🕊️🕊️🕊️
Lara memandangi rumah besar di depannya. Setelah acara pernikahan yang digelar sederhana kemarin, Imran dan Lara memutuskan untuk langsung pindah ke rumah yang baru Imran beli. Menurut Lara, rumah yang baru dibeli Imran terlalu besar. Apalagi mereka hanya tinggal berdua. Namun, Lara tak berani berkomentar. Toh, rumah itu dibeli dengan uang Imran sendiri.
Lara menarik kopernya dengan kesusahan, ia membawa banyak barang dari rumahnya. "Mas Imran, bisa bantu aku bawa kopernya? Tangan aku keram." Lara mengeluh sambil memijat jari-jari lentiknya.
Bukannya membantu, laki-laki itu malah melayangkan tatapan tajamnya, membuat Lara sedikit takut. "Aku enggak suka direpotkan. Suruh siapa bawa barang sebanyak itu," tukasnya dengan nada sinis.
Imran berjalan mendahului Lara. Lelaki itu tidak melirik sedikit pun ke arah Lara.
"Ya Allah, gini banget dapet suami."
Rasanya, ia ingin menangis. Andai saja ia menikah dengan Irza, tentu laki-laki itu akan dengan senang hati membantunya. Irza tidak akan membiarkan dirinya kelelahan seperti ini.
Dulu, Lara selalu berimajinasi tentang pernikahannya yang indah. Ia juga berdoa agar berjodoh dengan Irza. Bahkan, ia membayangkan saat ia menjadi seorang istri yang terbakti kepada sang suami. Saling berbagi kasih hingga rumah terasa seperti surga. Ya, itu semua hanya halusinasi belaka. Karena nyatanya, kehidupannya yang sekarang berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan.
Tapi ... cukup. Lara akan mencobanya. Keputusannya sudah bulat untuk menerima pernikahan itu dan belajar menjadi istri yang baik agar Imran dapat menerimanya.Dengan tangan yang masih keram, Lara memaksakan dirinya untuk tetap menarik koper sampai ke dalam rumah. Lara segera masuk ke kamar yang ia yakini itu adalah kamar Imran. Belum sempat mengistirahatkan tubuhnya, tiba-tiba Imran muncul dari kamar mandi. Ia menatap tajam ke arah Lara yang sedang duduk di pinggir kasur.
"Siapa yang menyuruh kamu masuk kamar ini?" tanyanya dengan ekspresi dingin.Lara kebingungan. "Ini kamar kita, kan?"
Imran tertawa sinis. "Jangan mimpi, aku enggak sudi tidur sekamar sama kamu. Segera keluar dari sini sebelum aku menyeretmu."
Lara merasa hatinya seperti diremas-remas. Dadanya terasa nyeri. Ia tak menyangka Imran bisa sekasar itu padanya. Tak ingin membuat Imran semakin marah, ia bergegas menyeret kopernya keluar dari kamar itu. Berusaha mencari kamar lain untuk ia tempati. Kebetulan, letak kamar itu berada di depan kamar Imran.
Lara menyandarkan punggungnya di depan pintu yang telah ia tutup. Saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis. Baru sehari menjadi istri dari Imran Wijaya, hidupnya sudah seperti di neraka. Jujur saja, ia tidak yakin akan sanggup menjalani kehidupan barunya.
Lara ingat betul, saat resepsi pernikahan kemarin, laki-laki itu sama sekali tidak menunjukkan senyumnya. Ekspresinya datar, sangat terlihat bahwa ia terpaksa menerima pernikahan itu. Lara jadi bertanya-tanya, mengapa Imran tidak menolak pernikahan itu? Padahal, di awal perjodohan, Lara sempat menolak mentah-mentah perjodohan tersebut. Imran malah dengan tegas menjawab bahwa ia siap menikah dengannya. Namun, lihat sekarang. Laki-laki itu bersikap seolah ia jijik untuk sekadar menatap mata Lara.
"Ya, Allah. Apa aku sanggup menjalani hidupku yang baru? Apa aku sanggup menjadi seorang istri yang berbakti?" Lara terisak. Bahunya bergetar hebat menahan sesak.
Ketukan pintu membuat Lara cepat-cepat menyeka air matanya. Dengan bahu yang masih sedikit bergetar, ia membuka pintu. Di hadapannya, Imran berdiri tegak sambil memperhatikan Lara dari atas sampai bawah.
"Simpan air matamu untuk hari-hari selanjutnya. Cepat bersihkan dirimu sekarang. Nanti malam ikut aku."
Lara hanya mengangguk.
"Jangan lama-lama. Aku enggak suka menunggu." Lagi, setelah mengucapkan itu, Imran langsung pergi begitu saja.
Beberapa saat kemudian, Lara telah siap dengan busana syar'i yang sangat pas untuk tubuhnya yang kecil. Lara tampak sangat cantik dengan balutan hijab berwarna biru. Tak lupa ia membawa tas selempang yang berisi ponsel serta dompetnya. Perempuan itu mengembuskan napas lega saat memperhatikan wajahnya di depan cermin. Untung saja sembab pada matanya telah berkurang. Setidaknya, orang-orang tidak akan menatapnya aneh saat di acara nanti.
Lara keluar dari kamarnya bertepatan dengan Imran yang juga baru keluar dari kamarnya. Sesaat Imran tertegun melihat penampilan Lara saat ini. Namun, cepat-cepat ia menepis pikirannya agar tidak terhasut dengan kecantikan Lara.
Setelah menempuh satu jam perjalanan, keduanya telah sampai di gedung mewah yang merupakan tempat diadakannya acara peresmian cabang baru oleh perusahaan mebel Wijaya's Property.
Lara mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Tamu undangannya tidak begitu banyak. Namun, jelas mereka dari keluarga terpandang. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat ayah dan ibu mertuanya sedang berbincang dengan beberapa rekan kerja.Perempuan itu terhenyak saat tangan Imran melingkar di pinggangnya dengan mesra. Secepat kilat ia menoleh ke samping. Laki-laki itu tersenyum sangat manis padanya. Lara hampir saja membalas senyuman itu sebelum Imran berbisik, "Bersikaplah seperti pasangan romantis pada umumnya, agar mereka enggak curiga."
Lara melirik ke depan sana, tampak sepasang suami istri berjalan mendekat ke arah mereka. Apalagi banyak pasang mata yang memperhatikan mereka berdua dengan terkesima. Pantas saja Imran menyuruhnya berakting."Imran, kamu sudah datang rupanya. Bagaimana kabarmu?" ucap seorang wanita dengan antusias. Wajahnya cantik. Setelah Lara perhatikan, wajahnya sangat mirip dengan ayah mertuanya.
"Seperti yang Tante Ira lihat, aku baik-baik aja," sahut Imran dengan sudut bibir yang tertarik ke atas.Sungguh, Lara belum pernah melihat Imran menampakkan senyum hangatnya. Jujur saja, laki-laki itu jadi terlihat makin ... tampan?
"Ya, Tuhan. Ini Lara, kan?" tanya Ira sambil menunjukkan senyum manisnya pada Lara.
Imran mengangguk. "Tentu aja. Cantik, bukan? Sayang, perkenalkan dirimu pada Tante Ira dan suaminya," ucapnya sambil melirik sekilas pada Lara.
Lara menggigit bibirnya kuat saat ia rasa matanya mulai berkaca-kaca. Drama macam apa ini? Kenapa Imran melakukan ini padanya? Di hadapan orang banyak, ia bertingkah seolah begitu mencintai Lara. Namun, kenyataannya berbanding terbalik saat di rumah.
"Ya,Tuhan. Sayang, lihatlah Imran. Sepertinya, adik kita ini udah pandai menggombal," ucap Tante Ira sambil cekikikan.
"Tentu saja. Sebagai suami, dia harus bisa bersikap lembut pada istrinya. Apalagi istrinya sangat manis dan menggemaskan. Iya kan, Manis?" seru Juan yang hanya dibalas senyuman hangat oleh Lara.
Ira menepuk pelan bahu Lara. "Bagaimana perlakuan Imran sama kamu? Pasti sangat manis, kan?"
Lara menolehkan wajahnya pada Imran. Laki-laki itu hanya diam. Lebih tepatnya berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
"I-iya, Tante. Mas Imran sangat baik pada Lara," ucap Lara terbata-bata. Mungkin, bibirnya memang tersenyum. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia begitu terluka.
"Sepertinya acara akan segera dimulai, ayo kita ke sana," seru Imran mengalihkan perbincangan mereka.
Kemudian mereka semua berkumpul di ruang yang telah disiapkan khusus untuk acara inti, yaitu peresmian kantor cabang Wijaya's Property. Hal yang mengejutkan bagi Lara adalah ketika Imran maju ke depan setelah ayah mertuanya memanggil.
"Nah, inilah dia, Imran Wijaya. Dialah pemimpin yang akan mengurus kantor cabang perusahan Wijaya's Property."
Semua orang yang ada di ruangan itu tampak riuh bertepuk tangan. Sedangkan Lara masih terdiam kaku di tempatnya.
Dharma kembali bersuara, "Seperti perjanjian sebelumnya, jika Imran telah menikah, maka perusahaan cabang akan menjadi hak milik anak saya." Beliau menepuk bahu Imran sebentar, lalu mengedarkan pandangan pada setiap orang yang berdiri di depannya. Hingga kedua matanya bertemu dengan Lara.
"Lara. Kemari, Nak." Dharma mengisyaratkan Lara agar naik ke atas podium bersama Imran.
"Ini adalah Lara. Menantu saya yang sangat manis. Ia adalah anak satu-satunya dari Bapak Santoso, tentu kalian mengenal beliau."Semua pegawai yang hadir dalam acara itu pun mengangguk paham. Mereka tentu mengenal Santoso. Santoso adalah salah satu tangan kanan yang dipercayai Dhamar. Sayangnya, beliau tidak bisa hadir dalam acara itu.
"Imran, ayo ucapkan terima kasih pada Lara. Karena tanpa Lara, kamu tidak akan bisa sampai pada titik ini," ucap Dharma diselingi kekehannya.
Kata-kata itu berhasil membuat Lara yang semula menunduk kini mendongak dan menatap Imran begitu dalam. Kini, ia tahu mengapa Imran tidak menolak pernikahan ini. Itu karena Imran begitu menginginkan posisi sebagai pimpinan Wijaya's Property. Jadi, ia sedang dimanfaatkan?
"Membuka lembaran baru, itu artinya aku juga harus siap menerima segala kemungkinan yang terjadi. Entah itu berakhir bahagia atau kembali terluka."
Hanaksara
Lanjut gak nih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka & Lara (Completed)
RomanceRomance-spiritual ______________ [FOLLOW SEBELUM MEMBACA ⚠️] AWAS BAPER!!! CERITA INI MENGANDUNG BANYAK BAWANG⚠️ #1 in Religi (21 Februari 2024) #1 in Spiritual (23 Desember 2020) #1 in Sabar (19 Januari 2021) #1 in Imran (18 Januari 2021) #1 in Kat...