Perjanjian

135 17 1
                                    

Matahari kembali bersinar, hari berganti baru. Segala mimpi yang masih membekas di pelupuk malam, telah hinggap di fajar. Sebuah rasa masih menutupi, sebuah cinta masih tertinggal di mimpi. Hitam begitu pekat, menelisik misteri tergelap.

Raka menatap Rosie lekat-lekat, Rosie bergeming dengan mata terpejam. Setelah yakin wanita itu tidak sedang berakting, Raka menyandarkan punggung dan menghela napas. Ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa untuk membunuh waktu. Buku nya yang baru telah rusak, dan orang yang bertanggung jawab atas kerusakan itu sudah lelap pulas.

Raka melirik ke jam tangan. Baru tiga jam berlalu semenjak kereta berangkat dari stasiun, dan itu berarti masih ada empat jam perjalanan lagi. Tidak bisa tidur karena masih terlalu bersemangat.

Walaupun sudah pernah ke Jogja, Raka masih saja terpesona. Setiap menonton video promosi Jogja, ia selalu ada keinginan untuk kembali kesana. Jogjakarta benar-benar sebuah kota yang sangat magis baginya, berada di kota itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dan juga yang membuatnya semakin terlena, sampai jatuh cinta kepada Jogja. Adalah seorang wanita—Aiska syahwa tusalwa. membuatnya semakin terisap kedalam manggisnya kota itu.

Aiska, wanita Yogyakarta berusia dua puluh tahun, seorang pemimpin tour di Jogja ini. Raka bertemu dengannya setahun lalu dalam tour yang sama. Ialah yang menjadi alasan utama Raka berada di kereta ini. Wanita ini diyakini sebagai Bidadari dari surga nya sang illahi, seperti dalam bait-bait puisi Hugo yang akan membuat hidupnya berakhir bahagia selamanya.

Raka membuka dompet, lalu mengeluarkan sebuah foto polaroid yang terselip di sana. Fotonya bersama Aiska yang diambil setahun lalu di Malioboro ketika malam. Malioboro ketika malam sangat indah, ramainya orang yang berlalu-lalang, gemerlap lampu yang menerangi seperti kunang-kunang, kota ini terlihat indah. Mengingat momen indah itu, Raka tersenyum malu dan terharu sampai tak bisa berkata-kata.

Raka masih senyam-senyum sendiri, saat tak sengaja melirik ke arah Rosie yang menatapnya sinis. Rupanya wanita ini sudah bangun lagi. Rosie mengambil botol mineral yang berada disamping tas-nya, sedang Raka diam saat menyadari dirinya bodoh sedari tadi.

"Pagi.." Kata Raka sedikit canggung

Rosie enggan menjawab, ia membuka tutup botol lalu meneguk isinya tanpa banyak bicara. Setelah meminum, Rosie melirik pada sebuah foto polaroid. Lalu Raka cepat mengembalikannya ke dalam dompet.

"Udah bangun lagi?" Kata Raka

"Belom.." Jawab Rosie sedikit ketus, "Yah, kalo belom bangun. Saya masih tidur."

Raka bergeming polos, tidak mengerti. Selain aneh, cara berpikir Raka memang lamban. Didalam kepalanya—gir dalam otaknya bergerak sangat pelan, entah karatan atau apa. Lamban nya seperti kura-kura berjalan.

Raka kembali mengeluarkan foto polaroid nya, "Cantik kaga mbak?." Ia menyodorkan foto tadi.

Rosie menerima foto itu, lalu memperhatikan wanita yang berada di sebelah Raka. Wanita ini memang cantik—rambut panjang hitam lekat, tembem, dan gingsul yang terlihat di senyumannya.

Rosie mengembalikan foto itu, "kayak kuntilanak."

Mata Raka membelalak, mulutnya terbuka—tidak percaya dengan komentar Rosie yang baru saja di ucapkan. Raka membuang muka, membantingkan badannya, dan hanya diam. Sedang Rosie juga tidak percaya—tingkah lakunya kekanak-kanakan.

Rosie bergeming. Dadanya membusung kedepan, matanya terpejam, mulutnya sibuk membaca mantra. Rosie sampai bertanya-tanya, dosa apa yang pernah ia—atau nenek moyangnya—lakukan hingga harus mendapatkan pasangan tour yang aneh ini.

"Hm.. sorry" kata Rosie. Sebenarnya ia enggan untuk mengatakan maaf, cuman rasa tak enak hati jauh lebih tinggi daripada ego nya.

Raka menoleh dengan cepat, "jadi cantik kan?" Muka nya sudah kembali ceria

RosieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang