17 - Siasat

18.4K 1.7K 92
                                    

Halooooo
Ayo, absen dulu. Kalian asal mana aja nih?
  
🕊️🕊️🕊️

Di perjalanan pulang, dari kejauhan Lara melihat seorang kakek berjualan rujak di pinggir jalan. Dari jauh saja, rujak itu terlihat begitu menggiurkan. Lara jadi ingin merasakannya. Ia melirik sedikit ke arah Imran yang begitu fokus mengemudi. Dalam hati, ia bertanya. Jika dirinya minta dibelikan rujak, Imran mau tidak, ya? 

"Em ... Mas? Bisa berhenti sebentar, enggak? Lara pengin rujak di pinggir jalan itu," pintanya sambil menunjuk ke arah gerobak kecil di pinggir jalan.

Imran mengikuti arah pandang Lara. "Kamu mau? Tapi itu di pinggir jalan. Aku enggak yakin itu higienis. Kita cari di tempat lain, ya?"

Lara menunduk, matanya sudah berkaca-kaca. Benar, kan? Imran mana mau menuruti permintaannya. Padahal, ia hanya perlu berhenti sebentar. Kalaupun Imran tak mau keluar, Lara bisa kok membelinya sendiri.

"Ya, udah. Enggak usah." Ia memalingkan kepalanya ke arah jendela. Setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Ah, apakah semua perempuan yang tengah mengandung sesensitif ini?

Imran yang melihat itu langsung menghentikan laju mobilnya. Ia langsung memutar bahu Lara agar menghadapnya. Tangannya langsung bergerak menyeka air mata sang istri.

"Kok nangis? Oke, oke, aku beliin. Kamu tunggu di sini sebentar, ya?" Setelah itu, Imran langsung buru-buru keluar dari mobil.

Senyum Lara seketika mengembang. Sambil menunggu Imran, Lara memperhatikan sekitar. Jalanan mulai dipadati kendaraan yang berlalulalang. Awan jingga mulai menampakkan keindahannya.

Saat hendak membidik objek di depannya, kening Lara berkerut saat manik matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang aneh. Tak jauh darinya, terlihat beberapa perempuan dan laki-laki baru saja keluar dari sebuah restoran. Yang lebih mengejutkan adalah ada Arini juga di sana. Perempuan itu tampak begitu nyaman saat seorang lelaki cukup tampan merangkul pinggangnya.

"Lara, kamu lihat apa?"

Lara terkesiap. Ia segera menoleh ke arah Imran. Ia hendak memberitahukan hal itu pada suaminya.

"Tadi, aku lihat ...."

Nihil. Tak ada siapa pun di sana. Cepat sekali mereka menghilang, pikirnya.

Imran menautkan kedua alisnya. Lara terlihat seperti orang kebingungan. "Kamu lihat apa, sih?" ulangnya.

"Ah, enggak. Lara cuma kasian tadi ada nenek-nenek ngemis di depan restoran," bohongnya.

Kerutan di dahi Imran semakin terlihat jelas. "Mana? Enggak ada kok."

Lara bingung harus menjawab apa.Sekali lagi, ia berbohong, "Udah pergi."
 

🕊️🕊️🕊️

Debur ombak yang menghantam karang terdengar begitu menenangkan. Siapa pun pasti ingin berlama-lama di sana. Apalagi, ditemani oleh sang Surya yang perlahan menghilang.

Irza menghela napas berat. Irza tahu, jika ia terus berharap selain kepada Allah, maka yang ia dapat hanyalah rasa kecewa yang teramat dalam. Ia juga sadar, bahwa ia belum benar-benar ikhlas melepas Lara. Sebab yang ia tahu, ikhlas adalah merelakan sesuatu yang kita miliki dengan lapang dada tanpa mengharap imbalan apa pun. Sedangkan ia tentu saja masih berharap Lara dapat kembali lagi ke pelukannya.

Kalau dipikir-pikir, memang sejak awal dialah yang salah. Irza belum mampu mengendalikan nafsu dibanding keimanannya. Rasa cintanya yang berlebihan pada Lara, membuatnya berambisi untuk dapat memiliki Lara sepenuhnya.

Luka & Lara (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang