu, heh? Di mana kau sembunyikan Arya Dipa? Dia harus bertanggung jawab padaku karena berani menyerobot hakku!" lantang nada suara si Jari Malaikat Maut.
"Apa yang dilakukan putraku?"
"Membunuh si Kapak Maut yang seharusnya menjadi bagianku! Jelas...?!"
"O...." desah Dewa Pedang.
Kini laki-laki setengah baya itu baru tahu dan menyadari. Ternyata pemuda ini adalah si Jari Malaikat Maut. Memang pernah didengarnya tentang pemuda ini dari Pendekar Jari Malaikat. Rupanya orang yang telah menggemparkan rimba persilatan ini masih begitu muda bagai seorang putra bangsawan, tapi hatinya terselimut nafsu iblis. Dewa Pedang semakin berhati-hati. dan tidak ingin gegabah menghadapi pemuda ini.
Ketua Padepokan Pedang Perak itu sudah mendengar banyak tentang sepak terjang si Jari Malaikat Maut. Demikian pula tentang ilmunya yang paling ditakuti hampir seluruh tokoh rimba persilatan, baik yang beraliran hitam maupun putih. Sebuah ilmu yang dapat menyerap ilmu lawan hanya lewat benturan badan dalam pertarungan. Tak ada satu ilmu kesaktian atau suatu jurus pun yang dapat menandinginya. Ilmu yang dimiliki si Jari Malaikat Maut itu bahkan membuat tubuhnya kebal tak dapat digempur ajian apa pun.
Dewa Pedang juga kini tahu kalau si Jari Malaikat Maut mencari Arya Dipa, karena telah membunuh si Kapak Maut, yang sedianya akan ditantang pemuda ini. Si Jari Malaikat Maut memang selalu menantang tokoh-tokoh persilatan hanya untuk mencuri ilmunya saja. Kemudian baru dibunuh dengan mata tak berkedip sedikit pun. Dewa Pedang menggeser kakinya sedikit ke samping. Pelahan-lahan ditarik pedangnya keluar dari warangkanya. Sebuah pedang panjang dan tipis berwarna keperakan. Pedang itu berkilatan tertimpa cahaya bulan.
"Bagus! Rupanya kau sudah siap ke neraka, Dewa Pedang!" dengus si Jari Malaikat Maut seraya tersenyum tipis.
"Kita tentukan malam ini. Kau, atau aku yang lebih dulu ke neraka!" dengus Dewa Pedang dingin.
"Ha ha ha...!" si Jari Malaikat Maut tertawa terbahak- bahak.
"Majulah, Anak Muda! Dosa besar kalau aku tidak bisa membunuhmu malam ini!" tantang Dewa Pedang.
"Waspadalah! Hiyaaa...!"
Si Jari Malaikat Maut langsung melompat menerjang Dewa Pedang. Tubuhnya melesat bagai sebatang anak panah lepas dari busur. Kedua tangannya menjulur ke depan dengan jari-jari terbuka lebar. Gerakannya bagai sepasang cakar seekor burung elang yang siap menerkam mangsa.
"Hait..!"
Bagaikan kilat Dewa Pedang melompat ke samping sambil mengebutkan pedangnya. Begitu cepat kebutan laki-laki setengah baya itu, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Semua murid Padepokan Pedang Perak pasti menyangka kalau tubuh si Jari Malaikat Maut akan terbelah dua. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan sama sekali.
"Hiyaaa...!"
Si Jari Malaikat Maut melentingkan tubuhnya berputar ke belakang. Dan pada saat ujung pedang Dewa Pedang menyambar tepat di depan perutnya, bagaikan kilat dihentakkan kakinya menyepak pergelangan tangan yang menggenggam pedang itu.
"Uts!"
Dewa Pedang bergegas menarik pulang pedangnya, maka sepakan kaki si Jari Malaikat Maut luput dari sasaran. Tapi dia tidak berhenti di situ saja. Sambil memutar tubuhnya, dikibaskan tangan kanannya, disusul tangan kiri menuju arah dua bagian tubuh Dewa Pedang. Satu serangan dahsyat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Jurus ini sangat diandalkan Pendekar Jari Malaikat, pemilik jurus yang syah itu. Hanya saja, kini menjadi milik si Jari Malaikat Maut.
Wut! Wuk!
"Edan! Hih...!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
34. Pendekar Rajawali Sakti : Jari Malaikat
ActionSerial ke 34. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.