Episode 1

28 6 0
                                    

Sore itu seperti biasanya, aku dan adikku kembali membawa kantongan plastik dan kecrekan sambil berjalan menaiki satu per satu bus yang berhenti. Menyanyi dengan merdu, sambil memainkan kecrekan yang kubuat dari botol bekas yang berisi pasir agar terdengar lebih nyaring. Adikku yang kecil pun hanya memainkan kecrekan itu, sedangkan aku bernyanyi diatas alunan musik yang dibuat adikku. Hari pun semakin gelap. Kami duduk di dalam bus yang seketika berhenti dari perjalanannya. Menunggu untuk melihat siapa selanjutnya yang akan menaiki benda besar ini.

Tidak terasa aku dan adikku akan turun. Perlahan aku melangkahkan kakiku yang tidak beralaskan apa pun. Mencoba melewati setiap lorong tempat duduk yang ada.

"Aw...!"  Tiba-tiba saja bunyi itu keluar dari mulutku, terasa sakit ketika melihat langsung ke bawah. Kaki kecilku yang terkena paku yang ternyata berserakan di sekitar bis ini. Perih. Rasanya satu badanku tak mampu melangkah karena sakit yang begitu mendalam.

Semua mata itu memandangku iba, tapi alhasil tidak ada satu pun yang membantuku, membuatku semakin takut dengan jeritan tangis adikku yang tidak henti padahal aku yang terkena paku itu.

Lucu, tapi aku tak sanggup tertawa di atas kesakitan yang aku hadapkan. Sampai dia datang, menarik pundakku dan adikku untuk duduk di sampingnya. Aku terperangah akan sikapnya seakan bertanya siapa dia, dari mana dia berasal, apakah dia malaikat yang diutus Tuhan untuk menolongku, semua pertanyaan itu tiba-tiba saja terlintas di pikiranku. Aku pun kembali meringis kesakitan ketika dia mulai menyentuh kakiku yang terkena paku itu.

Perlahan tapi pasti dia membersihkan darah yang mengalir cukup deras di kakiku dengan air, menuangkan sedikit demi sedikit botol yang kulihat berwarna kuning yang ku tahu itu pasti obat yang membuat darah di kaki ku jauh lebih berhenti. Dia pun mengambil sapu tangannya dan mengikatkan ke kakiku dengan sentuhan yang hangat tanpa ada rasa jijik atau pun malu karena dilihat oleh orang banyak.

Sempat aku berpikir apakah orang yang berada di depanku saat ini seorang dokter? Atau dia malaikat yang kudengar suka menolong orang dari cerita-cerita ibu? Sudahlah aku sudah lelah memikirkan itu, tak terasa kakiku sudah berada di bawah lantai, dan dia juga masih duduk tepat di samping ku. Aku yang menyadari bahwa kakiku sudah tidak sesakit tadi langsung mengucapkan terimakasih.

"Terima kasih banyak ya, Kak."  Kataku pelan dengan malu-malu dan kepalaku yang kutundukan ke bawah. Dia pun langsung tersenyum kepadaku dan

Aku dan adikku pun pulang dengan membawa cerita baru kepada ibuku, dengan kakiku yang belum bisa berjalan seutuhnya kini harus berjalan sangat pelan dan dibantu adikku dengan hati-hati.

"Ibu, kami pulang,"  kataku sambil mulai memasuki ruangan yang lantainya saja tidak bisa aku beda kan dengan jalanan yang aku lewatkan, sama-sama dingin dan tidak memiliki alas apa pun. Ibu yang mengetahui suara kami langsung keluar tanpa harus bertanya siapa di luar,

"Kenapa malam sekali kalian pulang, huk... huk...," dengan nada yang sangat lembut dan penuh kasih sayang.

"Ibu sudah berpikir yang tidak-tidak tadi,"  kata Ibu sedikit khawatir karena aku dan adikku yang pulang terlarut malam. Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ibu, Ibu pun langsung menunjuk dan bertanya lagi padaku.

"Astaga Ria, kaki kamu kenapa nak? Kenapa diikatin dengan kain seperti itu?"

"Kaki kamu berdarah? Kenapa? Kok bisa?"  Berbagai pertanyaan pun langsung dikeluarkan ibuku dan membuat kesimpulan sendiri. Yah, itulah ibuku satu-satunya orang yang kami punya, yang menyayangi kami dengan kesederhanaannya dan dengan kekuatan yang ia miliki.

Aku pun menjawab semua pertanyaan Ibu dengan polos dan seadanya, adikku yang bersemangat juga ikut mengiyakan segala omonganku dan ikut menceritakan segala yang ia lihat. Ibu pun juga turut mendengarkan cerita adikku dengan seksama serta ikut senang dengan melihat adikku yang bersemangat bila menceritakan kakak-kakak itu.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang