Bagaimana kau tahu kau telah jatuh cinta kepada seseorang? Aku menyadarinya suatu hari.
Laki-laki itu, kami satu kampus. Beda jurusan. Kami bertemu di organisasi kampus. Lalu, dia menyewa salah satu dari lima kamar di tempat indekos milik ibuku yang berada di sebelah rumah kami, membuat kami cukup dekat. Perasaan itu baru kami sadari kemudian, saat kami tak lagi bisa bertemu setiap hari. Aku lulus lebih dahulu, kemudian bekerja lebih dahulu. Laki-lakiku itu, dua tahun di bawahku, ia masih kuliah. Ia sibuk kuliah, juga masih aktif di organisasi kampus.
Meski ia indekos di sebelah rumahku, kami jarang bertemu. Hanya sesekali. Saat pulang kerja, aku sering kali melihat kamarnya tertutup, ia mungkin sedang sibuk dengan kampus dan organisasi, pikirku. Sementara, aku juga sibuk bekerja hingga tak lagi sempat berkomunikasi dengan teman-teman di organisasi.
Sesekali, pada hari Minggu, aku melihat pintu kamarnya terbuka separuh. Kadang kalau Ibu sedang memasak banyak makanan atau membuat camilan sore, Ibu sering menyuruhku membaginya ke anak-anak indekos. Hanya ia yang sering ada di kamarnya karena empat anak lain biasanya pulang ke rumah mereka saat akhir pekan. Sementara laki-lakiku, hanya pulang pada libur panjang, itu juga tak lama. Rumah orangtuanya jauh di luar kota sehingga ia lebih sering menghabiskan waktu di kota ini, tempat ia menimba ilmu.
Suatu hari, setelah sekian lama, aku mengetuk pintu kamarnya, memberikan sepiring nasi goreng dan pisang rebus. Ia tersenyum lebar menerimanya.
"Buatanku," ucapku kala ia bilang sampaikan terima kasih kepada Ibu. Ibu sedang tidak di rumah hari itu.
Ia tampak terkejut. "Oh, ya? Aku tak tahu kamu bisa memasak," ucapnya.
Aku terkekeh. Dia memang benar. Aku hampir tak pernah memasak karena Ibu yang mengurus semuanya. "Harus mulai belajar," ucapku. "Kalau tidak, akan aku beri makan apa anak dan suamiku nanti," kelakarku.
"Kan bisa beli atau pesan di Mbak Sum," ujarnya menyebut nama penjual makanan favorit kami di kampus. Lalu, kami tertawa bersama.
"Jadi, sudah siap menikah?" ledeknya.
"Coba kamu nilai dari rasa nasi goreng ini dulu," tantangku.
Sore itu, kami menghabiskan waktu bersama di kamarnya. Aku menemaninya makan nasi goreng buatanku dengan lahap sambil menonton film dari laptopnya.
"Enak," kata laki-lakiku memuji. "Ayo nikah," imbuhnya. "Eh, tapi aku belum lulus kuliah, ya," ujarnya lagi.
Aku hanya tertawa menanggapinya, aku tahu ia bercanda. Namun, entah mengapa, ada degup aneh di dadaku saat mendengar ia mengucapkannya.
"Sedikit asin, ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tadi ragu-ragu juga membawakan nasi goreng ini, tetapi sebenarnya aku memang sengaja membuatkan untuknya.
Ia menghadap ke arahku, menyuap satu sendok besar nasi goreng ke mulutnya. "Kalau dimakan sambil menatap kamu seperti ini jadi tidak asin, kok. Malah jadi manis," gombalnya. Membuatku tersipu, tetapi kusembunyikan dengan memukul pelan lengannya.
Ia membuatkanku kopi, sebagai teman makan pisang rebus, katanya. Sore itu, kami banyak tertawa, mengenang masa kami di organisasi kampus dan lainnya, bahkan aku tak menyimak apa film yang kami tonton. Rasanya aku enggan beranjak, tetapi film sudah habis dan Ibu pun sudah pulang. Jadi, mau tak mau, aku harus meninggalkan kamarnya.
***
Hari-hari kemudian, entah bagaimana kami berjarak. Aku sedang banyak masalah saat itu, hingga lupa bagaimana kejadian persisnya, tetapi mungkin karena ia menghilang selama enam bulan. Kamarnya selalu tertutup. Awalnya, aku pikir ia hanya sibuk di kampus, tetapi setelah beberapa lama, aku tahu dari Ibu kalau dia memang tidak berada di kamarnya. "Ia hanya menitipkan kunci. Tak banyak bicara," kata Ibu. "Mungkin pulang ke Jakarta," tutup Ibu saat kutanya lebih lanjut. Ibu tak tampak khawatir karena memang uang sewa tempat indekos kami dibayar tahunan. Anak-anak yang indekos juga memang diberi keleluasaan untuk berkegiatan.
Mungkin ia cuti kuliah, pikirku. Kemudian, aku pun sibuk di tempat kerja dan waktuku habis dengan berbagai masalah yang kuhadapi. Tak sempat aku mencari tahu lebih lanjut tentangnya. Laki-lakiku itu menghilang selama berbulan-bulan tanpa kabar. Saat ia kembali, sekitar enam bulan kemudian, keadaan sudah berubah. Kami berjarak tanpa bisa dicegah. Hanya bertegur sapa seperlunya. Sebenarnya, aku yang menjaga jarak darinya. Mau tak mau, aku harus menjaga diri. Ibu yang sering kurang sehat pun kini sudah hampir tak pernah mengantarkan makanan untuk anak-anak indekos.
Waktu pun berlalu. Satu tahun berlalu sejak ia kembali. Hubungan kami tak dekat, tetapi juga tak jauh. Bahkan, aku beberapa kali mendapatinya mencuri pandang ke arah rumah kami saat aku duduk di teras. Aku ingin menyapanya, sekadar mengucapkan selamat atas wisudanya saat ia lulus kemudian, tetapi aku takut. Aku seakan menunggu ia menyapa meski aku tahu ia tak akan melakukannya lebih dahulu.
***
Sampai pada hari yang selalu ada di ingatanku itu. Hari itu, laki-lakiku terpaksa mengetuk pintu rumah kami karena kunci kamarnya hilang. Ia ingin meminjam kunci cadangan. Alasan ia berada di depan rumahku itu kutahu kemudian hari saat ia ceritakan.
Hari itu, Ibu memang sedang tidak ada di rumah. Aku juga awalnya tak mendengar ketukannya. Ternyata, laki-laki itu telah duduk di teras hampir lima belas menit. Ia mencoba mengetuk sekali lagi hingga tak sengaja pintu yang tak tertutup rapat terdorong lebih membuka. Ia memanggil beberapa kali di depan pintu, kemudian menyadari hal ganjil. Ia mendengar suara tangis. Meski awalnya ragu, ia kemudian masuk ke dalam rumahku. Ia menemukanku--bersandar di depan pintu kamar. Menangis.
Tubuhku masih bergetar hebat. Tanganku seperti tak bisa dikendalikan. Semua ototku terasa lemah. Aku tak mampu beranjak, kakiku terasa lunglai tak bertulang.
Mata laki-lakiku terbelalak. Aku hanya menatapnya, tak mampu bicara. Denyut nyeri terasa di bibirku, pelipisku. Aku menyeka rasa asin yang terasa di lidah, yang berasal dari darah yang mengalir dari bibirku. Laki-laki itu mendekat, memegang pelan wajahku. Ia menyibak rambutku. Melihat ekspresinya, aku tahu itu karena ia melihat darah juga masih mengalir dari sana.
"Kita harus ke rumah sakit," ucapnya, hendak memapahku.
"Ti-dak usah," ucapku. "Aku... tidak... apa-apa." Suaraku terasa serak. "Tidak... a-pa-apa," ucapku terbata-bata, bergetar. Air mata tak bisa kukendalikan. Tubuhku bergetar hebat, benar-benar tak bisa kuatur.
Hatiku benar-benar terasa sakit, sampai terasa menusuk-nusuk.
Ia meraih tanganku, menggenggamnya. "Menangislah. Habiskan tangismu," bisiknya. "Namun, jangan sampai tangis itu membuatmu lupa bahwa kau berhak bahagia," ucapnya.
Laki-lakiku, ia memelukku. Menyebarkan hangat ke gigil tubuhku dengan seketika.
Saat itu, aku tahu aku jatuh cinta.
Aku telah jatuh cinta sejak lama kepadanya, tetapi baru hari itu berani mengakuinya.
"Aku membutuhkanmu," ucapku saat itu, yang dibalas dengan usapan lembutnya di pipiku.
Laki-laki itu mengangguk. Menatap mataku.
"Aku akan selalu ada untukmu, Karla," ucapnya.
Setelah hari itu, ia menepati janjinya. Ia selalu ada untukku kapan pun aku membutuhkannya. Kami pun mengikrarkan janji. Tak akan berpisah apa pun yang terjadi.
Hingga hari itu tiba, ia diterima sebuah perusahaan bonafide di kota asalnya. Ia hampir melepas pekerjaan itu demi aku. Namun, aku memaksa ia untuk tak melewatkannya. Kesempatan emas tak datang berkali-kali. Lagi pula, banyak orang berhasil dengan hubungan jarak jauh.
Kami pun membuktikannya. Namun, kata orang, sebuah hubungan sering kali diuji pada tahun kelima. Aku rasa, aku dan laki-lakiku kini sedang menghadapinya.
Banyak orang yang jatuh pada ujian itu, tetapi tak sedikit juga yang mampu berjuang melewatinya, dan bahkan semua itu memperkuat cinta mereka.
Lagi pula, bukankah cinta memang perlu diperjuangkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sedih tentang Cinta
Short StoryKisah tentang seorang laki-laki dan perempuan lain di hatinya. *** seperti menggenggam takdir di tanganmu. seperti apa rasanya? mungkin, aku akan takut memejamkan mata, takut genggamanku terbuka, dan tiba-tiba saja ia tak lagi di sana. aku akan memb...