"AKU perempuan dalam hidup Mas Damar." Begitu ia mengenalkan diri, tanpa menyebutkan nama. Anindya terpaku saat membaca isi pesan yang muncul di kotak masuknya pada suatu sore yang murung. Surat elektronik itu dikirim dari alamat e-mail Damar, tetapi ditulis oleh seorang perempuan yang mengaku sudah mendapatkan izin dari laki-laki itu untuk menulis dan mengirimkannya.
Anindya sempat bertanya-tanya, apakah Damar sedang mempermainkannya. Jika ya, tentu saja ini sungguh tidak lucu. Namun, jika ini nyata, ini lebih tidak lucu dan sungguh drama. Anindya berusaha tidak memikirkannya. Menganggap semua yang dikatakan oleh perempuan itu adalah benar dan dia tak peduli. Namun, kemudian, laki-laki itu menghubunginya.
Seharusnya, Anindya mencukupkan diri pada surat yang sungguh janggal itu. Entah apa yang membawanya ke tempat ini. Bertemu dengan Damar. Mungkin rasa penasaran yang jika ia biarkan akan membuat hatinya tak tenang.
***
Mereka duduk diam dalam waktu cukup lama. Anindya tak mampu menatap laki-laki itu meski ia telah menyanggupi permintaan pertemuan ini. Perempuan yang ada dalam pesan elektronik itu nyata, Damar tak menampiknya.
"Nindya, aku harus menjelaskan," ucap laki-laki itu. Lalu, ia kembali diam.
Anindya mencoba membangun dinding-dinding pertahanan dengan mencoba tersenyum, tetapi ternyata ia tak kuasa. Wajahnya terasa kaku.
"Iya, aku sudah tahu," ucap Anindya, sementara nyeri menyusup ke dadanya. Ia memaki dirinya sendiri, mengapa mau mengulangi rasa sakit ini.
"Iya, kamu sudah tahu dari e-mail itu," ucap laki-laki itu pelan.
"Cantik?" tanya Anindya. Entah untuk apa.
Laki-laki itu hanya tersenyum kaku. "Dia menanyakan hal yang sama. Dan, dia juga tanya kenapa dia tak bisa menemukan fotomu yang tanpa senyum." Damar tertawa pelan, seperti ada yang lucu di sana.
Biasanya, tawa laki-laki itu selalu menular kepadanya. Namun, kali ini, Anindya tidak suka dengan tawa laki-laki itu. Ia tidak suka menyamakan dirinya dengan diri perempuan itu. Wajah Anindya membeku. Perempuan dalam hidup Damar itu bisa menemukan fotonya yang tanpa tawa hari ini, jika itu yang dia mau.
"Kau tahu," kata laki-laki itu, "perasaanku padamu berbeda dengan perasaanku ke dia. Sungguh."
Anindya menggeleng, tak ingin mendengar lagi cinta untuknya. Ia tidak menginginkannya lagi.
"Tapi, aku merasa sangat bersalah pada dia. Dan, harusnya aku tahu saat dia menceritakan mimpinya lewat e-mail pada hari ulang tahunku dulu. Itu seperti peringatan dari Tuhan. Aku tak bisa bahagia sendiri."
Anindya tidak suka laki-laki ini mengikutsertakan Tuhan dalam kalimatnya itu. Dan, tentang rasa bersalah, entah siapa yang lebih berhak untuk itu.
"Aku benar-benar tak bisa mengingkari janjiku, Nindya. Aku tak bisa meninggalkan dia," ucapnya. Dia mengatakannya dengan penyesalan seakan-akan Anindya memohon kepadanya agar meninggalkan "dia" yang disebutnya itu.
Anindya ingin menjawab, tetapi laki-laki itu kembali membuka suara.
"Dia butuh aku. Perjalanan kami sudah terlalu jauh. Aku tidak bisa kembali lagi ke awal. Hanya bisa melanjutkan ke akhir. Itulah yang sepertinya lebih dekat—"
"Dan, perjalanan kita masih dalam hitungan langkah. Masih sangat dekat untuk kembali ke awal," ucap Anindya cepat, secepat kepingan-kepingan hatinya kembali melanting, tak berada di tempat semula lagi.
"Aku tak bisa meninggalkannya, Nindya. Kami saling membutuhkan. Selama lima tahun, kami hanya bisa bertemu sekali sebulan. Aku yang terbang ke sana. Menemuinya. Dan, kami akan sangat bahagia saat itu. Saat berpisah, kesedihan menyelimuti kami." Pandangan Damar jauh, mungkin ke masa-masa lima tahun kebersamaan mereka. Ditambah empat tahun masa pertemanan.
"Maaf," ucap Damar. Ia tampak malu dengan ceritanya sendiri. "Kau tahu, saat dia meneleponku, dia tidak memintaku memilihnya," lanjutnya. Ia terdengar meragu, seakan menunggu sesuatu dari lawan bicaranya. Ia menatap perempuan di hadapannya, mencari matanya, tetapi tak mendapati mata itu membalas tatapannya.
***
Apakah kau berharap aku memintamu memilihku? Berjuang bersamamu? Tanya itu sempat terlintas di benak Anindya saat laki-laki itu terdengar sedih. Perempuan itu hanya menunduk sejak tadi, menarik napas. Mengembuskannya dengan berat. Bayangan ibunya tiba-tiba saja muncul. Ibunya ingin Anindya bahagia. Anindya tahu itu. Dan, laki-laki ini, ah... secepat ia membuat Anindya bahagia, secepat itu pula ia memurukkan kesedihan begitu dalam untuknya. Kau tahu, mungkin, jika sedikit berusaha, Anindya bisa membuat laki-laki ini memilihnya.
Ia bangkit, lalu pamit. Anindya kini menyadari, bukan karena dirinya tak pantas untuk cinta laki-laki ini. Melainkan karena dirinya berharga dan layak untuk bahagia. Berhak untuk bahagia. Dengan cinta yang lain.
"Anindya," panggil Damar pelan mengejar langkah perempuan itu, lalu meraih tangannya—untuk kali terakhir. Anindya berhenti, tetapi tak menoleh, tak membalas genggaman tangan laki-laki itu. "Aku mencintaimu, Anindya. Tak akan berubah," katanya.
Anindya menggeleng, bukan ingin membantah ucapan laki-laki itu. Entah untuk apa.
"Tapi... aku tahu, tidak seperti dia, kau akan tetap bisa berdiri tegak tanpa aku di sisimu, Nindya. Dan, kau layak mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya," ucap laki-laki itu.
Dua orang itu dikepung sepi dalam beberapa hela napas sebelum sang laki-laki kemudian memecahnya.
"Terima kasih untuk waktu yang kau beri. Meski hanya sesaat, kau membuat aku utuh. Membuat aku bahagia." Ucapan laki-laki itu serupa bisik yang datang dari mimpi.
Anindya masih berdiri dengan kedua kakinya yang tiba-tiba terasa sangat berat untuk dibawa melangkah.
"Seperti menyebarkan serbuk sihir, mengembalikan sesuatu pada tempat semula, aku mendefinisikan bahagia. Kau suka?" tanya laki-laki suatu ketika lewat pesan singkat. Yang maknanya baru Anindya pahami benar-benar kini.
Ia menarik napas, lalu memberanikan diri membalikkan tubuhnya, menatap mata laki-laki itu. Pilu ia temukan di sana.
"Terima kasih, juga," ucap Anindya. "Jaga dirimu." Pelan, ia menarik tangannya dan membiarkan tangan laki-laki itu mengawang. "Dan, mungkin kau perlu tahu," imbuhnya tulus dari hatinya, "kau pun layak bahagia."
Kemudian, perempuan itu melangkah, tak lagi menoleh.
Meninggalkan sebuah kisah sedih tentang cinta dalam hidupnya.
Meninggalkan seorang laki-laki dengan sebuah kisah cinta lebih sedih dalam hidupnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sedih tentang Cinta
Historia CortaKisah tentang seorang laki-laki dan perempuan lain di hatinya. *** seperti menggenggam takdir di tanganmu. seperti apa rasanya? mungkin, aku akan takut memejamkan mata, takut genggamanku terbuka, dan tiba-tiba saja ia tak lagi di sana. aku akan memb...