BAGIAN 5

751 30 0
                                    

Atas saran Rangga, sisa prajurit ditambah dua orang patih, dan dua orang penglima, menunggu saja di Lereng Gunung Anjar. Sedangkan dirinya sendiri bersama Raden Nadara hendak menyelidiki keadaan dalam istana. Tentu saja mereka tidak datang secara terang-terangan, karena sudah pasti hal itu tidak diinginkan sama sekali. Terlebih lagi keberadaan Pendekar Rajawali Sakti yang memang sedang ditunggu-tunggu kepalanya.
"Cukup ketat penjagaan di dalam istana ini, Raden," bisik Rangga.
"Iya," sahut Raden Nadara setengah mendesah.
Sejak matahari tenggelam tadi, mereka mengamati sekitar istana dari tempat yang cukup tersembunyi. Di sekitar benteng istana memang dijaga ketat oieh para prajurit bersenjata tombak dan pedang. Bahkan di bagian atas benteng, terlihat pasukan panah sudah siap dengan bidikannya. Mereka benar-benar seperti sedang menunggu musuh untuk berperang. Yang pasti, di dalam istana juga sudah siap.
"Aku tidak menyangka kalau Prabu Raketu sudah mengetahui akan adanya pemberontakan...," gumam Rangga pelahan, sepertinya bicara pada dirinya sendiri.
"Ya. Itu sebabnya Ayahanda Prabu mengutusku untuk meminta bantuan ke Karang Setra. Tapi sayang sekali, Raja Karang Setra tidak pernah ada di istana. Sedangkan adiknya tidak bisa memutuskan begitu saja," jelas Raden Nadara setengah mengeluh.
"Raden, ada yang hendak kutanyakan. Tapi kuharap kau tidak tersinggung," kata Rangga lagi.
“Tanyakan saja, Rangga. Aku yakin, kau benar-benar berada di pihakku. Kau seorang pendekar, dan tentunya akan berada di pihak yang benar," sahut Raden Nadara mantap.
“Terima kasih, tapi ini tentang adikmu."
Raden Nadara menatap dalam-dalam pemuda berbaju rompi putih di sampingnya. Sama sekali tidak disangka kalau Rangga akan bertanya seperti itu, yang ada hubungannya dengan adiknya. Tapi Raden Nadara belum ingin berpikir lebih jauh lagi. Apalagi berpikir buruk tentang maksud Rangga.
"Raden, apakah Rara Ayu Ranti selalu bersamamu selama ini?" tanya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti teringat dengan kemunculan Ranti yang menyerang dan ingin membunuhnya.
"Ranti tidak pernah jauh dariku. Apalagi selama perjalanan ke Karang Setra," sahut Raden Nadara.
Rangga mengerutkan keningnya.
"Ada apa. Rangga?" tanya Raden Nadara.
Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti menceritakan tentang pertemuan dan bentroknya dengan Ranti. Tampak jelas kalau Raden Nadara tidak percaya kalau Ranti bisa terpisah dengannya, dan bertarung dengan pemuda berbaju rompi putih ini.
Raden Nadara memang mengakui kalau adiknya memiliki tingkat kepandaian tinggi. Tapi tidak mungkin ia berada dalam dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan saat Rangga diserang Ranti, inilah saat yang sama pula Raden Nadara tengah berbincang dengan gadis itu di tempat lain. Tempat yang sangat jauh dan harus ditempuh dalam waktu lima hari perjalanaa Jadi hal itu benar-benar mustahil!
"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Raden. Aku memang yakin kalau gadis yang menyerangku itu bukan Ranti," tegas Rangga pada akhir ceritanya.
Kedua pemuda itu sama-sama terdiam setelah satu sama lain menceritakan kebersamaannya dengan gadis   yang bernama Ranti. Gadis yang bisa berada dalam dua tempat berbeda jauh dalam waktu bersamaan. Untuk beberapa saat, mereka jadi mengalihkan perhatiannya pada Istana Kedung Antal.
"Raden, apakah Ranti punya saudara kembar?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.
"Setahuku..., tidak," sahut Raden Nadara seraya berpikir keras.
"Lho? Kau kan kakaknya. Tentu lebih tahu tentang Ranti daripada aku,"
Rangga agak kaget bercampur heran karena Raden Nadara sebagai kakak Ranti, tapi tidak tahu tentang adiknya sendiri.
"Tidak juga. Rangga," potong Raden Nadara cepat.
"Tidak...?" Rangga mengerutkan alisnya.
"Apa madsudmu, Raden?"
"Sebenarnya aku hanyalah anak angkat Ayahanda Prabu Raketu. Setahun setelah aku diangkat anak, Ranti lahir dari Ibunda Permaisuri. Tapi malang Ibunda Permaisuri meninggal setelah melahirkan Ranti. Kemudian, kami hidup di bawah asuhan seorang emban. Waktu itu aku baru berusia sekitar tiga tahun, jadi tidak begitu tahu persis apa yang terjadi," Raden Nadara mengakui.
"Kau tahu kalau kau anak angkat, Raden...?!” tanya Rangga.
“Tentu. Ayahanda Prabu selalu mengatakan begitu agar aku tidak putus hubungan anak dengan orang tuaku sendiri. Dan aku memang dibebaskan untuk mengunjungi orang tua kandungku di Desa Aripat. Bahkan Ranti juga tahu kalau aku hanya kakak angkat saja. Tapi dia tidak ambil peduli, dan tetap menganggapku sebagai kakaknya sendiri. Itu sebabnya aku dan Ranti begitu akrab, karena kami saling menyayangi dan saling menyintai sebagai kakak dan adik"
"Dan selama ini, apakah ada orang yang mencoba mengusik kehidupanmu? Hm..., maksudku mencoba memisahkanmu dari kehidupan Ranti," ujar Rangga ingin tahu.
"Tidak."
Rangga terdiam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Pandangannya kembali tertuju kearah bangunan istana yang masih terjaga ketat. Sekitar istana itu tampak sunyi senyap. Bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya bagai tak berpenghuni lagi. Itu sunyi, bahkan tak ada yang menyalakan pelita untuk penerangan. Kerajaan Kedung Antal ini benar-benar seperti kerajaan mati tak berpenghuni.
"Kita kembali lagi saja besok, Raden," ajak Rangga.
"Kenapa tidak sekarang saja?" tanya Raden Nadara.
"Kurasa waktunya kurang tepat. Aku akan mencari jalan terbaik. Tapi mungkin pertumpahan darah tidak bisa terelakkan," Rangga mencoba menjelaskan.
"Ini memang sudah menjadi ajang pertempuran bersaudara, Rangga. Bahkan aku sendiri tidak segan-segan lagi membunuh saudaraku bila ternyata memang bergabung dengan para pengkhianat itu!" desis Kaden Nadara.
"Ayolah, kita tinggalkan tempat ini. Aku tidak ingin ada pemburu kepala yang melihat kita berada di sini."
"Baiklah, Aku percaya padamu, Rangga."

40. Pendekar Rajawali Sakti : Pemburu KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang