Desau angin malam bertiup pelan dari balkon apartemen, yang baru saja satu Minggu kutempati bersama Metta. Lampu-lampu gedung bertingkat dan kendaraan yang lalu-lalang, menambah gemerlap menemani cahaya bintang. Namun, sayangnya tidak dengan hatiku, semua kini terasa hampa dan sepi. Entahlah, rasanya begitu sulit melupa gadis yang mungkin kini juga tengah menikmati gelap sama sepertiku di sini.
"Tehnya, Ren." Metta yang baru saja datang seraya membawa secangkir teh hangat, membuyarkan lamunanku tentang perempuan lain di tempat yang berbeda.
"Thanks," balasku, sambil meraih minuman yang disodorkan wanita berambut sebahu itu.
"Boleh aku ...."
"Silakan," potongku pada wanita di hadapan.
Tak lama, Metta pun duduk di kursi di hadapanku.
Sebenarnya kami jarang sekali bicara dan ngobrol bersama. Selain karena aku yang masih menjaga jarak dari Metta, kesibukan kami dalam bekerja pun menjadi alasan waktu yang terbatas saat berada di apartemen.
Aku dan Metta juga tidur secara terpisah, karena bagiku tak ada alasan untuk kita menghabiskan malam bersama-sama. Namun, untungnya ia juga selalu memahami apa yang sudah diputuskan dalam hubungan yang kami jalani saat ini.
"Re-n ...." Metta membuka percakapan dengan ragu padaku malam ini.
Sejenak aku melirik ke arah wanita berkemeja cokelat itu.
"Mamamu ... mengundang kita makan malam di restoran besok."
"Kapan dia menghubungi?"
"Tadi sore."
"Ok," sahutku sekenanya pada Metta.
Tampak raut wajah Metta sedikit lega, setelah mendengar jawabanku mengenai ajakan Mama. "Kalau begitu ... aku permisi," tuturnya, lalu berlalu meninggalkanku sendirian di balkon.
****
Pagi ini seperti biasa pakaian, sarapan dan segala keperluanku memulai hari sudah disiapkan oleh Metta sebelum wanita itu pergi bekerja. Tak dapat dipungkiri, kalau ia memang wanita hebat yang bisa melakukan kewajibannya sebagai seorang istri sekaligus dokter di tempatnya bekerja dengan baik. Kadang rasa bersalah pun menghantui, saat aku sadar telah menerima segala kebaikan wanita itu tanpa membalasnya. Kendati begitu, entah kenapa rasanya sulit sekali bersikap hangat pada wanita yang telah berstatus sebagai istriku tersebut.
'Jangan lupa janji makan malam bersama Mama malam ini. Di restoran Korea dekat plaza apartemen kita.' Sebuah pesan yang ditulis Metta di secarik kertas, ia sematkan di bawah piring yang berisi sandwich untuk sarapanku.
Aku terkekeh. Korea? Sejak kapan Mama suka makanan dari negeri Lissa BlackPink itu? Batinku penasaran sekaligus merasa lucu.
Sejak aku mulai aktif berkerja di perusahaan, Mama memang sudah tak berkecimpung dalam bisnis lagi. Sekarang ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menikmati hidup dan bersantai di rumah, hingga aku tak dapat setiap hari menemui wanita itu seperti dulu terutama sejak aku pindah bersama Metta di tempat ini. Rindu. Padahal cuma baru satu Minggu tak bertemu, tapi aku sudah sangat merindukan kebawelannya.
Drrrtt!
Baru saja aku memikirkan Mama, panggilan dari wanita itu sudah terpampang di layar ponselku. Bergegas aku pun menyentuh gambar panah berwarna hijau, di layar berukuran kurang lebih lima inci dalam genggaman."Ya, Ma."
"Reendyy." Suara Mama terdengar bahagia dari balik sambungan telepon setelah aku menjawab panggilannya.
"Kenapa?"
"Mama kangen, tauu! Kamu bisa, kan, malam ini makan malam sama Mama? Jangan lupa ajak istrimu juga."
"Iya."
"Bagus. Kamu sedang sarapan, ya? Bareng sama Metta?"
Sejenak pertanyaan Mama membuatku bergeming. "Eh, i-iya, Ma."
"So sweet ...pengantin baru! Yang rukun, ya, Nak. Jaga dan sayangi istrimu baik-baik, apalagi dia sedang hamil saat ini," pesan Mama dari seberang sana.
Aku pun hanya bisa mengiyakan perkataan wanita tersebut.
Kuakhiri panggilan telepon, setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh di pergelangan tangan dan waktunya berangkat kerja. Meninggalkan apartemen ... yang bagiku sangat jauh dari kata nyaman untuk tempat bernaung, karena ketiadaan orang-orang tercinta sebagai penghuninya.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Berjodoh (Sudah Terbit)
General FictionRasa Untuk Hati yang Pernah Terisi