Setelah hampir dua jam aku dan Andien bersama di taman kota, kuputuskan untuk mengantar gadis itu pulang ke kontrakannya. Ternyata Andien masih belum juga pindah dari tempat sewanya yang lama, hingga membuatku sedikit jengkel pada gadis bersweater merah muda tersebut, karena tak mau menuruti saran tempo hari untuk ia segera pindah agar lebih dekat ke tempatnya bekerja. Ya, jengkel, bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya kala pulang dari kafe sendirian, tanpa aku yang menemaninya di perjalanan?"Kenapa belum pindah?" tanyaku pada Andien, saat mobil yang kukendarai menepi di depan pagar kontrakannya.
"Bukan urusanmu," ketus Andien tanpa menoleh padaku. "Permisi," lanjutnya seraya membuka sabuk pengaman dan hendak keluar mobil.
"Eh, tunggu!" Bergegas kuraih lengan Andien. "Mulai besok, aku akan kembali mengantarmu pulang," tuturku kemudian.
"Terserah."
"Ndien ...?"
"Aku capek, mau istirahat."
Aku menghela napas dalam. "Ya sudah, sana istirahat. Kuharap perlahan hubungan kita akan kembali membaik," imbuhku, tak melepaskan tatapan pada gadis di hadapan.
Sejenak Andien bergeming, sebelum akhirnya ia benar-benar keluar dari mobil dan memasuki pagar kontrakannya.
Nyatanya pertemuanku dengan Andien hari ini memberi sedikit kelegaan di hati. Setelah sekian lama kurasa memikul beban karena kebohongan, perlahan melebur seiring kata jujur yang diutarakan padanya saat di taman tadi. Meski untuk saat ini sepertinya Andien masih belum bisa memaafkan, tetapi aku percaya ... jika suatu hari nanti hubungan kami akan seperti dulu lagi.
****
Hampir tengah malam, akhirnya aku baru bisa menginjak lantai lobi apartemen. Seharusnya Mama sudah pulang ke rumah sejak siang tadi dari tempat ini. Ah, aku sampai lupa tak menghubunginya setelah wanita tersebut bermalam tanpa sempat kupamiti tadi pagi.
Sesampainya di ruang utama apartemen, tampak cahaya lampu di seisi ruang bercat putih itu masih terang menyala. Entah karena lupa atau lelah, hingga Metta belum mematikan penerangan di hampir setiap sudut ruangan dalam apartemen. Kumatikan satu per satu lampu yang ada di tiap tempat, hingga akhirnya kudapati Metta tengah tertidur di kursi yang berhadapan dengan meja Makan, seraya membenamkan wajah di kedua tangan yang menyilang pada meja berbentuk bundar tersebut.
Perlahan kudekati wanita yang mengenakan piyama berwarna maroon di kursi bermaterial kayu jati itu. Memperhatikan ia yang sepertinya lama menunggu kepulanganku ,lalu mencoba menepuk pundaknya walau sedikit ragu.
"Re-n? Kamu sudah pulang?" tanya wanita berbibir tipis itu, setelah menyadari keberadaanku di dekatnya.
"Tidurlah di kamar," pintaku kemudian.
"Kamu ... gak makan dulu?"
Untuk beberapa saat aku terdiam, hingga akhirnya memutuskan untuk menggeleng padanya.
"Oh, kamu sudah makan?"
"Iya. Tidurlah di kamar, Mett," pintaku sekali lagi.
Metta pun akhirnya beranjak dari kursi, berlalu bersama bayang yang menghilang di balik pintu kamarnya. Meninggalkan aku yang entah kenapa merasa sangat bersalah, bersama makanan yang tersaji dingin di meja, yang mungkin sedari sore dimasak olehnya.
****
Pagi ini, seperti biasanya Metta selalu lebih dulu berangkat meninggalkan apartemen. Dua lembar roti yang dioles selai kacang dan secangkir kopi panas, tak lupa ia siapkan untuk menu sarapanku di meja makan. Tak ada obrolan hangat di kala mentari pagi menyapa antara kami, tak ada ciuman di kening dan tak ada senyum tersungging yang memberi semangat untuk menjalani pembuka hari. Hambar. Semua tak berjalan seperti layaknya hubungan rumah tangga orang-orang kebanyakan.
Drrrtt!
Panggilan dari Mama muncul di layar ponsel milikku. Bergegas kugeser gambar panah berwarna hijau dan menjawab telepon darinya. "Ya, Ma?""Ren, apa kamu sibuk?"
"Lumayan, Ma. Ada apa?"
"Siang ini, pulanglah lebih awal dari kantor. Main ke rumah, Mama mau bicara," pinta Mama terdengar serius.
"Oh, iya. Akan Rendy usahakan, Ma," sahutku segera.
"Good." Tak berapa lama Mama pun memutuskan sambungan telepon setelah aku mengiyakan permintaannya.
Sejenak aku terdiam sambil menatap layar ponsel, memikirkan tentang apa yang akan Mama sampaikan padaku siang nanti.
****
Siang ini, sesuai permintaan Mama aku sudah memarkirkan mobil di halaman rumah berlantai dua yang sedari kecil ditempati. Berkeliling sebentar ke taman kecil yang selalu almarhum Papa urus di belakang hunian bercat putih ini, sembari menikmati aroma mawar yang menguar dari pohonnya dengan warna merah yang menarik perhatian. Menghampiri satu demi satu tumbuhan hias, yang makin tampak indah dan terawat sejak Mama fokus istirahat dari pekerjaan di perusahaan.
"Ehm." Suara deheman wanita yang sudah sangat akrab di telinga, mengalihkan perhatianku dari ketertarikan pada tumbuhan di tempat ini.
"Eh, Mama?"
"Sudah dari tadi, Ren?"
"Gak juga. Rendy baru saja sampai, kok," terangku pada wanita berusia lima puluh dua tahun itu.
"Bagus, ya, tanaman-tanaman ini?" imbuh Mama, sambil berjalan berkeliling taman yang kemudian diikuti olehku.
"Iya, meski matahari tengah terik, tapi rasanya tetap sejuk," kataku menimpali.
"Kamu gak kangen almarhum papa, Ren?" tanya Mama, tiba-tiba membuatku merasa terhenyak.
"Kangenlah, Ma ...."
Mama tersenyum.
"Mama lagi kangen papa, ya?"
Sesaat Mama menghentikan langkahnya, kala berada di dekat tanaman anggrek berwarna putih."Iya, Ren. Mama, belakangan suka ingat beliau," terangnya, sambil menatap bunga anggrek dengan manik penuh kerinduan.
"Apa yang Mama rindukan dari papa?"
"Banyak."
Aku bergeming menunggu Mama melanjutkan ucapannya.
"Papamu ... adalah orang yang sangat menyayangi Mama. Selalu memperlakukan Mama dengan baik dan selalu berusaha membuat Mama bahagia. Dia, adalah kepala keluarga yang bertanggung jawab, selalu meluangkan waktunya untuk kita meskipun dia tengah sibuk dalam bisnis dan karirnya. He's a perfect husband and I want you too be like him to your wife, Ren," titahnya sembari menatapku lekat.
Sesaat aku menunduk tak berani menatap wanita di hadapan.
"Ren, entah ini benar atau cuma perasaan Mama saja. Mama merasa, hubungan pernikahan kalian begitu dingin dan tak dibumbui oleh cinta. Take your heart and save it for Metta. Karena Mama tahu, hanya dia satu-satunya wanita yang pantas buat menjalani mahligai rumah tangga denganmu," tandas Mama sambil menepuk pundakku.
Aku masih bergeming, mencerna setiap perkataan dan harapan Mama pada hubungan pernikahanku. Mencoba mengiyakan apa yang wanita berkacamata itu ucapankan, kendati hati malah menyangkalnya mati-matian, bahwa aku ... sebenarnya tidak pernah menyimpan rasa pada istriku.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Berjodoh (Sudah Terbit)
General FictionRasa Untuk Hati yang Pernah Terisi