Aku dapat mencium aroma teh yang sangat harum, aroma itu dapat mengurangi rasa pening kepalaku.
Perlahan, aku membuka mata. Aku dapat melihat sebuah langit-langit yang dipenuhi oleh pipa. Jelas sekali aku tak mengenalnya.
Tersadar, aku mengubah posisiku yang semula berbaring. Rasa pening kembali menyerang. Aku memijatnya dengan maksud untuk mengurangi rasa pening di kepalaku.
Suara pintu berderit mengagetkanku. Sosok gadis kepang pinggir dengan bola mata berwarna hitam seperti rambut panjangnya membuat dia nampak sangat anggun.
“Kau sudah bangun?” tanya gadis itu dengan menyunggingkan senyum kepadaku.
Aku merasa tidak asing dengan suaranya itu. Ah, aku ingat.
“Seperti yang kau lihat. Emm … apakah kau yang bicara melalui telepati waktu itu?”
Gadis itu terkekeh, “Ya, kau benar. Ternyata ingatanmu bagus juga,”
Tentu saja ingatanku bagus. Aku tidak mau mengakuinya, tapi yang sebenarnya adalah tentang kemampuanku. Kemampuan yang sama sekali tak pernah ku akui, bahkan aku tak menginginkannya.
“Kau pasti sudah tau maksud kami menyelamatkanmu, bukan?”
Aku mengangguk. Tentu saja aku tahu, ini berhubungan dengan kemampuanku lagi. Hal ini semakin membuatku membenci diriku sendiri. Kemampuan ini mendorongku bersikap bodoh, hanya untuk menutupi sebuah kenyataan. Kenyataan tentang kemampuan supranatural ku.
“Jadi…”
“Arthur Urwick,” potongku.
“Setidaknya biarkan aku melanjutkan perkataanku terlebih dahulu, Tuan Urwick,” balas gadis itu.
“Baiklah,” jawabku singkat, karena aku tau gadis ini tipe yang sangat cerewet walaupun--ya memang ku aku dia cantik.
“Namaku Helen Vaughan,”
Aku kembali mengangguk, ya karena memang aku tahu dia akan menyebutkan itu.
Aku merasa disini ada dua orang lagi, dan mereka akan hendak masuk kemari. Seorang pria dan wanita, mungkin?
Dan tepat sekali tak lama kemudian dua orang itu masuk.
“Wah… tidak kusangka kau sudah sadar,” ucap pemuda berambut pirang itu. Entah mengapa aku merasa dia mengejekku. Ya Dewa, berapa orang menyebalkan lagi yang harus ku temui.
Lalu berganti gadis disampingnya memperkenalkan diri, sepertinya ia sedikit pemalu.
“Namaku…”
“Kenapa kau lama sekali untuk menyebutkan namamu saja,” potong pemuda berambut pirang itu, “Namaku Iago Tyrel, dan gadis pemalu ini Thaisa Sandys,”
“Aku Arthur Urwick,”
“Ehm,” Iago berdehem sebelum berbicara, “Kau pasti bertanya-tanya kenapa kami menyelamatkanmu, kan?”
Aku diam saja, mengisyaratkan jawaban iya. Walaupun, kurang lebihnya aku tahu.
“Kau memiliki kemampuan empath bukan? Karena itu kami membutuhkanmu,”
Jreng-jreng sudah kuduga, mereka pasti menginginkan kemampuanku. Selalu saja seperti ini. Kemampuan yang mungkin hanya aku saja yang memilikinya, kemampuan yang langka. Entah aku beruntung atau sial, tidak ada bedanya. Kemampuan ini membuatku menjadi orang bodoh, tapi karena kemampuan ini pula terkadang aku selamat.
“Memang, mengapa kalian membutuhkan kemampuanku?” tanyaku.
Wajar bukan aku menanyakannya? Mungkin nyawaku akan dalam bahaya kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERVANT
FantasyPerang untuk kemerdekan dan kemerdekaan untuk perang. Semua manusia ingin bahagia memperjuangkannya dalam kedamaian. Tapi apa arti sesungguhnya dari kedamaian? Lalu disetiap peperangan pasti ada pahlawan? Bagaimana seharusnya tindakan seorang pahlaw...