bagian.35

5.7K 685 137
                                    

"Cepat ganti bajumu, atau saya akan memecatmu, sekarang!" Bisikku dengan nada peringatan. Lalu menjauhkan jarak di antara kami.

"Jangan mencoba menggoda saya, sedikitpun saya tidak akan pernah tergoda. Ingat itu!"

Aku meraih baju di koper. Sedangkan gadis itu menunduk lalu sesenggukan.

"Maaf!" Sesalnya sebelum melenggang pergi.

Memejamkan mata. Lalu menghempaskan tubuhku kekursi. Kupijat keningku yang terasa berdenyut-denyut. Sakit.

Sedikit lagi aku hampir terjebak, beruntungnya aku bisa menahan diri. Kalau saja bayang-bayang Seira tidak hadir, mungkin aku sudah melampiaskan hasratku padanya. Aku pria normal dan bisa saja melakukan apa yang kumau, sesuka hatiku. Namun aku sadar, akan ada sebuah penyesalan yang mungkin tak akan bisa memaafkan kesalahanku, seumur hidup.

Aku menarik diri, lalu memakai jas yang tersampir di atas kasur. Pikiranku harus benar-benar di buat fokus untuk mempersiapkan presentasi yang akan menguras kinerja otakku.

Kulihat Tari sudah berpakaian rapi. Wajahnya tetap menunduk, mungkin karena aksinya yang gagal dan terkesan memalukan sehingga ia tak berani menatapku secara langsung.

Dua jam berkutat menghadapi klien. Akhirnya berjalan dengan mulus dan lancar. Mr. Patinson cukup merasa puas dengan hasil presentasiku.

Fuh! Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan perasaan lega.

"Sepertinya kita harus bicara, Tari!" Ucapku saat kami berada di mobil.

Gadis itu diam. Tidak merespon ucapanku.

"Ada yang tidak beres denganmu. Saya tau itu," gumamku seraya melirik kilas wajah yang tampak mendung itu. Hampir tiga tahun lamanya dia bekerja denganku, tapi hanya hari ini ia bersikap aneh dan parahnya mencoba menggodaku. Shit!

Aku akui, Tari mempunyai daya tarik tersendiri. wajah yang manis juga tubuhnya yang bagus. Namun keminatanku justru bukan padanya tapi pada seseorang yang membuatku hampir gila karena tingkahnya. Seira, tiba-tiba aku merindukannya, Sedangkan apa dia disana. Aku hampir lupa belum mengabarinya setelah beradu argumen siang tadi.

Kuraih gawaiku lalu men-scroll mencari namanya. Panggilan darinya membuatku tercengang. Buru-buru kuketik pesan padanya..

[Lagi apa? Baru selesai meeting,]

Send.

[Nunggu telepon dari kamu, Mas. Kukira masih marah, 🙁]

Senyum di bibirku akhirnya mengembang.

[Iya marah, karena kamu ngeyel! 😛]

[Mas Gany sakit parah, mana mungkin aku gak liat kesana. Aku gak bisa memutuskan tali silaturahmi yang udah terjalin. Lagian aku kesana sama ibu, kok.]

Alisku berkerut, Jadi pria itu sakit!

[Tapi dia gak macem-macem kan sama kamu?]

[Gak lah! Orang sakit mana bisa macem-macem😏]

[Sekarang dimana? Sudah pulang?]

[Sejak tiga jam lalu juga udah pulang, kan Mas yang minta. 😑]

[Good! Istri yang penurut. 😘]

[Kapan pulang? 😢]

[Minggu depan.]

[Jahat! Gak kangen gitu😤]

[Kangen! Pengen uyel-uyel kamu 😛]

[Cepet pulaaang! 😣]

[Secepatnya! Sudah ya, nanti Mas telepon kalau sudah sampai hotel. Missyou😘]

Kuakhiri pesan singkat dan langsung menyimpan gawaiku ke saku celana. saat mobil yang kami tumpangi telah sampai di salah satu restauran terdekat.

Aku turun lebih awal disusul gadis itu dari belakang. Sebelum kembali ke Bandung, aku harus menyelesaikan perkara tadi yang masih menjadi teka-teki tersendiri. Tari pasti menyimpan sesuatu yang di sembunyikan.

Selesai makan. aku sengaja menahannya untuk tetap duduk. Sesaat kutatap lamat-lamat gadis itu yang terus menunduk, sesekali ia menyeka air matanya dengan pelan.

"Katakan yang sejujurnya. Kenapa berniat menggoda saya secara terang-terangan?"

"Kenapa, Tari?" Tanyaku lagi saat wajahnya semakin menunduk menutupi merah padam di pipinya.

Perlahan ... ia mengangkat wajah sembabnya lalu menatap sendu kearahku.

"Bapak mau tahu kebenarannya?"

Aku mengangguk.

"Karena, saya suka sama Bapak. Puas!"

"Kenapa?" tanyaku datar.

Gadis itu berdecak. Menatap tajam padaku.

"Salah, saya suka sama Bapak? Dengan segala bentuk perhatian yang selama ini saya lebihkan, apa Bapak kurang peka?"

"Jangan menggabungkan pekerjaan dengan masalah pribadi, Tari. Jadi akhirnya, kamu baper sendiri!"

"Iya, saya terlalu baper. Baper karena Bapak pernah mencium saya, dulu!"

"Waktu itu saya khilaf! Bukan berarti saya suka, paham kamu!"

"Bagi saya itu sebuah acuan. Karena Bapak telah berani mencium saya,"

Memutar bola mata.

"Lupakan! Saya sudah menikah. Jangan mengungkit hal sepele yang akan membuat masalah melebar kemana-mana." peringatku lalu bangkit.

"Justru itu alasannya. Apa Bapak gak bisa mencintai saya? Menjadikan saya yang kedua?"

"Gila kamu!"

"Saya memang tergila-gila sama Bapak. Kalau Bapak tau!"

Shit! Aku mengacak rambutku kasar.

"Saya minta maaf atas kekhilafan dulu. Tapi jangan berharap menjadi orang ketiga diantara pernikahan kami, Tari. Saya sedikitpun tidak akan pernah memberi ruang pada siapapun, termasuk kamu!"

"Saya akan urus pengunduran kamu sekarang juga, berbenahlah!" Putusku lalu melenggang pergi.

Katakanlah aku egois dan keterlaluan. Tujuanku satu, aku hanya ingin menyelamatkan pernikahan yang baru saja kugenggam. Aku sudah berjanji untuk memberi hati sepenuhnya untuk seseorang yang mungkin kini tengah menungguku disana.

Setelah perjuanganku yang tak mudah mendapatkanya. Mana mungkin aku harus berbagi dengan orang lain. Aku juga tak akan memberi celah untuk siapapun yang mencoba menggoyahkan singgasana yang baru saja kubangun dengan janji suci.

Terkadang, rusaknya sebuah hubungan karena selalu mengenyampingkan akal dibanding nafsu. Mereka lupa. Ada hati yang harus dijaga ada rindu yang selalu menunggu.

Jangan pelit vote, komentar. Karena jujur..itu yang bikin aku semangat nulis.

Tengkyuuu 😘💕














Lembaran Kedua (Terbit) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang