DELAPAN - TAJAM

51.1K 9.6K 1K
                                    

Sudah hari ketiga, Gen bernaung di bawah langit kota Jogjakarta. Di pagi hari yang berawan ini, Gen mengayuh sepeda ontelnya dari rumah ke keraton. Sejak pagi buta, ayah, ibu dan kakaknya sudah berangkat mengerjakan tugas mereka masing-masing meninggalkan Gen yang masih mengantarkan rantang pada si Maharaja Pram. Ibunya memberikan pesan pada Gen bahwa ia tidak boleh datang ke keraton melebihi jam tujuh pagi. Pada akhirnya, Gen harus memaksakan dirinya yang mana adalah spesies nokturnal menjadi manusia pagi yang cerah. Gen semakin sehat saja rasanya di Jogjakarta ini. Ke mana-mana pakainya sepeda. Pagi dan sore harus menunaikan pekerjaannya sebagai gojek pribadi Maharaja Pram dan siangnya membantu ibunya di keraton.

Mata Gen mendapati Pram yang juga mengayuh sepedanya dengan santai memasuki pelataran keraton. Pram menepikan sepedanya di tempat khusus untuk sepeda para abdi dalem. Tidak lama setelah Pram menepikan sepedanya, Gen juga melakukan hal yang sama. Sepeda keduanya saling berdampingan satu sama lain. Sebenarnya Gen malas sekali kalau harus bertemu si Maharaja Pram di pagi yang cerah ini. Mana tambah dingin saja manusia satu ini padanya.

"Pagi, Pak," sapa Gentala sambil memaksakan senyumannya.

Pram yang memakai blangkonnya hanya tersenyum singkat sambil menjawab, "Pagi."

Setelah berkata demikian, Pram langsung hengkang begitu saja tanpa ingin berbasa-basi lebih lama lagi dengan Gen. Gen menolehkan kepalanya menatap punggung Pram dengan perasaan dongkol luar biasa. Jaga jarak terus saja! Bila perlu pakai garis khatulistiwa saja untuk membatasi keduanya. Tanpa disengaja, mata Gen menangkap noda kecil di kain jarik Pram yang melingkari tubuh bawahnya. Gen menyipitkan matanya dan mendapati noda itu berwarna kecokelatan seperti darah kering.

Gen langsung bergerak menyusul Pram berusaha memastikan penglihatannya. Ia menunduk sedikit agar wajahnya sejajar dengan bokong Pram sambil berusaha meneliti lebih dalam lagi. Tanpa sadar, Gen menggerakkan tangannya berniat ingin menyentuh noda itu. Pram sendiri juga tidak menyadari jika langkahnya diikuti sedemikian rupa.

"GUSTI, LESTARI!" seru seorang abdi dalem estri yang syok melihat tingkah Gen yang terlihat seperti penjahat kelamin.

Mendengar suara melengking itu, Gen menolehkan kepalanya kaget ke arah sumber suara, begitu juga dengan Pram. Kemudian Gen tersadar dengan posisinya yang ambigu itu. Ia langsung mendongak ke arah Pram dan mendapati pria itu menatapnya dengan tatapan syok. Keduanya saling menatap satu sama lain dengan perasaan canggung luar biasa sampai Gen kembali menegakkan tubuhnya, karena salah tingkah.

"Kamu... ngapain?" tanya Pram masih belum bisa tersadar dari perasaan syoknya.

"Kamu apain, Raden Mas Pram?" seorang abdi dalem estri paruh baya yang diketahui bernama Ika itu menatap Gen dengan tatapan syoknya.

"Saya bisa jelaskan..." jelas Gen dengan wajahnya yang merah padam.

"Saya nggak ada... sumpah Pak, saya benar-benar... Tadi ada noda di situ," tunjuk Gen ke arah batik Pram karena salah tingkah.

Refleks Pram menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati memang ada noda kecil di batiknya. Ia berdeham pelan berusaha menyamarkan perasaan malunya karena noda itu membuatnya terlihat seperti tembus. Mbak Ika yang melihat hal tersebut juga ikutan panik dan langsung berkata, "Saya ambilkan kain yang baru ya Raden. Raden tunggu saya di bangsal karawitan saja."

Sebelum Pram sempat menolak, abdi dalem itu sudah menjauh terlebih dahulu, meninggalkan keduanya dalam suasana canggung luar biasa. Gen mengusap tengkuknya bingung harus mengatakan apa, sedangkan Pram tetap berusaha tenang, padahal dia malunya sudah hingga ke dasar bumi.

"Kaki dan punggung Bapak sudah mendingan?" tanya Gen berusaha membuka topik.

Pram menatap Gen, namun wanita itu tidak menatapnya sama sekali. "Sudah lebih baik setelah dipijat kemarin."

"Baguslah, Pak" jawab Gen lagi.

Suasana di antara mereka semakin canggung saja dan Pram dari tadi bahkan tidak sudi melihatnya sedikit pun. Keduanya berjalan berdampingan dalam keadaan hening dan hal ini menyiksa Gen secara perlahan. Sumpah demi apa pun, ia lebih baik menggarap ratusan skripsi daripada harus terlibat dengan Pram dalam keadaan secanggung dan sejahanam ini.

"Bapak kapan ke Jogjakarta?" tanya Gen menjunjung sopan santunnya.

"Kemarin lusa," jawab Pram singkat.

"Bapak ke sini ngapain?"

"Liburan."

Bapak kapan mati? Pertanyaan yang terus berputar dalam benak Gen saking kesalnya, karena dijawab singkat-singkat seperti itu.

"Bapak suka makanan ibu?"

"Suka," jawab Pram lagi acuh tak acuh tanpa ada keinginan untuk menatap Gen.

BaPak kApaN MaTi? Gen menghela nafas lembut. Tidak boleh, harus menjunjung etika setinggi mungkin.

"Noda itu dari mana, Pak?"

Pram melirik Gen sekilas kemudian menjawab, "Luntur, paling."

"Bapak kapan mati? Eh..." Gen langsung tersadar dari perkataannya yang kasar nan tajam itu. Ia menatap Pram dan mendapati pria itu tidak berhenti berjalan atau pun menengok ke arahnya. Gen langsung menghela nafas lega, untung saja Pram tidak mendengarnya sedikit pun. Bisa-bisa ia dicincang habis-habisan oleh pria itu.

Gen berdeham lagi. "Bapak udah baik-baik saja?" Pertanyaan yang sama diulang lagi, sebab ide untuk mengajak Pram berbincang sudah lenyap, hilang di Pantai Selatan.

"Masih sedikit sakit."

"Pak, saya minta maaf," ucap Gen lagi.

Pram menolehkan kepalanya sambil menatap Gen bingung. Gen mengusap tengkuknya canggung kemudian berkata lagi, "Karena saya sudah bikin Bapak jatuh, mempermalukan Bapak, bikin Bapak lebam-lebam..."

"Dan menanyakan kapan saya mati," lanjut Pram lagi dengan nada tenangnya. "Nggak apa-apa. Saya sudah biasa digituin."

Dan begitulah Gentaladibabat habis oleh Pram dengan kata kata tajam nan tenangnya.

TBC...

Terima kasih sudah tetap setia dengam cerita ini. Kalian yang terbaik!!

RENJANA⚜ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang