"Se-serius, Mama mau nginep?" tanyaku memastikan keinginan wanita berbadan sintal itu, seraya menatapnya lekat.
"Iya. Kenapa gitu?"
"Ta-pi, di apartemen AC-nya sedang mati, Ma. Nanti Mama kepanasan."
Mama terkekeh sambil mengibaskan telapak tangannya. "It's okay, gak apa-apa,"
"Tapi, Ma ...."
"Gak boleh Mama nginep?" tanya Mama sembari memicingkan mata. "Oh, Mama tau! Pasti kamu khawatir Mama ngeganggu, ya? Tenang aja, Mama gak bakal ganggu kalian. Mama cuma numpang tidur doang, kok. Ok?"
"Hah? E-nggaklah, Ma ...."
"Jadi Mama boleh nginep, kan?" potong Mama segera.
Dengan ragu, akhirnya aku pun mengangguk pada wanita yang mengenakan pakaian berwarna kuning bermotif polkadot itu.
****
Sesampainya di apartemen, aku tak langsung meminta Mama untuk beristirahat di kamar. Apartemen milikku hanya memiliki dua kamar utama, yang mana dua-duanya digunakan secara terpisah oleh aku dan Metta. Apa nanti kata Mama, kalau sampai ia tidur di salah satu kamar dan mendapati barang-barang pribadiku tak disimpan bersamaan dengan barang-barang pribadi Metta. Tentu wanita tersebut akan merasa heran dan memberondong kami berdua dengan banyak pertanyaan.
"Ma, Rendy beresin kamar buat Mama dulu, ya," kataku sambil meminta Mama duduk di sofa ruang tamu.
"Gak usah repot-repot, Ren. Emang seberapa berantakan, sih, kamarnya?"
"Semenjak kami pindah, kamarnya belum pernah kita bersihkan, Ma," celetuk Metta, seakan tahu aku tengah bingung menjawab pertanyaan Mama.
Mama mengangguk paham. "Kenapa kalian gak sewa jasa pembantu? Kalian berdua, kan, sama-sama sibuk, jadi mending bayar orang aja buat bantu bersih-bersih apartemen," usul wanita bermata teduh itu, sambil menyandarkan punggungnya di sofa.
"Iya, nanti Rendi nyari jasa pembantu, Ma. Sekarang, Rendy beresin dulu kamarnya, ya."
Mama pun akhirnya mengangguk mengiyakan permintaanku.
Bergegas kumasuki kamar yang selama ini ditempati seorang diri. Menyembunyikan barang-barang pribadi yang terdapat di nakas dan sudut ruangan bercat putih tersebut. Mengunci lemari pakaian yang dijejali baju-bajuku, karena mungkin saja Mama akan mencoba melihat isi benda berbentuk persegi panjang tersebut.
"Ren? Udah beres belum kamarnya? Kok lama banget? Mama udah capek, nih. Udah pengen istirahat." Suara Mama terdengar seperti sedang berada di balik pintu kamarku.
Kuhela napas dalam, sebelum akhirnya menemui wanita itu keluar. "Udah, Ma, silakan istirahat," tuturku, setelah kubukakan pintu untuk Mama.
"Aihh, so sweet banget anak Mama. Ya udah, sana kamu juga masuk ke kamar bareng sama Metta."
"Hah? I-iya, Ma, nanti kita juga ke kamar."
"Sekarang, dong! Mama pengen lihat kalian berdua masuk kamar."
Sekilas tampak wajah Metta seperti salah tingkah.
"Ayo, sana masuk kamar berdua!"
"Ma, tapi Metta ...."
"Ayo, Mett. Kita masuk ke kamar," ucapanku, memotong perkataan Metta yang mungkin akan berkilah pada Mama.
Spontan wanita itu menatap heran ke arahku.
"Ayo," pintaku sekali lagi, sambil mengulurkan tangan.
Sejenak Metta bergeming, hingga secara perlahan ia pun akhirnya meraih tanganku.
"Nice ... good night," imbuh Mama, tak lupa menyunggingkan senyum sambil terus memerhatikan kami memasuki kamar.
Akhirnya sekat bernama pintu menutup pandangan antara Mama dan kami berdua. Aku masuk ke kamar Metta dan langsung memilih duduk di kursi depan meja riasnya. Tampak Metta juga turut duduk di tepi ranjang dengan wajah salah tingkah. Ada rasa sungkan, tetapi lekas kutepi mengingat ruangan ini juga milikku.
"Ren ...."
"Tunggu satu jam. Paling tidak sampai Mama benar-benar tertidur dan aku akan keluar dari kamarmu."
Wanita yang masih mengenakan setelan sedari pulang berkerja itu terdiam dan sedikit menunjukkan raut kelegaan setelah mendengar pernyataanku.
Lama waktu berputar. Seakan sama sekali tak mendukung niatku untuk menjauh dari ruangan yang tampak rapi ini. Kamar Metta memang lebih terlihat bersih dari kamarku, semua perlengkapannya yang tertata baik dengan aroma wewangian yang menguar, memberi kesan kalau wanita itu sangat menjaga tempat pribadinya ini.
Selama kami tinggal bersama, ini kali pertama aku menginjak lantai ruang pribadi Metta. Walau dulu aku sering tidur di tempat ini sebelum menikahi Metta, tetapi sungguh terasa asing kala kamar ini sudah dihuni olehnya. Ya, apartemen ini memang adalah milikku pribadi, hadiah dari almarhum Papa saat aku berusia tujuh belas tahun. Tinggal di sini dengan seorang istri memang adalah impian bagiku, kendati sayang ... hingga detik ini pun rasa cinta tak pernah ada dan tercurah untuknya.
"Kalau capek tidur saja, aku gak akan ganggu." Setelah tiga puluh menit kami terdiam, akhirnya aku membuka suara karena merasa kasihan pada Metta yang sedari tadi hanya duduk tak bisa berbuat apa-apa.
Dia mengangguk.
"Aku akan keluar, mungkin Mama juga sudah pulas," ucapanku, sambil bangkit dari kursi dengan ukiran bunga-bunga di tiap sisinya.
"Kamu tidur di mana?" tanya wanita berbibir tipis itu, sambil turut beranjak dari tepi ranjangnya.
"Ruang tamu," balasku, seraya berlalu dan menutup pintu kamar wanita yang sudah satu Minggu ini dijadikan istri.
Sungguh aku kasihan memperlakukan Metta layaknya orang yang tak pernah ada di tempat ini. Namun, aku bingung bagaimana cara menyampaikan padanya kalau hubungan ini hanya akan sia-sia untuk kami berdua. Dia harus tahu, kalau aku tak bisa membersamai dan memberi harapan palsu terlalu lama. Dia harus tahu, kalau aku juga tak bisa bertahan bahkan mungkin untuk sebulan lagi saja dalam pernikahan ini. Meski terus aku mencoba dan menerima. Namun, tetap saja bayang Andien yang selalu ada mengisi jiwa.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Berjodoh (Sudah Terbit)
General FictionRasa Untuk Hati yang Pernah Terisi