31 - Daffa Rindu Ayah

19.7K 1.6K 160
                                    

🕊️🕊️🕊️

Enam tahun berlalu Lara lewati dengan terus menambah rasa syukurnya pada Allah Subhanahu wata'alla. Daffa, anak itu tumbuh menjadi anak pintar dan menggemaskan. Semakin bertambah usia, wajah Imran seolah semakin nyata melekat pada diri putranya.

Dulu, Lara pikir dirinya tak akan sanggup berdiri sampai detik ini, tanpa kehadiran Imran di sisinya. Ia beranggapan bahwa sebagian hidupnya telah menghilang. Takkan ada lagi harapan untuk dirinya bisa tersenyum ceria. Ternyata, ia salah. Kepergian Imran justru memberinya motivasi untuk hidup lebih baik lagi. Dari laki-laki itulah, Lara memutuskan untuk hijrah. Amat banyak pelajaran yang ia dapat selama membangun rumah tangga dengan Imran. Ia jadi pribadi yang lebih penyabar, apa pun yang Imran lakukan padanya, ia selalu ikhlas dan lapang dada. Ia tak lagi menyalahkan takdir atas setiap musibah yang ia terima. Sebab, ia tahu, Allah SWT takkan memberinya cobaan di luar batas kemampuannya.

Kini, mereka tengah di dalam kamar. Usai mengerjakan PR, Daffa minta ditemani tidur.

"Ibu, usap rambut Daffa," kata anak itu sambil meraih tangan Lara, dan meletakkannya di atas kepala. Ia nampak begitu menikmati setiap usapan lembut dari ibunya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan tiap kali ia hendak tidur.

Tiba-tiba, Daffa bangkit dari pangkuan Lara. Ia bergegas turun dari kasur, kemudian mengambil foto yang terpajang rapi di atas nakas. Lalu, kembali lagi ke pangkuan ibunya.

"Ibu, wajah Daffa mirip enggak sama wajah ayah?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Daffa. Si kecil itu nampak sibuk mengamati foto sang ayah seraya menyamakannya dengan fotonya sendiri yang terdapat di ponsel Lara. Ia terlihat begitu antusias.

"Ibu, Ibu, lihat deh. Kok mata ayah bisa sama kayak punya Daffa, ya?" serunya sambil menepuk-nepuk tangan Lara sambil menunjukkan fotonya.

Rasanya, Lara ingin menangis saja waktu itu. Namun, sebisa mungkin ia tetap tenang sambil menanggapi pertanyaan buah hatinya. "Bukan cuma matanya, tapi hati Daffa juga sama seperti ayah. Daffa anak yang pintar, penurut, terus ganteng lagi. Semua itu menurun dari ayah," tuturnya.

Kali ini, Daffa mendongak. Mengamati setiap inci wajah ibunya. Tangan kecilnya terulur menyentuh bibir Lara. "Tapi, bibir Daffa lebih mirip sama ibu, ya? Coba deh, Bu, lihat."

Lara menunduk sambil tertawa kecil. "Iya juga, ya. Wah, kayaknya Daffa, Ibu, sama ayah kembar deh," serunya membuat Daffa tergelak.

Tiba-tiba, Daffa nyeletuk, "Kalau ayah pulang pasti lebih seru, ya, Bu."

Lara menggigit bibirnya, menahan tangis yang sejak tadi ia tahan. Ia harus bagaimana sekarang? Ia sudah berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi, putranya yang masih lugu itu sepertinya sangat penasaran pada sosok sang ayah.

"Sayang, dengar Ibu. Ayah memang enggak akan kembali ke sisi kita. Tapi, jiwa ayah tetap menyatu dengan hati kita. Kalau suatu saat Daffa rindu sama ayah, Daffa bilang sama Allah, 'Ya Allah, Daffa rindu ayah. Hadirkan ayah dalam mimpi Daffa. Pertemukan Daffa dengan ayah di surga nanti, Ya Allah'. InsyaaAllah, Allah akan kabulkan permintaan Daffa."

Anak kecil itu tidak menyahut sama sekali. Lara pikir, putranya telah tertidur. Ia tersadar ketika punggung tangannya terasa basah. Cepat-cepat ia membangunkan Daffa dan merengkuh tubuh kecil putranya sambil terus mengusap punggung Daffa agar tangisnya reda. Daffa mengulang kata-kata ibunya, "Ya Allah, Daffa rindu ayah. Hadirkan ayah di mimpi Daffa. Pertemukan Daffa dengan ayah di surga nanti, Ya Allah."

 

🕊️🕊️🕊️

Sesekali, laki-laki dengan kacamata hitam itu menguap akibat rasa kantuk yang sejak tadi ia tahan. Dia Irza, hampir setengah jam ia duduk di dekat pos satpam sekolah dasar, bermaksud menjemput Daffa. Padahal, biasanya sekolah itu pulang tepat waktu. Saat ia bertanya pada salah satu guru, rupanya sedang ada pembagian kelompok untuk acara sekolah. Akhirnya, Irza memutuskan untuk menunggu di depan gerbang saja.

Tak lama kemudian, Daffa keluar dari gerbang sekolah dengan ekspresi cemberutnya. Ia berjalan lunglai menghampiri Irza yang menunggunya di depan mobil. Saat sudah dekat, tangisnya pecah. Ia berlari dan memeluk Irza begitu erat. Si kecil itu menangis tersedu-sedu membuat Irza kebingungan.

"Om Irza ...."

"Sssttt ... udah, jangan nangis. Ada yang nakal ya sama Daffa? Siapa? Sini, bilang sama Om," ujar Irza sambil mengusap air mata Daffa. Ia langsung menggendong putra dari sepupunya itu ke dalam mobil.

Ia mendudukkan Daffa di sampingnya. "Sekarang, cerita sama Om. Siapa yang nakalin Daffa?"

Anak itu diam saja sambil sesenggukan, bahkan ia sampai menggigit bibir tipisnya, menahan tangisnya agar cepat reda. Ia takut Lara marah saat melihat dirinya menangis dengan mata sembab. Sebab, ibunya pernah berkata, "Daffa anak pintar, dengar Ibu ya, Sayang. Jadilah anak yang pintar, penurut, dan kuat. Jangan cengeng. Karena suatu saat Daffa harus bisa jadi tameng pelindung untuk Ibu.".

"Daffa enggak apa-apa, Om. Daffa cuma lapar," alibinya.

Irza menautkan alisnya tak percaya. Tak ingin memperpanjang, ia memutuskan untuk segera tancap gas. Ia tak mau membuat Lara khawatir karena putranya belum juga pulang.

Tak sampai setengah jam, mereka tiba di rumah. Benar saja, Lara langsung membuka pintu dan memeluk Daffa. Ia benar-benar khawatir pada putranya.

"Kok lama banget, Za? Kamu telat jemput?" tanya Lara tanpa berani mengangkat kepalanya. Ia selalu canggung tiap kali bertemu Irza. Apalagi, laki-laki itu tiap hari main ke rumahnya untuk sekadar menemani Daffa bermain Play Station.

"Enggak. Waktu aku tanya gurunya, katanya sekolah mau ada acara gitu. Jadi, tadi ada pembagian kelompok. Terus, ada sebagian murid yang diminta untuk tampil," jelas Irza.

Lara mengangguk paham. Ia langsung menggendong Daffa dan mengajak Irza untuk masuk ke rumahnya. Di dalam sana, sudah ada Santoso dan Ayu di meja makan. Perempuan itu mempersilakan Irza untuk makan siang bersama.

Di tengah makan, Santoso tersenyum mendapati cucunya yang makan dengan lahap. "Daffa tadi dapat nilai berapa sekolahnya?" tanyanya perhatian.

Daffa cepat-cepat menelan makanannya, kemudian menyahut, "Dapat seratus, Kakek. Tadi pelajarannya cuma satu. Karena gurunya ada rapat."

"Oh, ya? Rapat apa, Sayang?" timpal Ayu.

"Itu ... emm ... Daffa enggak tau, Nek. Untuk acara sekolah kayaknya," jawab Daffa.

Ayu menanggapinya dengan ber-oh ria. Usai makan siang, Daffa minta ditemani oleh Lara untuk berganti baju. Ia sedikit risih dengan seragamnya, apalagi ditambah peluh yang menetes dari pelipisnya. Saat sudah berganti pakaian, Daffa minta ditemani belajar oleh Irza. Laki-laki itu tentu saja menanggapinya dengan senang hati. Sedangkan Lara sendiri memutuskan untuk istirahat di kamarnya.

Dua jam kemudian, Daffa menyembulkan kepalanya untuk melihat sang ibu yang tengah sibuk membaca. Anak itu berjalan pelan, kemudian mendaratkan bokongnya di samping ibunya.

"Bu," panggilnya sedikit ragu. Raut wajahnya memancarkan kesedihan.

"Eh, Daffa. Kenapa, Sayang?" tanya Lara. Ia meletakkan kembali bukunya di atas nakas, lantas mengusap rambut anaknya dengan sayang.
 
"Tadi di sekolah, Daffa dapat tugas buat tampil di acara Hari Ayah. Daffa disuruh buat cerpen tentang keseharian Daffa sama ayah. Tapi, Bu, Daffa kan enggak pernah main sama ayah. Daffa harus gimana?" curhat Daffa dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Lara tertegun sesaat, ia langsung memeluk Daffa, berusaha menenangkan putranya. "Sssttt ... ingat pesan Ibu, Daffa enggak boleh cengeng, ya. Nanti, Daffa telpon Om Irza, minta bantuan sama dia, ya. Nanti, Ibu ikut bantu juga, kita buat sama-sama," tandasnya.

Tiba-tiba, Daffa teringat sesuatu. Ia segera merogoh kantung celananya, dan menyerahkan sesuatu pada Lara. "Ini surat dari om Irza, Ibu disuruh baca."

   
   
  

"Tatkala dirimu merindukan sosoknya yang tak mungkin dapat kembali, ungkapkanlah melalui doa. Sebab hanya dengan itu, rindumu mampu menembus nabastala dan sampai kepadaNya."

Hanaksara

Gimana nih sama chapter ini?

Luka & Lara (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang