"Mau kamu bawa ke mana dua adik saya ini?"
Aku yang mendengarnya kaget. Adik? Saya? Sejak kapan kami punya kakak?
"Kamu siapa? Tidak usah ikut campur dengan urusan orang lain!" kata perempuan ini.
"Saya ini Kakak mereka. Apa maksudmu tidak usah ikut campur urusan mereka ha!"
"Ha? Kakak? Apa benar dia Kakak kalian? Kenapa kalian tidak bilang kalau Kakak kalian ikut bersama kalian?" Jawabnya sedikit melemah.
Kami yang mendengar perdebatan itu pun hanya bisa diam seribu bahasa.
"Iya. Aku Kakak mereka. Tanya saya kepada mereka. Lagian kenapa kamu harus terkejut kalau kakaknya di sini?" Katanya. "Jangan-jangan kamu penculik anak yang sedang viral itu ya?"
"Enggak. Orang saya hanya mau membantu mereka saja." Ucap tante ini dengan nada takut.
"Kakak...," adikku yang sambil melepaskan tangannya dari perempuan itu, dan langsung memeluk orang yang berdebat dengan perempuan ini.
"Mang! Minggir." Sambil mengetuk-ngetuk kaca bus ini.
Melepaskan tanganku secara kasar. Perempuan itu langsung turun tanpa berkata apa pun.
"Kalian tidak apa?" Mengelus kepala adikku secara lembut.
"Apa kalian kenal dia?"
"Kenapa diam saja waktu dia sudah mulai kasar pada kalian?"
Begitu banyak pertanyaan yang terlontar dari seseorang di depan kami ini yang langsung duduk di samping kami.
Aku diam. Tidak bisa mengatakan apa pun. Yang di kepalaku hanya ada sebuah permohonan. Tuhan, semoga dia tetap selalu menjadi malaikatku dan yang menolongku disaat yang tepat.
"Lain kali, kalau ada orang yang mengajak seperti itu. Jangan langsung mau yah. Tadi itu orang jahat."
Kata-katanya seolah meyakinkan kami bahwa kami itu masih kecil dan harus berjaga-jaga dalam situasi apa pun.
Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Senang rasanya bisa melihatnya kembali.
"Nama Kakak siapa?" Tanya adikku langsung.
"Oh iya Kakak lupa. Hampir saja lupa lagi." Senyumnya.
"Nama aku Feri." Senyumnya mengembang seakan senang berkenalan dengan kami dan memberikan tangannya sebagai awal berkenalan.
Aku yang mengetahui namanya merasa senang. Tidak tahu. Senang saja. Rasanya sudah lama aku ingin tahu namanya. Aku mau kakak itu juga tahu siapa namaku. Tapi...
"Nama aku Niko. Panggil saja Koko." Adikku sudah mendahuluiku.
"Nama aku... Ria. Ceria." Tegasku.
Senyumnya pun mengembang. Mengelus kedua puncak kepala kami.
"Rumah kalian dimana? Kakak mau nganter kalian sekalian ketemu sama Ibu kalian. Boleh?"
"Boleh. Ibu di rumah. Mungkin sekarang lagi menunggu kami sambil duduk di depan teras." Terang adikku begitu antusias.
Sesampainya di rumah. Benar saja kak Feri mengantarkan kami sampai ke rumah. Tidak hanya itu dia meminta kami untuk memanggil Ibu untuk bertemu dengannya. Aku tidak tahu. Ntah apa yang membuat kak Feri ingin bertemu dengan Ibu. Kuharap itu hanya sebuah sapaan saja. Tidak seperti perempuan yang meminta kami untuk meninggalkan Ibu lagi.
Aku yang melihat percakapan mereka hanya bisa diam membisu. Tidak mengerti dengan percakapan antara kedua orang dewasa ini. Aku hanya melihat mata ibu berkaca-kaca, seolah bibirnya berkata terima kasih sambil memegang tangan kak Feri.
Apa aku terlalu kecil untuk mengetahui semua tentang semuanya. Kelihatannya percakapan itu sangat serius sampai-sampai aku dan Niko tidak boleh dengar percakapan kedua orang dewasa ini.
Walau begitu aku sangat senang. Setidaknya kak Feri adalah orang yang baik. Buktinya ibu kelihatan senang saat bertemu dengannya. Aku pun melihat kondisinya yang jauh lebih ceria saat bertemu dengan kak Feri. Terima kasih ya Tuhan. Semoga ini awal yang baik untuk ibu agar cepat sembuh.
Senja berganti malam. Kak Feri pun pamit untuk pulang. Dia yang pamit kepada ibu langsung menyalam tangan ibu seperti kami juga menyalam ibu saat ingin pergi. Kami pun sama, menyalam tangannya seperti ajaran ibu yang harus sopan kepada orang yang lebih besar.
"Tadi Kakak itu ngomong apa bu?" tanya adikku yang sedikit kepo.
"Dia orang yang menolong kamu ya Ria?" tanya Ibu tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaan Niko.
"Iya Bu. Kakak itu baik sekali mau menolong kakak. Kalau kak Feri tidak ada waktu itu, mungkin Niko gak tau lagi apa yang terjadi pada kak Ria." Jawabnya cepat.
Tambahnya langsung. "Kakak itu juga yang membantu kami dari tante-tante yang jahat Bu. Katanya akan membawa kami bertemu dengan teman-teman yang banyak dan katanya kalau kami bersama Ibu kami akan menyusahkan Ibu." Kata-kata terakhirnya membuat dirinya melemah. Terlihat bahwa dia tidak mau mendengar perkataan Ibu mengiyakan perkataan tante-tante tadi.
"Astaga... begitu ternyata ceritanya. Aduh anak-anak Ibu untung saja ada orang baik seperti kak Feri yang nak. Ibu gak tahu lagi kalau kalian sempat dijahatin sama tante-tante itu. Lagian ibu juga gak merasa kalian menyusahkan Ibu kok. Justru Ibu bersyukur kalian hadir dalam hidup Ibu. Karena kalian Ibu masih bisa bertahan sampai sekarang dan kalau ada orang yang ngomong kayak gitu lagi, jangan langsung percaya ya sayang. Ibu sayang dan sangat beruntung banget punya kalian dihidup Ibu." Ibu memeluk kami dengan erat dan kami pun membalas pelukan Ibu.
"Ceria. Niko. Apapun yang terjadi kalian harus terus bersama ya nak, dan kamu Ceria kamu harus terus menjaga adik kamu apapun yang terjadi. Satu pesan Ibu buat kalian, kak Feri itu yang orang baik, kalian harus turuti perkataannya dan harus sopan sama dia karena ibu yakin dia bisa membuat kalian berubah suatu saat nanti, jadi orang yang sukses dan bahagia selamanya."
Perkataan Ibu tadi membuatku berjanji pada diriku sendiri. Aku harus menjadi wanita yang bisa diharapkan Ibu dan adikku. Kak Feri? Baiklah aku akan selalu menuruti perkataannya dan selalu baik padanya apa pun yang terjadi. Itu janjiku.
***
Flasback of
Aku terus berdiri melihat semua pandangan yang ada di depanku. Hujan yang terus turun pun membuat semua menjadi lebih indah. Sampai-sampai orang melihatku pun hanya bisa berasumsi. Sama seperti pria penjaga toko buku ini yang terus melihatku setiap aku kesini. Melihatku dengan seksama. Bahkan dia pernah sesekali mengajakku berbicara bahkan mengajak untuk duduk sambil melihat keindahan tempat ini. Namun, aku selalu mengabaikannya. Aku belum bisa mengabaikan semua yang ada di depanku. Semua kenangan yang ingin ku ulang kembali.
Hujan yang sudah mulai redah pun. Membuatku bergegas untuk pulang. Melihat dan menyudahi semua yang ada di depanku. Walau aku tahu aku akan terus datang ketempat ini untuk mengingat semua kejadian itu.
Waktu pun mengurai tetesan hujan menjadi bulir-bulir kenangan. Ia menusuk tanpa permisi menuju nurani. Merasakan indahnya semua yang pernah kulakukan bersamanya. Akhirnya aku putuskan untuk menyukai hujan karena ketika aku berjalan di bawah hujan, tidak ada seorang pun yang bisa melihatku menangis.
---
To Be Continued...
Semoga author bisa terus berkarya ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories
FantasyMalaikat? Kata ibu. Malaikat itu benar-benar ada dan selalu bersama-sama dengan kita untuk terus melindungi kita walau dari jauh. Tetapi... Apakah aku hanya bermimpi bertemu dengan nya? Apa aku hanya berkhayal bertemu dengan malaikat? Karena aku mer...