Sesuatu Yang Tidak Bisa Ditunda Lagi

192 21 1
                                    

Bulan yang bernaung di cakrawala, tampak bersinar benderang. Sesekali ia melipir dan bersembunyi dibalik awan yang berlalu-lalang, ia malu memperlihatkan keagungan.

Malam yang kini sedikit redup bersama rintik air hujan, membuat bintang terlihat cantik di cakrawala—menerangkan dan memperindah semesta. Sementara angin berhembus kencang menabrak segala penjuru, membuat atmosfer seantero bumi dingin.

Di sepertiganya malam, Rosie terbangun. Ia menggigil kedinginan. Bermaksud menggambil jaket yang berada di tas-nya, ia diam melihat pria aneh itu yang berada disebelahnya.

Sedang apa dia? Gumamnya. Raka yang berada disebelahnya, seperti sedang menulis.

"Eh udah bangun?" Kata Raka

"Terbangun," sindir Rosie

"Oh," kata Raka yang tampak sama sekali tidak tersindir. "Mbak mau lihat puisi saya kaga?"

Sebenernya Rosie enggan menerima tawaran itu, namun Raka sudah memperlihatkan tulisannya di depan mukanya. Tanpa disengaja, ia sudah membacanya dalam hati.

hujan turun dengan kenang
meluap—membuat genang kerinduan
rintiknya menguak luka, menari-nari dalam kisah lama.
hujan bertanya; aku bilang kamu

di jendela—seluruh kaca, dengan embun yang menyelimuti nya, telunjuk mengukir nama.
embun bertanya; aku bilang kamu

bukan aku. aku bilang kamu; kamu

hujan turun dengan duka. hujan bertanya;
aku bilang, aku.

tidak ada nama di jendela, hanya duka yang ada.
duka bertanya; aku bilang, aku.

bukan kamu. aku bilang; aku

"Kamu seperti anak TK" Kata Rosie, setelah membaca tulisannya.

"Kok?" Raka kebingungan apa maksud dari Rosie sebenarnya, "kenapa?"

"Coba saja kamu lihat sendiri" jawab Rosie ketus

Raka kembali melihat tulisannya. Beberapa detik ia mulai membaca dari kalimat atas, sampai bawah. Ia berpikir, apanya yang aneh? Kenapa anak TK. Raka masih tidak sadar dengan tulisannya. Seperti dokter yang sudah tua renta—latin, entah ia malas menulis atau memang begitu tulisannya. Setiap tulisan awal Rosie tahu itu huruf apa, tetapi setelah huruf pertama. Semuanya sejajar dan hanya ada lengkungan seperti jalan rusak. Sama sekali tidak terbaca.

Alih-alih menganti topik, "Apa itu?" Kata Rosie yang tersadar, bahwa tulisannya ini tidak terbaca. Nanti Raka akan membacakan di depannya.

"Ini? Buku." Kata Raka, yang langsung mengambil tumpukan buku dan seperti biasa dihadapkan kemukanya.

Tangan Rosie menggeser buku yang ada di hadapannya, "Kamu bisa kaga sih, jangan begini. Memangnya aku buta."

"Kamu kan pakai kacamata," kata Raka yang tersadar, di balik lensanya ada cahaya hijau yang menunjukkan bahwa matanya— kurang jelas pengelihatannya—Min. "Kamu kurang jelas kan melihatnya?"

"Tolong ya, tolong. Aku ini kurang jelas melihatnya, sama seperti mu. Aku kaga buta. Sekali lagi seperti itu, awas" kata Rosie sambil menunjukan sebuah kepalan tangan di hadapan muka Raka.

Walapun Min-matanya, beberapa sentimeter pun terlihat. Tetapi orang ini, seolah-olah berpikir. aku sama sekali tidak bisa melihat jelas dan mataku buta. Kini hatinya seperti bahtera kapal yang terombang-ambing di tengah lautan, layar-layar nya robek, mesinnya mati, ia tidak tahu harus berbuat apa. Sedang ditengah lautan tidak ada siapa-siapa, kecuali dia dan makhluk aneh yang berada disebelahnya.

Rosie lebih memilih diam. Memilih mati tenggelam, lalu menghanyutkan dirinya ke dasar samudera.

Raka berpikir, kenapa dia diam. Kini ia yang tenggelam bersama lautan pertanyaan. Mencari sebuah kunci jawaban, kenapa-dia-diam. Beberapa menit, tiada percakapan. Mereka berdua membisu dengan sendirinya. Dengan tiba-tiba

"Oh ini!" Teriak Raka yang mulai menyadari, bahwa Rosie bertanya kepada sesuatu yang berada didekat buku. Sedang beberapa orang yang berada disekitarnya terbangun, kaget ada suara teriakan. "Ini foto-foto penyair yang saya sukai. Sengaja saya menyimpan, ia sangat berpengaruh bagi saya." Sambil menunjuk sebuah album foto

Rosie sendiri sudah mati, dengan makhluk aneh ini. Ia diam, ia tidak tahu lagi harus apa, bagaimana, biar pria yang berada disebelahnya mati seketika. Tuhan kau tidak menjawab doaku (doanya yang ingin kereta datang dengan tiba-tiba) gumam Rosie

Lagi-lagi Rosie dibuat tertarik olehnya. P-e-n-y-a-i-r?, Gumamnya bertanya. Ia mengernyitkan dahi, tidak paham.

"Penyair, penulis." Kata Raka

Sontak Rosie teringat sesuatu. Ia diam sejenak. Kalau tidak salah—seingatnya, seseorang di masa lalunya juga menyukai hal yang berbau sastra. Terutama puisi. Di dinding kamarnya penuh dengan coretan-coretan, penuh gambar-gambar abstrak, penuh foto-foto penulis, bahkan seorang di masa lalunya pernah bilang; keyakinannya bernama sastra.

Pria ini mengingatkan Rosie kepada masa lalunya. Sekarang dia bukanlah bahtera yang terombang-ambing ditengah lautan. Melainkan, menjadi air di lautan. Hanya bertugas kemana ia pergi dengan angin laut, dimana dia diam dan menyepi di tepi pantai, dimana dia diam tanpa tujuan.

"Ini hugo," katanya sambil menunjuk sebuah foto. "Penyair berasal dari indonesia, darahnya campur belanda. Dia adalah penyair kurang terkenal, tidak banyak yang tahu. Ia mulai mengarang sejak umur empat belas tahun—semenjak di sekolah menengahnya."Rosie hanya menatapnya enggan, sama sekali ingin tidak tahu. Sedang Raka terus berbicara. "Riwayat hidupnya kurang banyak ada yang mengetahui, tetapi seseorang temannya, mengutip pembicaraannya—sewaktu teman dan Hugo sedang bercengkrama. Bahwa dia menulis untuk Senjani. Senjani sendiri juga tidak banyak orang yang tahu. Cuma katanya, senjani ini adalah pacarnya. Namun hugo pernah meninggalkannya. Penyesalan dan kesedihannya digubah dengan puisi." Rosie terdiam saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Raka

Penyair satu ini seperti masa lalunya yang pergi begitu saja. Sampai kini ia masih bertanya-tanya, kenapa-dia-pergi-begitu saja. Sampai kini pertanyaan nya, yang membuatnya selalu di peluk nestapa.

Raka masih terus berbicara tentang penyair menunjukkan satu persatu. Mulai dari Victor Hugo, Arthur Rimbaud. Dan banyak penyair yang lain-lainnya. Ia berbicara panjang kali lebar. Sedang Rosie hanya bisa diam, saat Raka berbicara membuat nya teringat kepada masa lalu nya.

Hampir dua belas menit Raka nyerocos—berbicara terus menerus, Rosie hanya menatapnya tanpa minat—ingin di udahkan. Namun pria ia masih bersikeras, karena hampir selesai katanya.

"Nah yang terakhir ini, namanya Blaise cendrars. Penyair Perancis berasal dari Swiss. Ia dapat dikatakan: hasil dari perpaduan jurnalistik dan kesusastraan." Kata Raka, yang sedari tadi masih asyik menjelaskan. "Puisinya adalah hasil dari gerak dan bukan renungan yang positif. Terkadang menulis romantis, kisah perjalanan, dan selalu tentang sepi. Dia selalu sepi semenjak ditinggalkan kekasihnya sampai-sampai ia mendapat gelar, manusia yang paling sepi di dunia"

Sepi? Seperti aku. Lagi-lagi ucapan Raka membuat Rosie kembali ke dalam perenungan. Kembali kedalam sebuah ingatan yang menyakitkan. Suara ban kereta yang menimbulkan bunyi dari perpindahan jalur, seperti suara gelak tawa seseorang di masa lalunya. Malam ini rintik duka turun, embunya menyelimuti hati. Membuat air mata hinggap dipeluk mata. Menyedihkan begini aku?

Rosie menatap pria di sampingnya yang sudah sibuk dengan dunianya sendiri, lalu menghembuskan napas berat. ternyata Rosie benar-benar sial, kenapa bisa satu tour bersama pria aneh yang tidak jelas sekaligus berisik ini. Dan juga menyukai sastra. Yang traktir inilah  yang teramat sangat tidak disukai. Sebenarnya Rosie tidak menyukai semua hal tentang sastra apapun, termasuk ide untuk duduk di kereta ini menuju kesana. Namun ada sesuatu yang membuatnya harus pergi dan menyingkirkan perihal suka atau tidaknya.

Sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi

RosieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang