Sayla [11]

3.8K 673 121
                                    

"Baju ini untuk aku?"

Sayla mengambil kain yang disebut gamis cantik dan manis oleh Putra Pelindung. Bahannya katun jepang yang tipis sekali. Warnanya tidak masalah, seperti koleksi Sayla dalam lemari. Putih susu hampir tampak seperti cream. Namun, bukan warna yang membuat Sayla kernyitkan kening, tapi bunga-bunga yang tersebar di seluruh kain dan bahannya. Sayla ingin membakar baju yang sedang dipegangnya itu segera.

"Seperti serbet ini bagus?" celanya tak tanggung-tanggung. "Tipis, kasar, norak." Suara Sayla meninggi beberapa oktaf pada kata terakhir. "Selera kamu memang murahan seperti baju murah ini."

Senyuman di bibir Putra Pelindung yang sejak datang terukir lebar sebab membawakan sesuatu yang spesial kini luntur tak berbekas. Bahu kokoh satpam itu melemas bak lilin cair.

"Kalau mau beli sesuatu itu dipikir dulu! Jangan asal beli! Kamu bisa tanya aku apa yang bisa kamu kasih kalau memang sedang ada uang. Gini namanya buang-buang uang. Dan duit yang kamu kasih ke penjual kain jelek ini bisa untuk kamu makan siang di warung."

"Kakak kira kamu suka baju ini karena waktu dipakai patung terlihat bagus banget. Patung yang kaku aja manis pake baju ini, apalagi kamu."

Sayla memijat dua pelipisnya. "Patung itu nggak punya otak. Mereka nggak bisa menilai nyaman atau enggak pakaian yang dipasangkan."

Putra tertawa kecil. "Ya maaf, Dek. Kakak nggak tahu. Kakak nggak sampai mikir nyaman tidaknya. Kakak hanya lihat bentuknya."

"Kamu lihat bentuknya? Lihatnya pakai mata atau tidak? Lihat ini kainnya menerawang. Dan ... kalau kamu periksa, lebih bagus bahan taplak meja makan di rumah ini."

"Terus mau diapakan baju ini?" tanya Putra dengan wajah polos sekali.

Ya Tuhan! Lelaki itu selalu bisa menaikkan tensi darah Sayla.

"Bakar."

"DEK! Jangan kejam-kejam dong sama baju. Penjahitnya sudah capek bikin."

Sayla melemparkan gamis itu ke wajah Putra. "Terserah mau kamu diapakan. Kamu buang atau pakai juga boleh. Cocok di kamu."

Putra Pelindung Buana tertawa sambil menjauhkan baju baru itu dari mukanya. Setelah Sayla menjauh, matanya berkaca-kaca.

Bagi gue, harga segini sudah mahal.

***

Hari berganti bulan pun begitu. Setiap hari yang dilalui Sayla penuh kekesalan. Semakin lama ia jenuh dengan kesehariannya. Tak pernah lagi Sayla tersenyum senang ketika menyambut pagi. Bahkan dahulu ketika hamil, ia masih bersemangat menunggu hari baru datang.

Suatu kali Sayla hendak tidur di kamar sebelah. Putra mendapatkan shift sore kala itu, yaitu pukul tiga sore sampai sebelas malam. Pukul dua belas biasanya Putra baru sampai rumah. Mengantisipasi pertemuan dengan sang satpam, Sayla mendekam di kamar dan mencoba untuk tidur sejak usai Isya.

Dia sudah nyenyak ketika pintu diketuk-ketuk. Sayla tahu itu pasti Putra. Tidak mungkin dia membukakannya. Putra semakin gencar hingga nyaris merobohkan penghalang ruangan tersebut. Mata Sayla jadi segar-sesegarnya.

Bersungut-sungut, dia memutar kunci dan menemukan Putra dengan mata memerah. Tampak urat-urat pada leher lelaki muda itu. Sayla mencoba berani dengan perlihatkan wajah garang.

"Kita sepakat." Putra berkata tegas.

"Sepakat apa? Itu hanya dari kamu. Aku tidak mau mengikuti lagi. Aku nggak mau tidur dengan kamu. Tidak suka."

Putra merangsek maju. Dia berbalik kemudian menutup pintu.

"Kalau begitu, berikan hakku sebagai suami sekarang."

Sayla (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang