Part 3

121 69 2
                                    

Paginya aku berniat tidak ikut sarapan bareng mereka lagi, aku sedikit takut atas kejadin semalam, untungnya Bi Ami telah menyiapkan satu kotak makan yang berisikan nasi goreng.

Ia menyiapkannya ketika pukul lima subuh tadi, dan sekarang waktu masih menunjukan pukul lima empat lima, yang artinya lima belas menit lagi pukul enam. Masih lama untuk bel masuk.

Dan rumah ini masih terasa sunyi, mungkin saja mereka masih berada dikamarnya, namun ada rasa bahagia saat bibi mengatakan bahwa hari ini Bunda akan ikut ayah, yang artinya aku tidak akan kena marah ketika nanti aku pulang malam sehabis kerja.

Sejenak aku terdiam.

Aku rindu dimana ketika aku pamit untuk berangkat sekolah, selain diberi uang jajan langsung dari ayah atau bunda, biasanya mereka akan mengatakan beberapa nasihat sebelum aku pergi. Seperti tidak boleh pulang sebelum dijemput, jangan jajan sembarangan, jangan nakal dan masih banyak pepatah lainnya.

Dan yang paling aku rindukan adalah ketika aku mencium tangannya, mereka membalas dengan mencium keningku. Dan setelahnya aku pergi bersama dengan abang dan adikku, yang kebetulan abangku telah diperbolehkan mengendarai mobil, dan jangan lupakan adik bontotku yang selalu menjagaku ketika disekolah seperti seorang bodyguard karena memang sekolah kami selalu sama. Indah bukan?

Namun sekarang? Huh.

Sesampainya disekolah yang masih begitu sepi, aku hanya duduk dikelas dengan membaca sedikit materi yang akan dipelajari hari ini, perkataan ayah waktu itu sedikit menyadarkan ku, bahwa aku tidak boleh mengecewakannya lagi, ia telah membiayaiku sekolah dan sekarang aku akan sedikit mengurangi kemalasanku agar bisa mendapatkan nilai yang cukup baik dari kemarin. 

Dan tentang tamparan yang dilayangkan bunda padaku semalam, telah aku obati, kini tinggal rasa perih yang masih berbekas dipipiku. Namun hanya sedikit, ya sedikit, selebihnya tanya saja pada hatiku.

Hingga tak terasa satu persatu murid murid mulai memasuki kawasan sekolah dan juga kelasku, suara bisingpun mulai terdengar, riuh dan juga berisik. Apalagi murid cewek yang begitu asik menggosipkan seseorang entah itu tentang cowok, film dan idola mereka, hanya itu yang aku dengar.

Sedangkan aku?

Aku jarang bergaul dengan mereka, bukan mereka yang menjauhiku, namun aku yang sedikit menjaga jarak dengan mereka, tidak ada yang namanya sahabat, aku tidak pantas menjadi bagian dari mereka apalagi dilingkupi dengan sebutan persahabatan, rasanya aku tidak percaya diri. 

Aku hanya berteman dengan mereka, selayaknya teman yang hanya tahu nama, panggilan dan wajahnya.

Namun bukan berarti aku selalu menolak tawaran mereka, seperti pergi kekantin, perpustakaan, jika mereka menawariku ya aku ikut namun hanya sesekali.

BRAKK

"Woyy, ngelamun lo?" Aku tersentak kaget, sangat, ia muncul tiba tiba didepanku, aku menghel nafas kesal saat tahu siapa dia.

Raka

"Kaget tau gak?" 

"Hehe, sorry Qisha" sahutnya dengan cengiran tanpa dosa, jangan lupakan tangannya membentuk peace.

"Lo sih pagi pagi udah ngelamun, kesambet penunggu sekolah tau rasa lo"

"Pak Jono dong, dia kan penunggu sekolah sini" ujarku dengan wajah yang begitu polos

Raka mendelik mendengar ucapanku "Pak Jono mah satpam kali Sha, maksud gue tuh setannya" Raka mendengus "tapi dia juga bakal kok"

Aku mengerutkan keningku "Bakal apa?" Tanyaku bingung "jadi setan?" Lanjutku namun siapa sangka Raka malah menertawakanku begitu keras seolah ada yang lucu membuat seisi kelas menatapnya cengo.

QISHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang