Bab 3 : Memulai Perjalanan yang Sesungguhnya

45 6 2
                                    

 Sinar lampu minyak menyapaku saat aku terbangun sekai lagi di ruangan asing yang tidak kukenali. Memoriku berputar-putar mengingat apa yang sebelumnya terjadi.

Ah, aku ingat. Sepertinya aku pingsan lagi. Aku merasa menjadi yang paling lemah diantara kami berlima.

Aku bertanya-tanya berapa lama aku pingsan karena sepertinya hari sudah gelap.

Tanganku beralih menggapai kepala yang kurasa sudah diselimuti perban di sana-sini. Aku kaget melihat sosok kepang pinggir yang ku kenali sebagai Helen.

Dia duduk di sofa dengan santai. Tangannya bersedekap di depan dada sementara matanya terpejam. Dia terlihat cantik juga kalau sedang terpejam.

Aku melihat dia mulai bergerak. Sadar dia akan terangun, aku bergegas kembali duduk di kasur dan menatapnya. Dia menguap lebar kemudian menatapku.

"Kau sudah bangun?"

"Kau pernah melihat orang tidur dengan mata terbuka?"

Dia mendengus, "Masih sakit?"

"Kalau maksudmu seluruh tubuhku, jawabannya ya,"

Pandanganku beralih ke sekitar. Tempat ini sangat sepi. Aku tidak menemukan yang aku cari dimanapun.

"Di mana yang lain?"

"Berburu."

Aku ber Oh-ria, tidak yakin apa yang bisa ku lakukan dengan informasi itu, "Tempat apa ini?"

Tempat ini jauh lebih baik dengan tempat yang penuh dengan pipa saluran air itu.

Dia mengangkat bahu kemudian berdiri. "Kabin yang kami temukan di tengah hutan. Mandi sana, kau bau. Aku sudah menyiapkan pakaian yang lebih baik untukmu."

Aku menatapnya kesal.

"Kau mau kemana?"

"Membantu yang lain."

.

.

.

Aku selesai mandi dan berganti baju ketika Helen dan yang lain masuk membawa apa yang terlihat dan tercium seperti daging panggang. Cacing-cacing dalam perutku langsung bereaksi saat aku belum makan apapun sejak kemarin.

Aku menghampiri mereka yang duduk di meja makan. Helen membuang muka saat melihatku, sementara yang lain sibuk dengan apa yang akan mereka makan.

"Kau terlihat lebih baik" ujar Curio.

Aku tahu itu hanya sebuah ejekan, karena aku sadar betapa konyolnya diriku.

Mereka memberiku pakaian seperti calon mempelai pria, kemeja berwarna putih, dengan jas berwarna hitam lengkap dengan dasi hitam. Dan tentu juga celana panjang berwarna hitam. Aku tidak tahu mengapa aku malah memakai semuanya lengkap.

Aku balas tersenyum, hanya sebagai formalitas dan keramaan. " Terimakasih."

Dia mengangguk, kemudian mempersilahkan aku untuk menyantap hidangannya.

"Jika aku boleh tau, siapa namamu pendatang?" Iago bertanya setelah kami menghabiskan makan malam itu.

Curio menggeleng cepat, "Tidak usah seformal itu. Namaku Curio Anthony. Terimakasih telah mengizinkan diriku bergabung dengan kalian."

Aku mendelik si pirang yang kentara sekali menahan tawa setelah mendengar nama Curio.

"Tidak, kami yang harus berterima kasih karena kau sudah bergabung bersama kami." Jawab Thaisa.

Sejak kapan dia menjadi banyak bicara?

"Kau bisa panggil aku Iago"

"Thaisa."

SERVANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang