BAGIAN 8

842 42 7
                                    

Raden Nadara tersenyum memandangi para prajurit yang sudah berkumpul di lapangan rumput tepi Hutan Kaki Gunung Anjar ini. Meskipun tidak semua, tapi jumlah mereka sudah lebih dari separuh prajurit yang ada di Kerajaan Kedung Antal. Dan semuanya sudah menyatakan untuk tetap setia pada junjungan Prabu Raketu. Mereka juga bersumpah untuk mentaati perintah yang datang dari Raden Nadara.
Ternyata apa yang dikatakan Rangga semalam, memang terbukti kenyataannya. Para prajurit itu sebenarnya tidak ingin memberontak pada kerajaan. Mereka hanya menunggu seorang pimpinan, dan menunggu waktu untuk mengadakan perebutan kembali. Melihat kesiapan para prajurit itu. Raden Nadara tidak menunggu waktu lagi. Mereka segera diperintahkan untuk segera berangkat. Sebelumnya, ditunjuk dua puluh orang prajurit serta tiga orang punggawa untuk tetap berada di tempat ini menjaga Ni Calak.
Raden Nadara berkuda paling depan didampingi Pendekar Rajawali Sakti. Di belakangnya, tampak para panglima perang dan patih yang tetap setia, serta beberapa pembesar kerajaan yang memiliki ilmu olah keprajuritan. Lebih ke belakang, tampak para tamtama, punggawa, dan para prajurit. Barisan mereka begitu panjang dan terbagi dalam empat kelompok yang masing-masing dipimpin seorang panglima.
"Kau benar, Rangga. Ternyata mereka adalah prajurit setia. Aku benar-benar terharu terhadap kesetiaan mereka," ungkap Raden Nadara.
Rangga yang berkuda di samping pemuda itu, hanya tersenyum saja. Masalahnya, hal seperti ini pernah dialami juga. Itu sebabnya, mengapa dia begitu yakin kalau para prajurit itu sebenarnya masih setia pada Prabu Raketu, dan sebenarnya sedang menunggu seorang pemimpin.
"Rasanya aku tidak mungkin bisa membalas jasamu, Rangga," kata Raden Nadara lagi.
"Aku sudah senang jika Kerajaan Kedung Antal kembali utuh seperti semula," sahut Rangga merendah.
"Itu semua berkat jasamu, Rangga."
"Bukan. Berkat pengabdianmu yang suci, Raden."
"Ah! Kau selalu saja membuatku melambung, Rangga. Aku khawatir akan menjadi besar kepala nanti,” desah Raden Nadara tersipu.
Mereka tidak bicara lagi. Dan rombongan yang berjumlah besar itu terus bergerak memasuki kota. Rakyat yang melihat para prajurit kerajaan dipimpin Raden Nadara, langsung menyambutnya dengan sorak-sorai dan gegap gempita. Mereka begitu gembira, karena akan kembali terbebas dari cengkeraman manusia iblis. Inilah hari yang ditunggu-tunggu sejak lama. Dan kegembiraan ini diungkapkan dengan menggabungkan diri ke dalam barisan.
Raden Nadara tidak bisa mencegah, dan hanya semakin terharu melihat kesetiaan rakyat Kedung Antal. Mereka rela menyabung nyawa, demi keutuhan Kerajaan Kedung Antal yang dicintai.
Rombongan yang dipimpin Raden Nadara itu semakin mendekati Istana Kedung Antal. Dan semakin lama jumlah mereka semakin bertambah banyak, karena para pemuda dan laki-laki yang merasa tubuhnya masih kuat, langsung menggabungkan diri begitu mengetahui Raden Nadara yang memimpin pasukan prajurit ini.
"Perintahkan setiap kelompok menempati posisi," kata Raden Nadara begitu mereka berada di depan istana.
Salah seorang panglima yang berada di belakang Raden Nadara, langsung memberikan perintah itu. Maka pasukan yang sudah dibagi dalam empat kelompok itu, langsung menyebar menempati posisi yang sudah ditentukan.
"Bagaimana dengan rakyat, Rangga?" tanya Raden Nadara meminta pendapat.
"Katakan pada para patih dan pembesar untuk bergabung bersama rakyat, dan mencegah rakyat bentrok langsung jika tidak terpaksa," sahut Rangga.
Raden Nadara tersenyum, lalu segera memberikan perintah pada seorang patih untuk mengatur rakyat agar tidak bentrok langsung jika tidak terpaksa. Setelah itu, Raden Nadara kembali menghampiri Rangga yang sudah turun dari kudanya. Raden Nadara juga turun dari kudanya, lalu berdiri di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
“Tampaknya mereka sudah siap menyambut, Rangga," kata Raden Nadara.
"Benar," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati bagian atas benteng. Tampak jelas, kalau di sana sudah siap pasukan panah. Dan yang pasti, di dalam benteng istana ini juga sudah siap para prajurit yang lebih memilih membangkang daripada bergabung dengan Raden Nadara. Tapi, Pendekar Rajawali Saku itu juga melihat banyaknya orang yang tidak mengenakan seragam prajurit. Dan itu sudah pasti dari kalangan rimba persilatan golongan hitam.
"Kau punya cara untuk mendobrak pintu gerbang, Rangga?" tanya Raden Nadara.
"Aku ingin kau yang melakukannya, Raden. Kau harus bisa memimpin. Ini kesempatan terbaikmu, Raden," sahut Rangga memberi kesempatan pada pemuda itu.
"Baiklah, akan kucoba semampuku."
"Cobalah. Kegagalan bukan berarti kehilangan segala- galanya. Dalam keadaan seperti ini, segala kemungkinan patut dicoba," kata Rangga memberi semangat.
Raden Nadara mengangguk dan tersenyum. Hatinya begitu mantap bersama Pendekar Rajawali Sakti.   Dipanggilnya seorang panglima dan diperintahkan panglima itu bersama dua puluh prajurit untuk mencoba mendobrak gerbang benteng.
Seorang panglima dan dua puluh orang prajurit berkuda, sudah siap di garis depan. Mereka akan mencoba mendobrak pintu gerbang istana. Sedangkan Rangga sudah bisa menduga kalau hal ini pasti tidak akan berhasil. Bahkan akan membuat mereka menggeletak jadi mayat. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ingin mencegah. Dia ingin memberi kesempatan agar Raden Nadara bisa belajar banyak dari peristiwa ini.
"Hiyaaa...!" panglima itu berteriak nyaring sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke atas kepala.
Seketika itu digebah kudanya, maka seketika juga dua puluh orang prajurit segera mengikuti menggebah kuda dengan cepat. Mereka semua menghunus pedang di atas kepala sambil berteriak-teriak keras membahana. Namun belum juga mereka bisa mencapai pintu gerbang benteng istana itu, dari atas berhamburan puluhan batang anak panah.
Jeritan-jeritan melengking langsung terdengar, diiringi berjatuhannya para prajurit yang mencoba mendekati pintu gerbang. Tampak panglima yang berkuda paling depan, dengan tangkas sekali memutar pedangnya di atas kepala. Namun usahanya tidak berjalan lama. Ketika sebatang anak panah menancap leher kudanya, dan membuatnya terpelanting, maka seketika perhatiannya langsung buyar. Sebelum bisa menguasai keadaan, beberapa batang anak panah menghunjam ke tubuhnya.
"Aaa...!"
Hujan panah itu langsung berhenti ketika tidak ada lagi yang hidup. Tampak panglima masih bisa bergerak, namun akhirnya diam tak berkutik. Ada enam batang panah yang memanggang tubuhnya, di samping dua puluh prajurit tergeletak bersama bangkai kuda.
"Oh..., apakah prajuritku harus dikorbankan lagi?" keluh Raden Nadara lirih.
Rangga memandangi pemuda itu. Raden Nadara memang masih hijau dalam pengalaman bertempur. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi merasa iba juga. Dan disadari, kalau tidak mungkin mengandalkan sepenuhnya pada Raden Nadara. Sedangkan mereka tidak tahu, berapa banyak kekuatan di dalam benteng istana itu.
"Raden! Aku akan mendobrak pintu gerbang itu, dan secepatnya kau menyerbu masuk begitu pintu hancur," ujar Rangga.
"Rangga..!" Raden Nadara terkejut. Tapi pemuda itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena Rangga sudah berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Seketika itu juga, dari atas benteng berhamburan puluhan anak panah menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Namun Rangga terus berlari cepat sambil sesekali berpelantingan di udara. Tampaknya mereka yang menghujani anak panah, jadi kebingungan juga, karena Rangga semakin dekat dengan pintu gerbang istana. Dan....
"Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak nyaring.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat ke arah pintu gerbang. Segera dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tahap yang terakhir. Kedua tangannya jadi berwarna merah bagai terbakar. Dan begitu kedua kakinya berpijak pada tanah di depan pintu, seketika itu kedua tangannya dihentakkan.
"Yeaaah...!" Glarrr!
Ledakan keras terjadi bersamaan- dengan hancurnya pintu gerbang itu. Sungguh luar biasa daya pukulan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Pintu dari kayu jati yang tebal itu hancur berkeping-keping. Saat itu juga, Rangga langsung melompat menerobos masuk ke dalam.
"Serang...!" teriak Raden Nadara langsung memberi perintah.
"Serbuuu...!"
Suara-suara teriakan terdengar gegap gempita, diiringi berhamburannya para prajurit. Mereka langsung  mengikuti Raden Nadara yang menunggang kuda menerobos masuk ke dalam benteng istana yang pintunya sudah hancur berkeping-keping. Mereka terus menerobos maju, meskipun hujan anak panah seperti tidak berhenti. Teriakan-teriakan membahana, kini bercampur jerit dan pekik melengking tinggi menyayat hati. Tubuh-tubuh bersimbah darah kembali bergelimpangan terpanggang panah.
Sementara itu. Rangga yang sudah berhasil berada di dalam lingkungan pagar benteng, langsung melesat ke atas. Langsung dihajarnya orang-orang di atas benteng, yang menghujani panah terhadap para prajurit Raden Nadara. Jeritan-jeritan melengking tinggi, kembali terdengar disusul berjatuhannya tubuh-tubuh dari atas benteng.
Rangga mengobrak-abrik pasukan panah itu, sehingga membuat para prajurit yang dipimpin Raden Nadara semakin leluasa menerobos masuk ke dalam. Namun, seketika mereka disambut para prajurit pembangkang yang dibantu orang-orang persilatan. Pertempuran di halaman depan istana itu pun tidak bisa terelakkan lagi. Jeritan melengking kematian dan teriakan pertempuran bercampur menjadi satu, ditingkahi denting senjata beradu. Tubuh-tubuh bersimbah darah mulai bertumbangan membasahi tanah. Korban memang tidak mungkin terelakkan dalam setiap pertempuran di manapun juga.
"Hiyaaa...!" Rangga yang selesai membereskan pasukan panah di atas benteng, langsung meluncur deras ke bawah. Bahkan langsung menuju ke bagian belakang pertahanan lawan. Seketika itu juga, Rangga melontarkan beberapa pukulan dahsyat sambil berjum palitan, diimbangai gerakan tubuh yang lincah dan cepat luar biasa. Setiap pukulannya selalu menimbulkan korban yang tak bisa bangkit berdiri lagi. Mereka langsung tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
"Hiyaaa...!"
Rangga langsung melesat begitu melihat seorang perempuan tua tengah mengamuk membantai para prajurit yang mengeroyoknya. Tongkatnya berkelebatan cepat menyebarkan maut bagi siapa saja yang mencoba mendekati.
"Menyingkir kalian semua...!" seru Rangga menggelegar. Mereka yang tengah bertarung dengan perempuan tua berjubah merah, langsung berlompatan mundur. Pada saat itu, Rangga langsung mendarat tepat sekitar lima langkah di depan perempuan tua berjubah merah itu.
"Pendekar Rajawali Sakti...."
"Akulah lawanmu, Dewi Merah Penghisap Darah!" dengus Rangga dingin.
"Phuih! Mampus kau. Hiyaaat...!"
Dewi Merah Penghisap Darah, langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Tongkatnya berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Namun Rangga cepat menghindari serangan dahsyat itu. Bahkan langsung membalasnya dengan tidak kalah dahsyatnya.
Sementara pertarungan lain masih terus berlangsung sengit. Tampak Raden Nadara kini tengah bertarung melawan Patih Karuni yang sebenarnya bernama Ki Sakar. Raden Nadara tampaknya bertarung penuh semangat. Setiap serangannya sangat berbahaya, sehingga membuat Patih Karuni jadi kerepotan juga menghadapinya. Sehingga pada satu saat...
"Modar...!" teriak Raden Nadara.
Seketika itu juga dikibaskan pedangnya ke arah kaki. Namun Patih Karuni dengan cepat melompat menghindar. Tapi tanpa diduga sama sekali, Raden Nadara melentingkan tubuhnya ke atas sambil cepat menarik pedangnya. Seketika langsung dikirimkan satu pukulan lurus dengan tangan kiri. Pukulan yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, tak dapat dihindari lagi, telak mendarat di dada Patih Karuni.
Bughk!
"Aaakh...!" Patih Karuni menjerit melengking tinggi. Pada saat tubuh Patih Karuni terjajar ke belakang, dengan cepat sekali Raden Nadara melentingkan tubuhnya seraya mengibaskan pedangnya ke arah leher.
'Yeaaah...!" Cras!
"Aaa...!" Patih Karuni menjerit melengking tinggi.
Darah langsung menyembur keluar dari lehernya yang hampir buntung tertebas pedang Raden Nadara. Tubuh laki-laki itu ambruk menggelepar di tanah. Sebentar dia menggeliat, lalu diam tak bernyawa lagi. Raden Nadara sebentar memandangi sekitarnya, kemudian melompat begitu melihat seorang laki-laki setengah baya tengah mengamuk membantai para prajurit.
"Hiyaaa...!"
Laki-laki setengah baya itu ternyata murid Nyi Pari yang bernama Sagala. Dia begitu terkejut begitu tiba-tiba Raden Nadara melompat menyerangnya. Sagala langsung berkelit sambil mengibaskan senjatanya. Kembali Raden Nadara terlibat dalam kancah pertarungan sengit.
Sengaja Raden Nadara memilih lawan bukan dari para prajurit yang membangkang. Maksudnya, dia ingin mengurangi kekuatan lawan yang dibantu orang-orang rimba persilatan. Sementara itu, Rangga masih bertarung ketat melawan Dewi Merah Penghisap Darah. Tapi tampaknya perempuan tua berjubah merah itu sudah semakin terdesak. Terlebih lagi, sekarang Rangga sudah mencabut senjata pusakanya yang memancarkan cahaya biru berkilauan.
"Yeaaah...!" Rangga berteriak nyaring.
Bersamaan dengan itu, dikibaskan pedangnya kearah dada Dewi Merah Pengisap Darah. Saat ini keadaan Dewi Merah Pengisap Darah tidak memungkinkan untuk berkelit. Maka dengan cepat dihentakkan tongkatnya menangkis pedang yang memancarkan sinar biru berkilau itu.
Trak!
"Akh...!" Dewi Merah Penghisap Darah terkejut setengah mati.
Tongkat kebanggaannya terpotong menjadi dua bagian, dan perempuan tua itu sendiri terpental ke belakang. Memang, tenaga dalamnya jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat tubuh perempuan tua itu terjajar ke belakang, cepat sekali Rangga melepaskan satu tendangan keras menggeledek.
"Yeaaah...!" Des!
"Aaakh...!" lagi-lagi Dewi Merah Penghisap Darah menjerit melengking tinggi.
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang keras mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna itu, tepat menghantam dadanya. Dan sebelum Dewi Merah Penghisap Darah bisa menguasai keadaan, Rangga sudah mengibaskan pedangnya ke arah leher. Dan perempuan tua berjubah merah itu hanya mampu terbeliak. Rasanya memang, tidak ada kesempatan lagi untuk berkelit Sehingga....
Cras!
"Aaa...l"
Satu jeritan panjang melengking tinggi, mengantarkan kematian Dewi Merah Penghisap Darah. Perempuan tua berjubah merah itu langsung tewas sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas lehernya, dan hampir membuat buntung kepalanya. Darah seketika mengucur deras dari leher yang menganga lebar.
'Yeaaah....'"
"Heh...?!"
Beghk!
Rangga terkejut ketika tiba-tiba dari arah belakang melesat sebuah bayangan hitam. Dan sebelum sempat melakukan sesuatu, terasa satu hantaman keras mendarat di punggungnya. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti itu terjerembab ke tanah. Namun dia cepat bergulingan begitu melihat sebuah benda panjang berwarna kuning gading meluncur deras ke arahnya.
Satu ledakan keras terdengar menggelegar ketika benda kuning gading itu menghantam tanah di samping Rangga. Seketika Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat bangkit, tepat saat benda kuning panjang itu tertarik kembali. Kini di depan Rangga berdiri seorang lagi perempuan tua berbaju hitam sambil mengibas-ngibaskan selendang berwarna kuning gading yang merupakan senjatanya.
"Berani kau membunuh adikku...! Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!" teriak perempuan tua itu yang ternyata adalah Nyi Pari.
Perempuan tua berbaju hitam itu langsung melesat cepat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Selendang yang berujung untaian logam berbentuk jarum itu meliuk-liuk menyambar ke arah tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Serangan ini membuat Rangga jadi kerepotan sesaat Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti teringat kalau pernah bertarung melawan seseorang yang juga menggunakan senjata selendang, dengan cepat keadaan bisa dikuasai.
Bahkan ketika selendang itu meluncur ke arah kepala, Rangga tidak bergeming sedikit pun juga. Dan begitu selendang itu dekat, dengan cepat ditarik kepalanya ke samping. Lalu bagaikan kilat, dikibaskan pedangnya disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
'Yeaaah....'" Bet!
Reeet!
"Hah...!" Nyi Pari terperanjat bukan main begitu melihat selendangnya terpotong jadi dua bagian.
Dan sebelum rasa keterkejutannya lenyap, Rangga sudah melompat secepat kilat menerjang sambil mengibaskan pedangnya tiga kali berturut-turut Buru-buru Nyi Pari meliukkan tubuhnya sambil melompat ke belakang. Namun sungguh tidak diduga sama sekali, saat tubuhnya ditarik ke belakang, tiba-tiba Rangga melesat lurus dengan pedang tertuju lurus ke arah dadanya.
"Hiyaaa...!" "Hak..!" Crab! "Aaa...!"
Nyi Pari benar-benar tidak kuasa lagi menghindar. Matanya terbeliak dan mulutnya ternganga memperdengarkan suara jeritan melengking tinggi menyayat Pedang Pendekar Rajawali Sakti langsung menembus dadanya hingga ke punggung. Cepat Rangga menarik pedangnya, maka darah langsung menyembur deras dari dada yang berlubang.
Sebentar Nyi Pari masih mampu berdiri tegak, kemudian limbung dan ambruk ke tanah, tak bernyawa lagi.  Rangga berdiri tegak memandangi tubuh berlumuran darah tak bernyawa lagi. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, karena tidak lagi mendengar suara pertempuran. Tapi yang terdengar kini malah sorak-sorai para prajurit Raden Nadara yang telah mencapai kemenangan gemilang.
Rangga mengedarkan pandangannya mencari Raden Nadara, dan menemukan pemuda itu tengah berdiri di ujung tangga istana bersama seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Meskipun tubuhnya kotor dan compang-camping, namun Rangga dapat mengenali kalau laki-laki itu adalah Prabu Raketu.
"Rangga...!" panggil Raden Nadara. Rangga yang baru saja hendak pergi, jadi mengurungkan niatnya. Sebentar dipandangi Raden Nadara yang berdiri di samping Prabu Raketu. Pelahan diayunkan kakinya menghampiri. Satu persatu kakinya menaiki undakan istana yang berjumlah lima belas buah.
"Dewata Yang Agung.... Kau...," desah Prabu Raketu terperanjat begitu Rangga sudah dekat di depannya.
Tanpa dapat dibendung lagi, laki-laki itu langsung menghambur memeluk Rangga. Hal ini membuat Raden Nadara jadi terlongong tidak mengerti. Hati pemuda itu semakin heran melihat mata ayahandanya merembang berkaca-kaca. Perlahan Rangga melepaskan pelukan Prabu Raketu, kemudian mengajaknya masuk ke dalam.
"Jangan katakan tentang diriku pada Raden Nadara," kata Rangga berbisik. Begitu dekat di telinga Prabu Raketu, dan suaranya juga pelan sekali sehingga Raden Nadara tidak bisa mendengarkannya.
"Kenapa...?" tanya Prabu Raketu.
"Rahasia," sahut Rangga.
"Kenapa harus dirahasiakan?!"
"Sudahlah, aku juga tidak ingin tahu apa yang terjadi di sini."
"Baiklah, kalau itu keinginanmu."
"Anggap saja kita sudah pernah kenal satu sama lain sebagai sesama pendekar." Prabu Raketu tertawa terbahak-bahak.
"Ada apa, Ayah?" tanya Raden Nadara.
"Tidak ada apa-apa, hanya senang saja bertemu sahabat lama," sahut Prabu Raketu.
"Jadi..?!" suara Raden Nadara terputus.
"Sahabat sesama pendekar dulu," kata Prabu Raketu langsung tertawa terbahak-bahak.
Rangga hanya tersenyum saja. Sedangkan Raden Nadara belum bisa mengerti. Dipandanginya Rangga dan ayahnya bergantian, namun tidak juga diketahuinya persahabatan itu. Dan lagi, selama ini Rangga tidak pernah mengatakannya. Raden Nadara bertekad harus mengetahui, tapi harus menunggu saat yang tepat. Tapi saat yang dinanti tidak juga kunjung datang, karena Pendekar Rajawali Sakti cepat pergi. Sedangkan Prabu Raketu tidak bersedia menjelaskan apa-apa. Kerahasiaan Rangga tetap terjaga. Dan, sampai saat ini Raden Nadara tidak pernah tahu, siapa sebenarnya Rangga itu.

***

TAMAT

40. Pendekar Rajawali Sakti : Pemburu KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang