bagian 2.

13.2K 506 2
                                    

#Lembaran_Kedua
Part 2

Sudah sepuluh hari sejak kepergian Gany. Seira masih di rundung kebimbangan. Ia tak menyangka pernikahannya akan serumit ini. Keluh tanya hatinya masih mengambang belum ada jawaban.

"Seira! Nak Gany sudah pulang." Suara nyaring ibunya membangunkan
Seira dari tidur siangnya.
Ia mengambil hijab di lemari lalu memakainya. Dengan cepat ia berjalan menuruni anak tangga menemui Gany.

Langkah Seira terhenti melihat keakraban yang ditunjukkan Gany pada Ibunya. Semuanya seolah terlihat baik-baik saja. Padahal nyatanya Seira harus memendam jauh kenyataan demi keselamatan pernikahan yang baru seumur jagung.

Menyadari kedatangan Seira, Gany tersenyum manis. Senyuman palsu di dekat ibunya. Mata tajamnya seolah memberi isyarat agar Seira mengerti langkah apa yang harus dilakoni.

"Mas, sejak kapan pulang?" tanya Seira sambil mengecup punggung tangan Gany.

"Setengah jam lalu. Kamu baru bangun, Hem? Sini duduk sama Mas," Gany tersenyum manis sambil menepuk kursi disampingnya.

"Jadi kalian akan pindah ke Jakarta sore ini. Kok Seira gak bilang ibu sebelumnya?" Bu Hanin mengernyit heran.

"Maaf. Seira lupa, Bu."

"Sengaja kita nggak cerita ke Ibu, karena gak mau repotin Ibu. Ibu juga gak usah khawatir, Gany janji bakal jagain dan lindungin Seira pastinya." Timpal Gany meyakini ibunya yang tampak bersedih.

"Syukurlah kalo begitu. Yasudah kita makan dulu sebelum berangkat. Ibu sudah memasak banyak hari ini." Bu Hanin bergegas ke dalam sedangkan Seira dan Gany mengekor dari belakang.

Setelah selesai makan. Seira kembali ke kamarnya. Ia memastikan kembali barang penting yang takut tertinggal.
Sejak kemarin sore, Seira sudah mengemasi baju dan barang di kopernya. Jadi saat suaminya datang ia tidak perlu menunggu lama lagi.

Seira yang sedang memakai hijab instan, melonjak kaget dengan kedatangan Gany yang kini dihadapannya. Gany menatap Seira datar lalu memalingkan wajahnya ke jendela.

"Terima kasih untuk Kolaborasinya selama ini." tuturnya dingin tanpa perasaan.

Seira menghela nafas panjang. Ada rasa nyeri di ulu hatinya. Seira ingin sekali meluapkan tetek bengek berbagai macam tanya hatinya. Namun Seira sadar, ini tidak tepat. Ibunya pasti akan mendengar dan itu akan menjadi bumerang di awal pernikahannya.

Dengan sigap Gany mengambil koper keluar meninggalkan Seira seorang diri.

Seira mengusap dada mencoba menahan emosi sebisa mungkin.

Sesampainya di bawah. Seira memeluk erat tubuh Ibunya. Ia tumpahkan segala kesedihan lewat air mata yang mengalir deras di pipinya.

"Sudah jangan nangis kaya anak kecil. Semua istri begini, harus manut sama suami. Ingat pesan Ibu, kan?"

Seira mengangguk. Ya, Seira harus menjadi wanita yang mandiri, patuh dan bakti sama suami. Itulah sedikit nasihat ibunya.

"Hati-hati di jalan. Ibu lain waktu sama Syifa nanti ke sana jengukin kamu,"

Seira mencoba tersenyum.

"Seira tunggu ya, Bu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

**

Sesampainya di apartemen. Suasana terasa asing dan dingin. Gany seolah hanyut dengan kesendiriannya. Merasa di abaikan seira menghampiri Gany yang sedang berselonjor di kursi.

"Mas?"

"Hmm!" ucapnya terdengar datar.

"Sebenarnya apa salah saya,sampe Mas bersikap acuh dan dingin seperti ini?"
Seira mencoba setenang mungkin agar air matanya tidak roboh.

"Kamu mau tau, heh! Karena saya tidak sedikitpun mencintai kamu. Jadi jangan berharap lebih!"

Benar saja teka teki Seira selama ini terjawab sudah. Bibir seira terasa kelu menahan buncahan air mata yang sedari tadi ia tahan untuk tidak keluar di hadapan pria itu.

"Lalu apa arti pernikahan ini?"

"Pernikahan yang terpaksa."

"Nasib rumah tangga kita?"

"Jalani dulu untuk sementara. Saya butuh waktu untuk memikirkan ke depannya seperti apa,"

"dan saya, semakin tersiksa?"

"Saya tidak pernah menyiksa kamu!"

"Menyiksa batin saya dengan sikap dingin Mas," Suara Seira sedikit bergetar.

Gany menghela napas panjang.

"Sa_saya minta maaf atas sikap saya. Saya harap kamu mengerti. Ini tidak mudah buat saya, juga buat kamu. Saya mohon untuk sementara ini bertahanlah."

Seira masih membeku. isak tangis meluncur bebas di pelupuk matanya. Seira menahan dadanya yang terasa nyeri. Ia mencoba menetralkan emosi dan menyelami kenyataan ini dengan bijak dan lapang hati.

"Saya minta satu permintaan?"

"Katakan saja." jawab Gany.

"Kita bisa jadi teman, kan?"

Seira mengigit bibir bawahnya menahan gejolak air mata yang akan kembali turun. Seketika wajah Gany menegang,

"Oke. Tidak masalah." Gany menjawab lalu berlalu.

Hari berturut-turut telah berlalu, kini Gany sudah mulai bersikap baik pada Seira.
Ia tidak pernah menolak ketika Seira menyiapkan baju kerja, sarapan dan keperluan lainnya. Meskipun tidak ada sentuhan fisik di antara mereka, tapi setidaknya membuat Seira sedikit bahagia bisa diterima.

Meskipun jauh di relung hatinya, Seira masih berharap secercah harapan pada perubahan ini. Bahwa cinta itu hadir karena terbiasa bersama seiring berjalannya waktu.

Pertemuan mereka pun hanya di waktu malam dan pagi hari saja. Tak jarang Gany selalu pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan.

Sepanjang hari, Seira menghabiskan waktu luangnya untuk menulis novel di aplikasi orange, untuk sekedar menyalurkan hobi barunya. Atau sekedar membaca cerita yang selalu menghibur dirinya di tengah kesepian melanda.

Seira tau dan paham betul, Gany bersikap seperti itu, karena ingin menjaga jarak.

Ting tong....

Suara bel berbunyi beberapa kali. Seira yang baru menyelesaikan sholat ashar, dengan langkah cepat membuka pintu apartemen.

Seorang pria dengan perawakan tinggi, berkulit putih dengan jas tuxedo biru berdiri tanpa expresi.

Sesaat, Seira menatap bingung pria di hadapannya itu. Baru kali ini ada pria yang bertamu saat suaminya tengah bekerja.

"Maaf. Siapa ya?" Seira mencoba bertanya, karena tidak nyaman saat mata elang itu menatapnya ... Entahlah.

"Pak Gany, ada?"

Lembaran Kedua (Terbit) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang