bagian 1.

26.1K 648 2
                                    

Seira menatap lekat cincin yang kini sudah tersemat di jari manisnya. Perasaannya tak menentu menanti malam pertama dengan seseorang yang baru ia kenal. Seira menunggu di atas ranjang menanti suaminya yang belum juga datang. Padahal acara pernikahan sudah usai 3 jam yang lalu.

Seira mengenakan piyama berwarna peach dengan rambut terurai indah. Wajahnya hanya ia oleskan sedikit pelembab malam dan seulas lipt blam pink di bibir mungilnya. Seira sudah siap apa pun yang akan terjadi. Meski ia sadari jantung nya menari nari tidak bisa dipungkiri. Seira tersenyum sekilas. pertemuannya dengan Ghany 3 minggu yang lalu terbayang di dalam memorinya.

Flashback.

"Kamu yakin nak?"
Ibunya meyakinkan Seira untuk kesekian kalinya.

"Bismillah Bu. Ingsyaa Allah, Seira yakin."

"Syukur kalo begitu. Ayoo, Gany dan keluarganya sudah di ruang tamu."

*

Bu Hanin mengapit Seira berjalan ke ruang tamu. Untuk pertama kali Seira akan melihat langsung bagaimana rupa calon suaminya itu. Jantung Seira berdetak abnormal belum lagi keringat dingin yang membasahi telapak tangannya.

"Maaf menunggu," ucap Bu Hanin setibanya di ruang tamu.

Tanpa di minta Seira menyalami Pak Anton dan Bu Samita satu persatu. Matanya kini beralih pada pria yang duduk di sebelah kiri. perawakannya tinggi, wajahnya manis dan tampak gagah dengan batik coklat yang ia kenakan. Seira memberi salam dari jauh mengapit dua tangannya. Pria itu menatap dan menerima salam Seira hanya dengan seulas senyum datar.

"Cantik sekali. Beruntung Mamah punya calon menantu seperti Nak Seira." ucap Bu Samita dengan berbinar.

Seira hanya tersenyum. Sementara Gany ia nampak murung. Wajahnya begitu datar tanpa ekspresi.

"Bagaimana kalo kita percepat saja pernikahan ini. Gany menurutmu bagaimana?"

Pak Anton memulai berbicara. Lalu menatap Gany yang masih diam membisu.

"Terserah Bapak. Gany tidak masalah."

Pak Anton kembali menatap Bu Hanin dan Seira bergantian meminta Jawaban.

"Saya sih terserah besan. Gimana Nak?" Tanya Bu Hanin menyenggol lengan Seira.

"Eh, iya. Seira juga tidak masalah." Seira menjawab kikuk karena sedikit tidak fokusvmelihat keganjalan pada raut Gany.

"Ya kan lebih cepat lebih baik. Jangan di tunda-tunda kalo niat baik itu." sahut Bu Samita penuh semangat.

Sepulangnya dari pertemuan keluarga kala itu. Gany tidak pernah berinisiatif untuk menghubungi Seira. Untuk menanyakan kabar atau sekedar basa basi.
Meski Ada rasa kecewa di hati Seira, namun ia selalu mencoba berfikir positif. Mungkin Gany terlalu sibuk dengan segudang aktivitasnya kesana kemari. Seira tau, Gany bukan pria leha leha hanya meluangkan waktu dengan percuma.

Seira pernah dengar dari Ibunya kalo Gany bekerja di salah satu perusahaan terbesar di Indonesia sebagai manajer keuangan. Belum lagi bisnis restauran Jepang yang ia kelola sejak dulu. Sudah pasti waktunya tersita hanya untuk pekerjaan.

Syang seribu sayang, moment sakral dan penting dalam hidup Seira untuk pertama kalinya, harus berdiri tanpa sosok Ayah di sampingnya.

Saat ijab qobul berlangsung pun Gany harus berkali kali mengulang karena ia begitu cemas, belum lagi badannya terlihat bergetar menutupi kegugupannya.

Seira tertegun menatap lekat lelaki yang baru saja menjadi suaminya itu. Gany terlihat mengurai air mata. Ia hanya menunduk, tanpa mau melihat kearah Seira.

Trek....

Suara knop pintu terbuka. Gany melangkah masuk mengambil handuk dan baju di dalam koper lalu melenggang ke kamar mandi tanpa suara. Tidak lama Gany keluar lalu menatap Seira dari jauh.

"Sebaiknya kamu tidur, sudah malam."

Gany menghempaskan tubuhnya di atas kursi panjang tanpa memperdulikan Seira yang kebingungan.

Seira tergugu melihat sikap Gany yang begitu dingin dan acuh. Ribuan tanya menggelayut hatinya. Ada apa dengan suaminya itu? Seira mendesah, ia merebahkan badannya berharap ini hanya mimpi.

Seminggu berturut-turut Gany benar-benar tidak menunjukkan perubahan apa pun.
Kecuali saat di luar kamar. Gany seolah suami yang perhatian di depan Ibu dan Adik Seira. Seira meringis melihat fakta yang terjadi.

"Mas mau kemana?" tanya Seira memberanikan dirinya bertanya melihat Gany yang sudah berpakaian dengan jas kantornya.

"Ada kerjaan di Bali selama seminggu.
dan kamu, di sini dulu. setelah itu saya
akan menjemput." tuturnya ketus.

"Jemput?" tanya Seira kurang paham.

Gany mendelik tajam ke arah Seira. Sontak saja Seira langsung menunduk takut.
Tatapan itu selalu membuatnya sakit hati.

"Pindah ke apartemen saya di Jakarta.
Buat apa lama-lama di sini. Pekerjaan saya berlimpah ruah."

Sesaat Gany meraih dompet di saku celananya lalu mengambil lima lembar kertas berwarna merah dan di lemparkannya ke hadapannya Seira.

"Uang buat kebutuhan kamu!" Sentaknya sinis.

Gany pun menepis tangan Seira secara kasar, saat Seira mencoba mencium punggung tangan suaminya.

Seira mengelus dada. Bayangan yang ada di pikirannya selama ini hanyalah semu.

Menatap punggung suaminya hingga pria itu berlalu, Sesaat air mata Seira tumpah tak bisa di bendung lagi.

Seira tak habis pikir kenapa suaminya begitu membencinya dan seolah dirinya adalah kuman untuk di hindari.

Sebenarnya Seira sedikit menaruh curiga sejak pertemuan pertama kala itu.

Gany seolah memberi sinyal bahwa keduanya beda frekuensi. Tidak se arah maupun se jalan.

Dan sekarang. Seira menyadari itu, meskipun terlambat.

Lembaran Kedua (Terbit) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang