4: Kau Katakan Cinta, Lalu Kau Melangkah Pergi

324 25 2
                                    

"Apa salahku?" Masih tanya itu saja yang memenuhi benak Anindya. Hari menjelang pagi, mata perempuan itu tak bisa terpejam. Pikirannya penuh. Air matanya mengalir tanpa ia minta, tetapi lekas-lekas ia hapus. 

Dia menghela napas panjang, mengingatkan dirinya. Dia bukan perempuan lemah. Dia kuat. Ia telah ditempa kehidupan. Dia telah lama bisa menertawakan kemalangan-kemalangan dalam hidupnya.

Dia bisa bertahan hingga hari ini bersama ibunya yang membesarkannya dengan bekerja sebagai buruh cuci dari pintu ke pintu. Apa pun ibunya kerjakan. Juga menjual jajan pasar, yang dijajakannya sambil menyambangi rumah-rumah majikannya. Empat-lima pintu rumah mampu ia ambil dalam satu hari, dulu, saat perempuan itu masih kuat. Lalu, berkurang satu per satu. Batuk-batuk ibunya semakin akut hingga ia tak lagi bisa bekerja berat.

Kala itu, Anindya yang sedang kuliah tingkat dua ikut berjuang untuk kehidupan dia dan ibunya dengan melakukan apa yang ia bisa juga, dengan berjualan apa saja dan mengajar les privat pada waktu lainnya. Bahkan, mengabaikan cinta dan fokus belajar saja.

Perempuan yang makin menua itu mampu mengantarkan anaknya itu ke bangku kuliah, universitas negeri. Meski jalan yang mereka tempuh penuh air mata, semua bisa mereka lewati. Dia kini mensyukuri apa yang dimilikinya dan sudah tersenyum mengingat kesulitan-kesulitan hidup yang mereka lewati, bahkan hal yang tak terlupakan sekalipun.

Tiba-tiba saja, sebuah memori masa kecil hadir di benaknya. Memori yang seharusnya sederhana, tentang sebuah gula-gula.

***

Sore itu, ia melihat seorang gadis kecil berkucir dua memakan sebuah gula-gula cantik. Gula-gula bulat besar berwarna-warni. Dengan tangkai putih panjang. Tampak sangat enak saat dijilat. Anak majikan ibunya itu tampak asyik menjilati gula-gula bulat serupa warna pelangi itu. Yang hanya pernah dilihat Anindya dalam buku-buku cerita. Dari pintu dapur, Anindya kecil menatapi anak itu. Ah, bukan, ia menatapi gula-gulanya. Tanpa bisa ia cegah, air liurnya terasa jernih, seakan-akan gula-gula itu sudah menyentuh ujung lidahnya.

Jantung Anindya seakan ikutan jatuh dengan cepat ketika gula-gula itu jatuh dari tangan anak majikan ibunya.

"Hush, kotor, Sayang," kata ibu gadis kecil itu, yang sedang membaca majalah di sofa, ketika putrinya memungut gula-gula besar yang baru saja terjatuh.

Gula-gula itu kemudian masuk ke tempat sampah yang ada di sudut. Anindya tak beranjak dari tempatnya. Menunggu ibunya membawa tempat sampah itu ke belakang. Di rumah itu, selain mengurus cucian, ibunya juga bertugas membersihkan rumah, menyapu dan mengepel lantai.

"Anin," bisik Ibu dari kamar mandi. "Jangan mengintip seperti itu."

Anindya beranjak dari tempatnya. Ketika ibunya membawa tempat sampah itu ke belakang, Anindya memegangi tangan ibunya, seakan-akan ingin ikut ke mana ibunya pergi.

"Anin, Ibu tidak bisa bekerja kalau kamu seperti ini." Ibu memarahinya. Perempuan itu menuangkan isi tempat sampah ke dalam plastik hitam besar, menggabungkannya dengan sampah-sampah lain yang ada di dapur. Mata Anindya tak lepas dari kantong sampah itu. Kala itu, ibunya tahu ada yang diperhatikan putrinya. Hingga ia kemudian membuka ikatan plastik sampah itu. Apa yang ditatap putri semata wayangnya sejak tadi terlihat di sana.

"Ini, Nak?" ucapnya sambil memegang tangkai putih itu. Memperlihatkan gula-gula besar warna-warni yang sudah sedikit meleleh dan dilengketi rambut-rambut yang ada di dalam tempat sampah.

Anindya mengangguk cepat. Tangan ibunya langsung lemas dan menatap putri kecilnya tanpa kata-kata.

***

Tatapan ibunya bertahun-tahun lalu itu seakan lekat di benak Anindya. Lalu, saat dia menyebut ingin kuliah, tatapan ibunya sama seperti saat itu. Dulu, ia belum mengerti apa arti tatapan itu. Setelah ia besar, barulah Anindya memahaminya. Itu adalah tatapan penuh penyesalan sang Ibu karena merawat Anindya dalam keadaan serbakekurangan.

Kisah Sedih tentang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang