"Kapan kamu bawain calon istri buat Mama, Ren? Mama, kan, sudah pengen nimang cucu," ucap Mama hampir di setiap pertemuan kami, setelah wanita berbadan sintal itu merayakan hari jadinya yang ke lima puluh dua tahun beberapa bulan yang lalu.
Mama seolah tak bosan bergumam tentang jodoh, hingga kadang membuatku jenuh kala mendengar pernyataannya tersebut. Walau sudah beberapa kali kuusahakan mengajak sang kekasih naik pelaminan demi mewujudkan keinginannya, tetapi ternyata meminang anak orang itu tak semudah seperti mendapatkan anak kucing yang kita pinta saat tengah dipelihara pemiliknya.****
Alunan lagu milik Kahitna, malam ini dinyanyikan oleh sebuah band indie yang sedang mengisi acara di kafe tempatku bekerja. Tampak Andien tengah begitu menikmati setiap lirik gombal dari band kesayangannya itu, sambil berdiri di sisi kursi kosong tanpa pelanggan. Matanya terpejam, dengan bibir tak bisa diam yang mungkin mengikuti lirik lagu. Membuat aku sedikit geli, saat diam-diam memerhatikan gadis ber-appron merah muda tersebut.
"Wooyy!" Aku yang sudah tak tahan ingin mengagetkan, berteriak pada gadis berambut panjang itu dari arah belakang tubuhnya.
"Aaagh! Renndy?" seru gadis di hadapanku seraya mengerucutkan bibir.
"Ayok, pulang!"
"Nanggung," kilahnya sambil kembali melempar pandangan ke mini stage, mengabaikan ajakanku.
"Nanti keburu malam."
"Ishh, Rendy ...."
"Ayo!"
"Huft! Gak asik!" rutuk gadis bermata kecokelatan itu, sambil berlalu ke ruang loker.
Namanya Andien, gadis yang telah satu tahun aku pacari sejak bekerja di kafe ini. Dari teman satu kerjaan kisah kami dimulai, hingga akhirnya aku dan dia memutuskan untuk menjalin hubungan spesial. Aku serius menjalani hubungan dengan gadis berpipi bulat tersebut, pun dengan dia. Namun, sayang ... setiap kali kuajak dia menikah, ada saja alasan untuknya berkilah. Aneh.
"Yuk!" Setelah melepas appron dan menghapus makeup-nya, Andien menghampiri seraya menarik tasku.
"Ke mana?" candaku yang kini malah asyik menikmati lagu di kafe.
"Rendy?" Spontan bola mata gadis itu membesar.
Aku terkekeh. "Ayok!"
Setiap masuk di jam kerja yang sama, jadwal rutinku setelah itu adalah mengantarkan Andien pulang ke kontrakannya. Karena letak kontrakan yang cukup jauh dari kafe, membuat diri kadang didera rasa khawatir jika harus membiarkan ia pulang seorang diri apalagi di waktu malam.
Rasa sayang yang tumbuh untuk Andien sangatlah besar. Sampai kadang aku berlebihan dan bersikap layaknya seorang bodyguard kala ada di dekat gadis tersebut.
"Dien ...," sapaku pada gadis berpipi chubby itu, kala masih di tengah perjalanan menuju kontrakan.
"Apa?"
"Mampir beli nasi goreng, yuk!"
"Gak, ah. Aku kenyang."
"O, ya sudah," sahutku kecewa.
"Aku temenin aja, deh," tukasnya.
"Cius?"
"Iya, Sayang."
Aku pun menepikan sepeda motor tua yang selalu menemani diri ke mana-mana, di dekat barisan pedagang kaki lima setelah menjumpai pedagang makanan yang diinginkan. Duduk berdua dengan gadis tersayang di pinggir jalan, sambil menunggu pesanan nasi goreng matang.
"Ren ...."
"Ya?"
"Sepertinya aku harus pulang kampung Minggu depan."
"Lho, kenapa?"
"Sahabatku nikahan. Malu, kalau gak datang."
"Hmm."
"Kok, hmm doang?"
"Hmm, temenmu aja udah nikah. Kamu kapan?"
"Ishh, Rendy ...."
"Andien ...."
"Terserah."
"Makasih, ya, Bang, nasi gorengnya," ucapku kemudian mengalihkan pembicaraan, pada Abang penjual nasi goreng yang menyodorkan piring.
"Makan yang banyak," ketus Andien, sambil melirik ke arah piring yang masih mengepulkan asap nasi di hadapanku.
Aku pun tak lagi menjawab ucapan gadis itu dan langsung melahap makanan setelah berdoa dalam hati.
Tampak Andien begitu kesal, karena aku hanya asyik makan sendirian saja tanpa menawarinya. Di hati sebenarnya aku terkekeh. Lagipula ... siapa suruh dia tak kunjung mengiyakan ajakanku menikah?***
Usai menikmati santap malam ditemani Andien, aku langsung melanjutkan perjalanan menuju kontrakan gadis itu. Jangan tanya ia masih ngambek apa sudah tidak, yang jelas marahnya kekasihku ini lebih awet daripada mi yang menggunakan formalin saat pembuatannya. Ya, sepanjang perjalanan dia hanya berdiam diri, meskipun beberapa kali aku melakukan rem dadakan agar ia mengeluarkan suara saat dibonceng motor bersamaku.
"Makasih," kata Andien saat sudah sampai di depan pagar kontrakan, seraya menyerahkan helm padaku.
Aku mengernyit. Bergegas kuraih jemari gadis itu dan memaksa dia menoleh.
"Apaan, sih, Rendy?"
"Ciee, ngambek."
"Nggak!"
"Ya udah, aku gak akan bahas tentang nikah-nikahan lagi, deh. Sampai kamu, bersedia dengan sendirinya jadi istriku," terangku pasrah.
Sejenak manik kecokelatannya melirik ke wajahku.
"Tapi ... kalau sampai aku direbut cewek lain yang ngajak aku nikah duluan, kamu jangan marah, ya?" sambungku menakut-nakuti.
"Hahh?"
Aku mengangguk sambil tersenyum pada Andien.
"Mana ada, Ren? Cewek yang mau ngajak cowok duluan buat nikah? Lagian kamu sekarang ini deketnya cuma sama aku aja, kan, gak ada yang lain? Atau jangan-jangan ... kamu selingkuh?" tanyanya mengintimidasi.
"Ha-ha-ha, ngaco!"
Andien kembali mengerucutkan bibir merah mudanya.
"Ya sudah, masuk sana. Udah malam, aku juga harus pulang," pintaku lembut sambil mengelus rambut panjang Andien yang terurai. "Jangan lupa doain kita sebelum tidur," godaku sebelum ia benar-benar meninggalkanku di depan kontrakan.
Andien pun hanya menjulurkan lidah sembari berlalu dari hadapanku.
Aku terkekeh.
Setelah memastikan Andien memasuki kontrakan, aku bergegas meninggalkan kontrakan bercat biru tersebut. Sadar akan bahan bakar kendaraanku sudah hampir habis, diri pun mampir sebentar di warung pinggir jalan untuk memberi "minum" motor kesayangan. Namun, baru saja hendak kembali menaiki motor saat si pemilik warung sudah memberi uang kembalian, sekumpulan orang-orang tak dikenal mendekat dengan tergopoh seperti tengah mengejar seorang wanita. Ya, seorang wanita berpakaian modis dan tampak tengah ketakutan, yang berada paling depan di antara mereka yang akhirnya malah berdiri di balik badan sembari meremas jaket yang kukenakan.
"E-eh, Mbak? Kenapa ini?" Sontak aku kaget dan bingung atas kelakuan wanita berambut sebahu, yang tiba-tiba menghampiri dengan napas terengah.
Namun, dia hanya melirik dan malah semakin menampakkan wajah ketakutannya.
"Lari ke sini rupanya kamu? Ayo, pulang! Ayah sudah gak mau menanggung malu atas semua kelakuan kamu!" hardik seorang lelaki berkumis tebal, yang tiba-tiba datang menyusul dan menarik tangan wanita di belakangku.
"Nggak, Yah! Metta gak mau pulang."
"Ayo, pulang! Beri tahu Ayah, siapa yang sudah membuat kamu hamil?" Kini suara lelaki paruh baya itu terdengar semakin lantang.
"Ini, Yah. Pria ini yang udah buat Metta hamil," ucap wanita asing tersebut, seraya tiba-tiba menunjuk ke arahku dengan mimik wajah tanpa rasa bersalah.
Glekk!
Spontan kutelan saliva dan semakin bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi malam ini.
"Hahh?! Mak-sudnya apa ini?" sungutku kesal, mencoba bersuara di antara orang-orang yang baru saja dijumpa malam ini.
"Iya. Kamu, kan, yang sudah bikin aku hamil?" balas wanita berambut sebahu itu penuh penekanan.
Seketika semua mata seolah tertuju dan memanah ke arahku. "Hah ...?"
"Jadi kamu anaknya?" tandas elaki berkaus merah itu, seraya membesarkan bola matanya. Seolah memaksa diri untuk mengakui perbuatan yang tak pernah aku lakukan pada wanita tak dikenal di sisi.
Aku mendengkus. "Pak ...."
"Tanggung jawab atas perbuatanmu!" Belum selesai aku bicara, lelaki berkumis tebal yang sebelumnya memarahi wanita di sisi membentak seraya menarik kasar ujung kerah kemeja biruku.
"Pa-k ... sabar, Pak. Saya gak ngerti maksud semua ini apa?" ucapku kemudian, yang merasa tak terima dihakimi oleh mereka.
"Gak ngerti? Udah seenaknya hamilin anak orang masih bilang gak ngerti! Pak Abdul, ambil saja KTP-nya biar kita laporkan dia ke polisi atau orang tuanya," tambah seorang lelaki paruh baya yang turut berada di lokasi, yang sebelumnya juga ikut mengejar wanita berbadan sintal di sisiku.
"Iya, saya sita dompet kamu!" Seketika lelaki yang dipanggil Pak Abdul itu merogoh saku celana dan meraih dompetku tanpa permisi.
"Eh, tapi, Pak ...."
"Gak ada tapi-tapian. Awas kamu kalau sampai kabur ke luar kota!" tukasnya sambil berlalu dari hadapanku, serta menarik paksa lengan wanita berambut sebahu itu.
Kuhela napas dalam, memikirkan hal apa yang mungkin akan terjadi esok padaku setelah kejadian aneh malam ini. Tunggu, ke orang tua tadi mereka bilang? Bagaimana kalau sampai mereka benar-benar datang menemui Mama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Berjodoh (Sudah Terbit)
General FictionRasa Untuk Hati yang Pernah Terisi