seperti menggenggam takdir di tanganmu.
seperti apa rasanya?
mungkin, aku akan takut memejamkan mata, takut genggamanku terbuka, dan tiba-tiba saja ia tak lagi di sana.
aku akan membacanya hingga habis usia, dan memastikan semua baik-baik saja.
dan, mungkin aku akan terkapar kelelahan membelokkannya ke arah yang tak ada sela.seperti menggenggam takdir di tanganmu, seperti apa rasanya?
mungkin, semua tak harus baik-baik saja-meski kau ingin semua baik-baik saja.
seperti menggenggam takdir di tanganmu.
itulah kita.
bukan karena tak yakin genggaman tak akan erat.
hanya saja, takdir, ah ia, aku pikir, aku tak kuasa menggenggamnya.***
KAU tahu, laki-lakiku berselingkuh. Dengan seorang perempuan yang tak pernah kehilangan tawa. Dalam setiap fotonya. Dia seperti menertawakan aku-dan, aku semakin benci melihat foto itu. Namun, kau tahu, ketika kau membenci sesuatu, semakin ingin kau mencari tahu tentang hal itu. Dan, aku, tahu terlalu banyak tentang perempuan itu.
Dia harus tahu tentang hubunganku dan laki-lakiku. Sudah sembilan tahun waktu kami lewati bersama. Lebih dari satu windu. Dan, dia, dia baru mengenal laki-lakiku, bahkan dalam hitungan hari. Enam puluh hari. Waktu yang terlalu singkat untuk membuat kau jatuh cinta.
Bahkan, aku dan laki-lakiku benar-benar jatuh cinta baru pada tahun keempat kebersamaan kami. Baru pada tahun kelima kami benar-benar mengikrarkan diri untuk saling menjaga, dalam suka dan duka. Apa pun yang terjadi. Kami sudah ditakdirkan sang waktu untuk bersama.
Lalu, tiba-tiba saja, perempuan dengan tawa di wajahnya itu muncul, seakan-akan menawarkan kebahagiaan kepada laki-lakiku. Sementara, aku telah punya berkarung-karung bahagia di sudut kamarku, yang tak habis-habis kuberikan kepada laki-laki itu.
Waktu. Mungkin dia memang tidak memihak kepadaku. Jarak. Dia juga seakan-akan tidak bersedia kami tebas. Jadilah, aku dan laki-lakiku tidak bisa selalu bersama. Namun, kau tahu, ketika kau percaya cinta, waktu dan jarak nisbi. Dan, aku sudah membuktikan hal itu bersama laki-lakiku selama lima tahun. Bukan waktu yang sedikit, bukan? Tak bisa diperbandingkan dengan enam puluh hari yang masih bisa kau hitung dengan jari.
Kau percaya mimpi? Aku dan laki-lakiku percaya. Kami sering diberi tanda-tanda dari bunga tidur kami. Tanda-tanda yang semakin mengeratkan cinta kami.
Suatu ketika, aku mendapat mimpi buruk, tentang air sungai di belakang rumah orangtua laki-lakiku. Air sungai itu tidak mengalir ke hilir, malah ke hulu, lalu melanda rumahnya. Aku menceritakannya kepada laki-lakiku, dan aku menjadi sangat khawatir pada hari itu.
Kau tahu, tentu saja, laki-lakiku itu tak ingin membuatku khawatir. Ia bilang itu cuma karena aku sedang banyak pikiran, dan juga karena kami jauh. Namun, esoknya, sesuatu yang buruk memang terjadi. Laki-lakiku jatuh dari motor, dapat luka jahitan di pelipisnya.
Hanya luka ringan, kata laki-lakiku tidak ingin aku khawatir dan segera terbang ke tempatnya. Namun, sejak itu, aku tak lagi mengabaikan mimpi. Meski dia tak pernah bilang, aku tahu, laki-lakiku juga berpendapat sama.
Aku dan laki-lakiku, bahkan, telah berjanji akan selalu bersama. Apa pun konsekuensinya. Janji sakral yang tak bisa kau ingkari begitu saja. Kami pun sudah terikat dalam firasat. Mungkin, karena cinta kami begitu bulat. Hati kami sudah menjadi satu. Aku tahu apa yang dirasakan laki-lakiku, begitu juga dia. Dan, kami pun telah melewati saat-saat tersulit dalam kebersamaan kami. Hingga kadang, kami tak pernah lagi mengeluh pada hidup. Kami hanya berpikir, seperti inilah hidup. Dan, kami akan menjalaninya. Itulah yang ada antara aku dan laki-lakiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sedih tentang Cinta
Short StoryKisah tentang seorang laki-laki dan perempuan lain di hatinya. *** seperti menggenggam takdir di tanganmu. seperti apa rasanya? mungkin, aku akan takut memejamkan mata, takut genggamanku terbuka, dan tiba-tiba saja ia tak lagi di sana. aku akan memb...