Tepat pukul tujuh tiga puluh malam aku sudah berada di plaza setelah berangkat langsung dari tempat kerja. Sepertinya Mama dan Metta pun sudah menungguku dari beberapa menit lalu di restoran yang telah dijanjikan sebelumnya. Aku pun bergegas menaiki eskalator dan menuju ke lantai dua, lalu menghampiri sebuah tempat makan yang terdapat dua orang wanita berpakaian hanbok di pintu utama masuk restoran tersebut seraya mencari keberadaan Mama.
"Maaf, aku telat," tuturku, setelah mendapati Mama dan Metta duduk di sofa berwarna cokelat muda dalam restoran.
"Rendy!" seru Mama sambil bangkit dari duduknya, lalu memeluk aku di hadapan banyak pengunjung lain. "Duhh ... baru beberapa hari gak lihat kamu, tapi rasanya kayak udah lama banget!" timpal wanita berkacamata itu seperti anak remaja saja.
Aku terkekeh.
"Apa kamu selalu pulang malam seperti ini, Ren?" tanya Mama sembari menatap aku dan Metta secara bergantian.
"Kadang-kadang, Ma," sahutku berbohong.
"Oh, baguslah. Mama pikir pekerjaan kantor membuatmu lupa akan kebersamaan bareng Metta." Wanita dengan setelan berbahan sutra itu pun akhirnya tersenyum lega.
"Jadi kita makan di sini?" tanyaku yang masih dibuat penasaran, oleh ajakan Mama makan di restoran Korea.
"Iya, karena belakangan Mama sering disibukkan dengan kegiatan nonton DraKor." Kini Mama tampak memperlihatkan barisan gigi putihnya.
"DraKor?"
Wanita berusia lima puluh tiga tahun itu pun mengangguk seraya tersipu.
Spontan aku dan Metta terkekeh.
"Aku pilihkan makanan yang enak, ya, Tante," celetuk Metta, sambil membuka menu makanan yang sudah disediakan di meja.
"Ishh, kenapa masih panggil Tante? Panggil Mama, dong, Mett. Ngomong-ngomong Metta sering makan masakan Korea? Atau suka DraKor juga?" tanya Mama antusias.
Wanita berhidung mancung itu pun tersenyum menanggapi pertanyaan Mama. " Iya," sahutnya kemudian.
"Wah cocok banget mantu Mama! Ternyata kita satu selera, kan, Ren?"
"Eh? I-iya," sahutku yang sebenarnya tak begitu menyimak obrolan keduanya.
"Ya sudah, ayo pesan, Mett. Jangan lupa pesankan juga untuk suamimu," pinta Mama kemudian pada Metta.
Setelah acara makan malam selesai, aku dan Metta masih harus menuruti permintaan Mama berbelanja sebentar di plaza. Kendati sepanjang Mama berburu belanjaan terus bergumam tentang rasa masakan Korea yang tak cocok di lidah, tetapi ternyata hal tersebut tak pernah mampu menyurutkan hasrat berbelanja wanita tersebut.
"Ma, Rendy beli minuman dulu, ya," imbuhku setelah merasa jenuh, karena sudah tiga puluh menit berkeliling menemani Mama belanja.
"Ya sudah, biar Mama sama Metta," sahutnya, seraya masih memilih-milh baju di sebuah butik dalam plaza.
Tanpa berpikir lama aku pun langsung meninggalkan butik dan berkeliling sendirian dalam tempat ramai tersebut.
Kuembuskan napas panjang, setelah melalui kerumunan orang yang nyatanya sama sekali tak mampu menghilangkan sepi di hati. Berjalan sendirian, memerhatikan setiap pasangan yang lewat di hadapan dan tampak bahagia dengan senyum tersungging di wajah mereka masing-masing. Sejenak diri tertawa dalam batin, kala teringat takdir yang sudah dituliskan Tuhan dalam kisah cintaku.
Bruukk!
"Ma-maaf, saya buru-buru, Pak. Maaf ...," lirih suara seorang gadis, setelah tak sengaja ia menyenggol badan hingga menumpahkan minuman yang kubawa pada pakaian sendiri.
Aku pun sibuk mengelapi jas kerja yang sudah terlanjur basah.
"Sekali lagi maaf, Pak," sambungnya dengan suara langkah yang perlahan menjauh.
Sejenak kesadaranku pun menghampiri. Mencari-cari di mana gadis yang telah menabrakku tadi di tempat ini. Suara itu ... suara seseorang yang sudah tak asing lagi di ingatan. Andien. Mungkinkah tadi itu dia?
"Ren." Suara Mama membuyarkan lamunanku.
Aku masih bergeming.
"Kamu kenapa?" sambung Mama seraya mengernyit.
"Eh, gak apa-apa, kok, Ma."
"Ayo, pulang! Malam ini Mama mau nginep di apartemen kamu."
Glekk!
"Nginep, Ma?"
Sejenak pandangan aku dan Metta pun saling beradu.
Bersambung ....