Episode 5

7 3 0
                                    


''Eits. Emang gue ada bilang lu suka sama kak Feri ha? Kan... lu kejebak.'' Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku termakan dengan semua perkataanku. Aku kalah. Aku tertunduk lemah, tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Di pikiranku hanya satu. Aku benar-benar menyukainya sekarang, tapi aku gak mungkin sekarang bilang ke dia. Itu semua malah bikin persaudaraan kami akan kacau. Dia sudah sangat baik kepadaku dan adikku terutama ibuku. Tidak mungkin aku mempustus kan semua itu dengan mudah.

''Gua gak tahu Ca. Gue gak tau harus gimana. Gue gak mungkin bilang kalau gue suka sama dia. Dia sudah nganggap gua kayak adik kandungnya sendiri. Gue gak mau ngecewain dia.''

''Bisa Ri. Asalkan lu mau. Semuanya pasti ada jalannya.'' Ucap Caca seolah meyakinkanku bahwa aku sanggup.

''Gak taulah. Aku pusing. Aku mau ke uks aja.'' Aku berjalan ke arah uks dan tidur untuk sementara waktu paling tidak pikiranku sudah mulai tenang. Mataku yang mulai terlelap pun menangkap seseorang yang kukenal dekat. Namun, kenapa dia datang ke sini? Apa aku salah lihat? Tidak. Tidak. Aku gak salah ini beneran dia. Kak Feri.

''Ri. Kamu kenapa bisa sakit gini Ri. Kakak kira kamu kenapa-kenapa.'' Dia memegang tanganku dengan kuat. Aku tidak mampu menahannya lagi. Aku menarik tanganku dari dia.

''Gak, Kak. Aku gak kenapa-kenapa kok. Tadi Cuma kurang enak aja.'' Kataku menenangkannya.

''Kalau kamu ada apa-apa kamu langsung telpon kakak aja Ri, Kakak pasti langsung datang.'' Memelukku dalam diam. Wajahnya tidak bisa bohong, dia terlihat sangat takut. Padahal aku hanya ingin tenang saja di sini tanpa memikirkan apa pun, dan juga. Siapa yang memberitahu kak Feri kalau aku lagi di uks? Guru-guru saja mungkin mengira kalau aku bolos. Benar. Siapa lagi kalau tidak Caca. Ini pasti ulah Caca. Dasar Caca. Ada-ada saja. Namun, aku senang. Setidaknya aku bisa dekat dengan kak Feri.

Sekarang menunjukkan pukul lima sore pertanda semua pengisi rumah berada di rumah. Niko yang baru saja pulang dari latihan basket kini sudah berada di sofa depan masih bermain dengan bola basketnya. Dia sudah besar sekarang, sudah tidak sama lagi dengan Niko yang dulu, yang cengeng dan suka jahil kepadaku. Kini dia sudah besar dan sudah mulai bergelut dengan wanita.

''Kak Feri mana Kak?'' tanyanya padaku yang lagi fokus pada buku bacaanku.

''Hmm?'' jawabku. Melihatnya dengan wajah yang tidak mau diganggu.

''Aku tanya. Kak Feri mana Kak?'' tanyanya lagi tidak mau kalah.

''Di sana. Lagian kamu ngapain cari Kak Feri?'' tanyaku mengintrogasinya.

''Ihhh, galak amat sih buk.'' Katanya menggodaku dengan menggelitik ku.

''Aku ada urusan sama Kak Feri. Memangnya tidak boleh?'' tanyanya balik.

''Urusan apa?''

''Kepo!''  menjulurkan lidahnya . ''Ini urusan laki-laki, perempuan gak boleh tau. Hahaha'' tertawa puas meninggalkanku sendirian.

''Apasi kepa kepo? Mentang-mentang dia sudah gedek, main rahasian sama aku.''

Aku kembali fokus akan bacaanku lagi yang kini sudah tidak tahu sampai mana aku membacanya.

Malam ini kami dimakan di meja makan seperti biasanya. Namun, kali ini sedikit berbeda. Ada empat piring yang disediakan oleh Kak Feri di atas meja. Aku tidak mengerti, tapi yang pasti seseorang seharusnya datang untuk makan bersama kami.

''Sebentar yah. Kita tunggu satu orang lagi.'' Ujar Kak Feri.

Kami terlihat bodoh dengan kebingungan yang ada di kepala. Namun, tidak. Niko tidak tampak kebingungan dia asyik dengan ponselnya dan tertawa sendiri seperti tidak ada yang terjadi. Atau memang hanya aku yang tidak tahu.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang