Sesuai pesan Mama, tak lama setelah menemani Andien di kontrakan aku langsung pulang untuk menemaninya ke suatu tempat malam ini. Sebuah kemeja baru berwarna biru, disiapkan Mama untuk kukenakan di momen yang katanya akan bersejarah bagi kami. Dengan rasa yang lumayan penasaran, diri pun mengikuti kemauan wanita yang selama ini telah membesarkanku tersebut.
"Ren, Rendy? Are U ready?" Mama yang tampak cantik dengan dandanan kasual malam ini, bertanya setelah memasuki kamarku.
"Yes," sahutku seraya memberi sentuhan akhir pada rambut di depan cermin.
"Udah ganteng anak Mama. Let's go!" ajak wanita bergaun merah itu, seraya berlalu dari kamar.
Aku pun mengekor wanita berhidung mancung itu, lalu bergegas menaiki mobil dan berangkat ke tempat tujuan kami malam ini.
Sesampainya di depan gerbang rumah yang cukup mewah, seorang security membukakan gerbang bercat hitam tersebut agar mobil yang kami tumpangi bisa masuk dan langsung terparkir di halamannya. Entah ke kediaman siapa Mama membawaku malam ini, yang jelas hunian berlantai dua di hadapan masih tampak asing dan baru kukunjungi.
"Ayo, Ren," imbuh Mama setelah kami menuruni mobil, lalu berjalan mendekati pintu utama rumah tersebut.
Namun, belum sampai kami di depan pintu, seseorang sudah keluar dari dalam dan menyambut kedatangan kami dengan hangat. Keluarga Metta.
"Selamat malam, Bu Aini," ucap lelaki berkumis tebal yang masih selalu kuingat, menyapa Mama sambil mengulurkan tangannya.
"Malam, Pak Abdul. Malam juga, Metta," balas Mama pada lelaki yang disebut Pak Abdul itu, seraya menyapa Metta dan mencium kedua pipinya.
Oh, Lord! Sejak kapan Mama kelihatan begitu akrab dengan wanita itu?
"Mari silakan masuk, Bu Aini. Kamu juga, Nak Rendy," pinta lelaki yang perutnya sedikit buncit itu ramah.
Kami pun menuruti permintaan sang tuan rumah dan menikmati jamuan mereka malam ini.
Tak kusangka sebelumnya, kalau Metta juga berasal dari keluarga yang cukup berada. Bahkan dari obrolan Mama dan Pak Abdul, ternyata mereka juga memiliki sebuah proyek kerjasama antara perusahaan masing-masing. Sebenarnya acara malam ini adalah agenda makan malam biasa, tetapi aku hanya lebih banyak diam serta menyimak obrolan antara Mama dan lelaki berkemeja kotak-kotak itu. Pun dengan Metta, wanita itu hanya tampak sesekali berbicara hanya jika Mama bertanya padanya.
"Gimana, Metta kerjaan kamu?" tanya Mama di sela acara makan malam, pada wanita yang rambutnya terurai itu.
"Alhamdulillah lancar, Tante."
"Pasti setiap hari selalu ada cerita berbeda, dong, ya? Kamu, kan, setiap hari kerjanya bergelut dengan pasien yang berbeda-beda pula di rumah sakit."
"Iya, Tante."
"Mantaplah calon mantu Tante seorang dokter. Tuh, Ren, kamu jangan mau kalah sama calon istrimu! Mulai Minggu depan, kamu sudah harus mulai aktif kerja di perusahaan," tandas Mama yang malah memojokkan putra semata wayangnya ini.
Aku menghela napas dalam.
Setelah acara makan malam selesai, kami melanjutkan berbincang di ruang tamu. Ada cukup banyak hal yang kini aku ketahui tentang Metta. Namun, tetap saja masih belum menjawab satu rasa penasaranku. Yaitu tentang apa sebenarnya motif ia mengaku telah dihamili olehku, hingga memicu orang tuanya menuntut tanggung jawab menikah denganku.
"Jadi, Pak Abdul, saya sudah dapat tanggal yang baik untuk acara akad Rendy dan Metta." Mama yang duduk di sisiku, lagi-lagi membuka percakapan tentang pernikahan.
Aishh, ngebet sekali rupanya Mama ingin memiliki seorang menantu.
"Oh, ya? Tanggal berapa, Bu?"
"Lusa."
"Uhuk-uhukk!" Aku yang tengah meneguk air putih, spontan tersendak mendengar pernyataan Mama.
"Are you okay, Ren?"
Aku mengangguk seraya menutup mulut yang masih basah karena air minum yang termuntahkan, pada wanita di sisi.
"Oke, Pak Abdul. Segala persiapan akad sudah saya persiapkan, paling tinggal Rendy saja yang belum fitting baju. Tapi gak apa-apa, In sya Allah semua berjalan sesuai harapan kita," terang wanita berkacamata itu, seolah sangat begitu yakin pada keputusannya.
"Tapi, Ma ...."
"Besok siang kamu fitting ya, Sayang. Bareng sama Metta di butik langganan Mama," sergahnya di hadapan Metta dan bapaknya.
Aisshh! Kenapa setiap ucapanku selalu disergah sama Mama? Lagipula besok aku sudah janji pada Andien untuk mengantarnya ke stasiun. Kenapa Mama jadi memutuskan semua hal yang menyangkut kehidupan pribadiku tanpa diskusi dulu. Seantusias itukah keinginannya memiliki seorang menantu?
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Berjodoh (Sudah Terbit)
General FictionRasa Untuk Hati yang Pernah Terisi