Sebelum berangkat kerja, seperti biasa kulewatkan waktu sarapan bersama Mama. Ditemani secangkir teh dan sepotong roti, kami biasanya banyak berbincang tentang kejadian hari kemarin yang dilewati hingga malam saat kami tak bersama-sama.
Ya, Mama dan aku memang jarang bertemu, karena dia juga bekerja di perusahaan milik almarhum Papa sejak satu tahun lalu. Kita hanya bertemu di waktu-waktu tertentu, seperti pagi hari seperti sekarang atau hari Minggu. Itu pun kalau beliau tak ada tugas ke luar kota.
"Mama, sudah siapkan semuanya buat acara pernikahan kamu, Ren," imbuh Mama membuka percakapan di pagi hari ini.
"Apa?" tanyaku hampir tersendak, saat aku tengah menyesap teh manis di cangkir berwarna putih gading.
"Iya. Mama sudah siapin semuanya, kemarin juga Mama sudah ajak Metta buat fitting baju."
"Lho, Ma ...."
"Oh, ya. Mama minta kamu segera berhenti kerja di kafe ecek-ecek itu sebelum kamu menikah. Karena Mama gak mau menantu sama cucu Mama hidup serba pas-pasan. Kamu harus mulai belajar kerja di perusahaan bareng Mama," timpal Mama tampak begitu serius.
"Tapi, Ma ...."
"Apa lagi, Ren-dy? Udah, ah, Mama sibuk. Mama berangkat duluan, ya. Ingat untuk segera resign dari tempat kamu kerja, dan malam ini pulang cepat! Mama mau ajak kamu ke suatu tempat," pinta wanita berkemeja hijau itu, lalu berlalu dari hadapan setelah menghabiskan minuman di cangkirnya.
Aku menghela napas dalam.
****
Hari ini jam kerjaku dan Andien hanya sampai setengah hari. Karena sekarang adalah saat terakhir gadis berambut panjang itu bekerja, sebelum ia cuti untuk pulang ke kampung. Aku pun mampir sebentar di kontrakan Andien setelah mengantar ia pulang dari kafe.
"Dien ...."
"Iya?"
"Kalau aku resign dari kafe, gi-mana?" tanyaku ragu, seraya bersandar di sofa kecil dalam kontrakan Andien.
"Lho, kenapa?" Andien mengernyit seraya menatapku heran.
"Ada tawaran kerja yang lebih baik," tuturku berbohong.
"O-oh, bagus, dong," balas Andien santai, tetapi wajahnya jelas menampakkan kekecewaan.
"Cieee, gak seneng pacarnya mau pindah kerja, ya?" godaku kemudian.
"Paan, sih, Rendy? Seneng, kok," tukas gadis yang wajahnya mirip artis cantik Laudya Chintya Bella itu.
"Bener ya, aku resign?" tanyaku lagi memastikan.
Gadis itu pun mengangguk seraya tersenyum padaku. "Kapan?"
"Secepatnya."
"Aku kembali masuk kerja, apa kamu masih di kafe?"
Aku mengangkat kedua bahu, merasa tak tega melanjutkan obrolan dengan Andien. "Saranku, setelah ini kamu pindah nyari kontrakan yang deket kafe. Takut aku gak sempet anterin kamu pulang," usulku merasa khawatir.
Gadis itu pun sekali lagi hanya mengangguk padaku.
Sebenarnya, walaupun bukan karena alasan pernikahan dengan Metta, cepat atau lambat Mama pasti memintaku berkerja di perusahaan. Jika aku tak segera melakukan amanat dari almarhum papa, takutnya diri keburu terlambat. Apalagi sekarang kulihat Mama semakin sibuk bekerja sendirian. Kalau bukan padaku, pada siapa lagi wanita itu menggantungkan harapan?
Sedang Andien ... sampai detik ini masih belum tahu asal-usulku walau telah setahun berpacaran. Ah, Andien! Kenapa kemarin kamu tak kunjung mengiyakan ajakanku untuk segera menikah? Mungkin tak akan seperti ini jadinya cerita antara kita, jika seandainya kemarin kamu mau untuk kujadikan istri. Kini status tersebut malah akan ditempati oleh Metta, wanita lain yang sama sekali tak aku kenal dan membuat rusuh hubungan kita.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Berjodoh (Sudah Terbit)
General FictionRasa Untuk Hati yang Pernah Terisi