"Nindya, jahatkah orang yang sudah membuka hatinya, lalu menutupnya kembali?" tanya laki-laki itu, Damar namanya. Ia ajukan tanya itu kepada kekasihnya yang baru enam puluh hari ia kenal.
"Maksudnya?" Anindya, perempuan dengan rambut lurus panjang itu, balik bertanya dengan kening mengernyit. Ia menunggu jawaban sambil menyesap cokelat hangat dari cangkir putih yang ia pegang.
"Seseorang itu mengungkap perasaannya karena dia ingin perempuan itu tahu apa yang ia rasakan. Namun, ternyata semua itu salah...," lanjut Damar.
Anindya terdiam sejenak seakan mencoba mencerna maksud Damar. "Salah... dalam artian laki-laki itu sebenarnya salah dengan perasaannya?" Gadis itu mulai serius menanggapi laki-laki di hadapannya.
"Bukan, bukan salah. Hanya saja, seharusnya tidak ia lakukan. Tidak boleh."
"Karena...." Anindya sengaja menggantung kalimatnya.
"Laki-laki itu tidak bisa melanjutkannya," jawab Damar.
"Karena...," kata Anindya lagi.
"Dia ternyata tidak bisa membalas perasaan si perempuan," ujar Damar, lalu meraih sebatang rokok miliknya dari kotak, menyulutnya. Batang kedua.
"Hei, rokok yang tadi saja belum habis." Anindya menyela, menunjuk pada batang rokok yang tinggal separuh di tepi asbak.
Damar langsung mematikan rokok yang tinggal separuh itu, lalu mengisap dalam-dalam rokok yang baru ia sulut.
"Ternyata, dia tidak seharusnya mengungkapkan perasaannya itu," lanjutnya sambil memandang jauh ke luar jendela kedai kecil bernuansa hijau lumut itu. Kedai yang belakangan ini menjadi tempat janji temunya dengan gadis ini.
"Hmm.. aku tidak paham," sahut Anindya. "Ini tentang siapa? Kita?" tanyanya sambil lalu.
"Iya," sahut Damar singkat. Jawaban yang tak diduga-duga oleh Anindya.
Hati perempuan ini langsung mencelus, tetapi masih terlalu dini membuat kesimpulan. "Maksudmu, aku harus siap-siap kamu putuskan?" tanyanya kemudian. Gadis itu masih ragu juga dengan pertanyaannya yang ia lontarkan itu.
"Iya," jawab Damar lagi. Ia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam. Melarikan pandangannya ke jalanan di depan kedai, yang dilewati satu-dua mobil.
Anindya masih berharap Damar sedang mencandainya. Sedang menguji cintanya. Sedang menguji kesabarannya. Atau, sedang menguji aktingnya sendiri.
Namun, yang ada hanya kesunyian. Wajah Damar kaku. Bukan wajah yang dikenal Anindya dalam enam puluh hari ini.
Lalu, Anindya tertawa. Entah menertawakan siapa, dirinya sendiri mungkin. "Iya, tidak apa-apa," jawabnya, berusaha terdengar sangat santai—meski ternyata aktingnya cukup buruk. "Lagi pula, kita juga belum kenal lama. Perjalanan kita belum terlalu jauh. Dan, belum banyak hal juga yang kita lewati. Jadi, ya, tidak masalah bagiku." Anindya menjawab, terlalu banyak. Ia cepat-cepat menyesap cokelat hangatnya yang tidak lagi hangat, mencoba menahan sesuatu yang menggantung di matanya. Bodoh! makinya pada diri sendiri. Tak perlu air mata. Dia belum berarti apa-apa bagimu.
Damar tidak berusaha membantah. Tiba-tiba saja, laki-laki itu seolah-olah tidak berada di tempat duduknya lagi. Anindya terdiam. Ada yang membuncah di dadanya. Menyudutkan sesuatu di matanya. Mendesaknya keluar.
Anindya ingat, saat mereka bertukar pesan sebelumnya, Damar bertanya, "Menurutmu, salahkah jika kita membuka hati kepada seseorang, lalu kita menutupnya kembali?" Begitu tulisnya. Hari itu, tepat seminggu sebelum Damar berjanji mengajak Anindya bertemu keluarganya. Bahkan, Anindya sudah mempersiapkan baju apa yang akan ia kenakan. Sudah sibuk belajar cara bersikap sopan berhadapan dengan orangtua laki-laki ini.
Anindya hanya menanggapi pertanyaan Damar bagai angin lalu saat itu, berpikir Damar bicara tentang orang lain. Namun, tiga hari kemudian, hari ini, Anindya baru tahu bahwa yang dimaksud Damar adalah hubungan mereka.
"Aku sayang kamu," tulis Damar di akhir pesannya itu. Lalu, kini, pria ini ingin pergi darinya.
Mereka hening dalam beberapa jeda.
"Sudah malam, aku harus pulang," ucap Anindya sambil membereskan tasnya. Ia ingin terlihat tidak marah, tetapi sikapnya tidak mau diajak bekerja sama. Ia seperti seseorang yang sedang cepat-cepat menghindari hal yang sangat tidak disukainya. Bahkan, ia tampak jelas menghindari tatapan laki-laki di hadapannya.
"Maaf, Anindya," ucap Damar, akhirnya bersuara. Dia mencoba meraih tangan kekasih yang baru saja ia putuskan itu, tetapi perempuan itu seketika menarik tangannya menjauh. Wajah perempuan itu seakan membeku. "Maaf," ucap Damar sambil mengangkat kedua tangannya rendah, seolah-olah ingin menenangkan Anindya dan berjanji tidak akan menyentuhnya.
"Sudah terlalu malam. Aku harus pulang," ucap Anindya berusaha mengucapkannya dengan nada biasa sambil menatap kelam di luar. Namun, suara itu jelas terdengar bergetar.
"Aku antar," ucap Damar. "Aku antar, ya. Kamu tidak pulang boleh sendiri."
Anindya tak mampu menjawab, hanya menggeleng. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan cairan hangat yang semakin mendesak di sudut matanya. Gadis itu mengantur napas agar ia tak menangis.
"Nindya, maafkan aku," ujar Damar pelan, mencari mata perempuan yang telah mengisi hari-harinya belakangan ini. "Aku benar-benar minta maaf. Sungguh." Ia terdengar begitu putus asa. Seakan menjelma seorang laki-laki yang dinyatakan bahwa segala harapan yang ia punya telah habis. Ia tidak punya hak lagi untuk yang bernama harapan. Apa pun. Tiba-tiba saja, ia memalingkan wajah, menyembunyikan bulir-bulir air yang terasa menjalar ke matanya.
Anindya mendapati ada pilu di mata laki-laki itu, dan tak dapat ia abaikan, muncul perasaan kasihan kepadanya.
Pertahanan perempuan itu hancur. "Iya, tolong antar aku, ya," ucapnya, meminta laki-laki itu mengantarnya. Seperti hendak mengembalikan, setidaknya, satu harapan kepadanya.
Dalam perjalanan pulang di dalam mobil laki-laki itu, Anindya merapatkan diri ke tepi pintu di sebelah kirinya, menatap ke luar jendela. Ia seakan berusaha menjaga jarak sejauh mungkin dari laki-laki yang baru saja, ah, mencampakkannya. Tubuhnya merasa sangat tidak nyaman, bahu-bahunya terasa kaku. Embusan pendingin ruangan terasa lebih kencang menerpa tubuhnya, membuat Anindya merapatkan kedua tangannya.
"Dingin?" tanya laki-laki di sebelahnya saat melihat gerak gerik Anindya.
Anindya hanya diam. Pikirannya terasa kosong.
"Kamu kedinginan?" tanya suara itu lagi, lalu tangannya sibuk memutar pengatur suhu.
Dingin, tetapi tak sedingin hatinya. Anindya hanya diam. Membiarkan pertanyaan itu tak terjawab. Dalam sisa perjalanan itu, yang ada hanya sunyi. Laki-laki itu mungkin tahu, kalaupun ia tahu Anindya kedinginan, dia pun tak bisa melakukan apa-apa. Tak ada jaket cadangan ataupun selimut di mobil ini. Bahkan, meminjamkan kemeja flanel yang ia kenakan pun tak akan berarti apa-apa. Tak akan memberikan hangat kepada perempuan itu, yang kini seperti menghilang dalam ruang sepi di antara mereka.
Saat sampai, Anindya hanya mengucapkan terima kasih pelan demi kesopanan, lalu membuka pintu mobil dalam diam. Dia bergegas masuk ke lorong kecil menuju rumahnya. Rumah tua itu sepi saat ia membuka pintu dengan kunci cadangan. Untunglah, pikirnya. Ibunya pasti sudah tidur. Anindya tak melihat lagi jam di dinding rumahnya. Malam sudah pekat. Ia tak peduli lagi waktu sedang merangkak ke angka berapa. Yang ia rasakan saat ini hanyalah ia merasa sangat lelah, seperti habis berlari puluhan kilometer jauhnya.
Ia merebahkan diri di atas tempat tidur, meringkuk di bawah selimut. Sebuah tanya berulang-ulang di benaknya, tetapi tak jua ia temukan jawabnya.
Apa salahku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sedih tentang Cinta
Короткий рассказKisah tentang seorang laki-laki dan perempuan lain di hatinya. *** seperti menggenggam takdir di tanganmu. seperti apa rasanya? mungkin, aku akan takut memejamkan mata, takut genggamanku terbuka, dan tiba-tiba saja ia tak lagi di sana. aku akan memb...