MENGINGATNYA selalu membuatku rindu.
Laki-lakiku.
Aku rindu tangan hangatnya. Tangan yang menyembuhkan luka-luka di punggungku, di bahuku, dadaku, di wajahku. Luka-luka yang telah aku terima sejak lama tanpa perlawanan. Demi gadis kecilku tercinta. Dan, demi perempuan renta yang ingin aku selalu bahagia.
"Jangan menangis," ucap laki-lakiku itu, suatu ketika saat dia mendapati aku menangis diam-diam lagi. Aku memeluknya. "Aku tak bisa membiarkan air matamu selalu menetes," ucapnya, menghapus lembut satu dua air mata yang masih ada di mataku. Dia mencium mataku lembut. Mataku yang lebam terantuk meja tadi malam. Diantukkan, lebih tepatnya. Ah, perih sekali mengingat hari-hari di dalam rumahku.
"Shh... sudah, jangan menangis," ucap laki-lakiku itu. Mencium lembut mataku. Menebarkan hangat dalam setiap jengkal tubuhku. Pelukanku makin erat. "Jangan tinggalkan aku, aku takut...," ucapku pelan.
"Shh..., jangan takut, aku bersamamu. Aku tak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan menunggumu, sampai kapan pun." Dia membisikkan janjinya itu di telingaku. Pelan, tetapi selalu mampu menyembuhkan setiap gurat luka di tubuhku, bahkan yang tersembunyi sekalipun di hatiku.
"Tapi, aku akan terus-terusan jadi perusak rumah tanggamu," ucap laki-lakiku itu pelan, seakan-akan ia takut ada yang mendengarnya.
Aku mempererat dekapanku. Berpura-pura tak mendengar ucapannya itu. Apa yang rusak jika sejak awal rumah itu telah porak-poranda?
"Seharusnya, aku lebih berani dulu," ucapnya, penyesalan itu lagi.
Aku mengusap pelan pipinya. Aku yang dulu terlalu lemah dengan cinta dan teperdaya laki-laki asing bermuka dua. "Aku yang harusnya lebih sabar menunggu," balasku, juga menyesali masa lalu.
Kami berpelukan, saling menguatkan. Aku ingin selalu dalam dekapan laki-lakiku ini. Dalam sisa hidupku. Namun, aku tahu aku harus selalu pulang, ke tempat aku tinggal. Yang tak pernah bisa kusebut rumah. Laki-laki gila yang ada di bangunan itu mengancam akan menghabisi semua keluargaku jika aku meninggalkannya. Satu dua air mata menetes lagi dari mataku.
"Jangan menangis, Sayang," ucap laki-lakiku. "Jalan bahagia bercabang. Kita akan menemukannya."
Dia menatap mataku, mengelus pipiku lembut. Ah, hanya dengan melihat matanya, aku sudah tahu bahwa aku menemukan cabang jalan itu.
Ah, kami seperti menggenggam takdir.
Dan, kau tahu seperti apa rasanya?
- fin -
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sedih tentang Cinta
Historia CortaKisah tentang seorang laki-laki dan perempuan lain di hatinya. *** seperti menggenggam takdir di tanganmu. seperti apa rasanya? mungkin, aku akan takut memejamkan mata, takut genggamanku terbuka, dan tiba-tiba saja ia tak lagi di sana. aku akan memb...